Connect with us

Opini

Narasi Tempo vs Narasi TNI

Published

on

Ada yang ganjil di negeri ini. Di jalanan, rakyat tumpah ruah dengan wajah lelah, suara serak, dan tubuh yang sesak oleh gas air mata. Ada kemarahan yang jujur, terlahir dari harga bahan pokok yang kian melonjak dan dari rasa muak melihat tingkah pejabat yang tak tahu malu. Namun di sela dentum itu, muncul kabar lain—bahwa mereka yang mestinya menjaga negara justru ikut bermain dalam kerusuhan. Tiba-tiba publik dihadapkan pada absurditas: siapa yang sebenarnya provokator, rakyat yang lapar atau aparat yang menyaru?

Tempo, dengan gaya investigasinya yang khas, membentangkan temuan yang membuat bulu kuduk merinding. Ada jejak prajurit, ada dokumen yang mencantumkan nama anggota militer, ada admin grup WhatsApp ribuan anggota yang ternyata bukan sekadar pelajar iseng tapi seorang serdadu aktif, lengkap dengan ajakan membakar gedung pemerintahan. Bahkan disebut ada personel intelijen strategis, BAIS, yang tertangkap di lapangan. Narasinya jelas: ada keterlibatan aparat, ada peran tersembunyi yang memperkeruh demonstrasi. Bukti-bukti itu memang belum berupa “perintah resmi institusi,” tapi cukup membuat kita bertanya—benarkah yang kita lihat di jalan adalah suara rakyat murni, atau pentas besar yang diskenariokan?

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Namun belum lama setelah itu, TNI merilis bantahan tegas. Kapuspen TNI, Brigjen Mar Freddy Ardianzah, berdiri di depan mikrofon dan menyebut semua tuduhan itu hoax. Katanya, tidak benar ada prajurit BAIS yang ditangkap di Slipi. Tidak benar ada prajurit yang diamankan Brimob di Sumsel. Tidak benar ada pemuda di Ternate atau Sumut yang dituding TNI provokator. Semua hanya berita palsu, framing menyesatkan, upaya memecah belah TNI dan Polri, bahkan membenturkan aparat dengan masyarakat. TNI, menurut versi Freddy, solid. Tidak ada yang bermain api. Semua aman terkendali.

Lihatlah, dua narasi ini berjalan berlawanan arah. Tempo dengan dokumentasi, rekaman, kesaksian. TNI dengan klarifikasi, bantahan, dan retorika soliditas. Publik ditinggalkan di tengah jalan, bingung harus percaya siapa. Ironi pun mencuat: negara yang mestinya transparan malah menghadirkan drama bayangan, mirip pertunjukan wayang yang tak jelas siapa dalang, siapa tokoh utama, siapa sekadar figuran.

Di sini saya rasa masalahnya bukan sekadar soal siapa yang benar, tetapi siapa yang paling dipercaya. Tempo berdiri di sisi publik, membawa data meski tak selalu bisa dibuka gamblang ke permukaan. TNI berdiri di sisi institusi, menjaga citra dan soliditas, bahkan jika itu berarti menepis semua tuduhan tanpa membuka detail investigasi internal. Pertarungan bukan lagi soal fakta semata, tapi soal legitimasi. Dan di negeri yang sudah kenyang dengan kisah “oknum”, siapa yang masih mau percaya bantahan tanpa bukti?

Kita semua tahu, sejarah negeri ini panjang dengan cerita aparat yang terseret ke urusan politik. Dari masa Orde Baru hingga Reformasi, dari kisah Petrus hingga penculikan aktivis, selalu ada jejak seragam hijau atau cokelat yang menyelinap di ruang politik sipil. Maka ketika Tempo mengungkap ada prajurit yang jadi admin grup provokasi, publik spontan mengangguk: masuk akal. Narasi itu menyambung pada memori kolektif kita. Tapi ketika TNI bilang itu hoax, publik juga ragu: bukankah mereka selalu menyebut “oknum” setiap kali ada prajurit yang terbukti salah?

Ironinya, Presiden Prabowo sendiri disebut Tempo sempat tidak tahu. Ia baru sadar keterlibatan tentara setelah Kapolri Listyo melaporkan data, bahkan sebelumnya sempat diisolasi dari informasi lapangan. Apa artinya? Bahwa presiden, sang panglima tertinggi, tidak sepenuhnya menguasai pasukannya. Bayangkan kapal besar yang kaptennya tidak tahu kemudi diputar ke mana, sementara awak di bawah geladak saling tarik menarik tali layar. Bukankah ini justru ancaman yang lebih serius daripada sekadar kerusuhan jalanan?

Di titik ini, masyarakat dihadapkan pada absurditas realitas. Di satu sisi, ada laporan investigatif yang menakutkan. Di sisi lain, ada bantahan institusional yang menenangkan. Seperti dua dokter yang memeriksa pasien sama, satu bilang tumor ganas, satunya bilang hanya radang tenggorokan. Publik jadi pasien yang bingung, harus percaya siapa, sementara rasa sakitnya nyata dan makin perih.

Saya pribadi sulit menelan mentah-mentah klaim TNI. Bukan karena saya ingin memfitnah, tapi karena pola bantahan ini terlalu familiar. Hampir selalu jawabannya: hoax, framing, oknum. Tapi bukankah kalau memang itu fitnah, seharusnya TNI bisa menunjukkan data yang lebih konkret? Misalnya, siapa sebenarnya pria yang ditangkap di Sumsel? Apakah dia warga sipil? Tunjukkan identitas lengkapnya. Atau soal admin grup WA yang disebut Tempo, bantah dengan bukti. Jangan hanya kata-kata. Karena publik sudah lelah dengan jargon “solid” tanpa transparansi.

Namun saya juga sadar, Tempo pun bukan kitab suci. Laporan investigasi bisa salah, bisa kurang data, bisa terjebak pada narasi tertentu. Tetapi setidaknya, investigasi memberi arah pertanyaan. Sedangkan bantahan tanpa bukti hanya menutup pintu pertanyaan. Mana yang lebih sehat untuk demokrasi? Saya rasa jawabannya jelas.

Masyarakat tidak boleh puas dengan jawaban “ini hoax.” Kita punya hak untuk tahu, siapa sebenarnya yang bermain di balik kerusuhan. Kalau benar ada prajurit yang terlibat, akui, adili, dan tunjukkan prosesnya secara terbuka. Jangan sembunyikan di balik sidang internal militer yang sunyi. Kalau benar Tempo keliru, buktikan di ruang publik dengan data, bukan sekadar pernyataan pers. Transparansi adalah obat. Sedangkan narasi tanpa bukti hanya memperlebar jurang curiga.

Karena kalau tidak, kita terjebak dalam lingkaran setan. Setiap kali ada aparat terseret kasus, jawabannya: hoax. Setiap kali ada investigasi media, jawabannya: framing. Publik lama-lama apatis. Dan apatisme itu jauh lebih berbahaya. Sebab ketika rakyat sudah berhenti peduli siapa yang benar, maka yang berkuasa bisa berbuat apa saja tanpa pengawasan.

Narasi Tempo vs narasi TNI bukan sekadar perbedaan cerita. Ini pertarungan antara keterbukaan dan kerahasiaan, antara akuntabilitas dan impunitas. Dan kita tahu, tanpa keberanian membuka, negara hanya akan jadi panggung sandiwara tempat aparat bermain peran ganda: pelindung di siang hari, provokator di malam hari.

Maka, pilihan kita sebagai masyarakat sederhana tapi penting. Jangan menelan mentah-mentah. Jangan cepat puas dengan bantahan. Dorong terus transparansi, tuntut investigasi independen, jaga agar ruang sipil tidak dibajak oleh permainan seragam. Karena pada akhirnya, yang kita perjuangkan bukan sekadar kebenaran Tempo atau bantahan TNI, tapi hak kita sebagai rakyat untuk tahu siapa sebenarnya yang menggerakkan api di jalanan.

Dan jika api itu ternyata memang disulut oleh mereka yang mestinya menjaga, maka itu bukan lagi sekadar ironi. Itu adalah pengkhianatan.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer