Opini
Nakba Lama, Luka Baru

Di bawah langit yang kelabu, pada peringatan ke-77 Nakba, suara faksi-faksi Palestina—Hamas, PIJ, PFLP—menggema. Penuh luka, namun tetap teguh. Mereka berseru, rakyat Palestina tengah menghadapi Nakba baru: sebuah perang genosida yang dilancarkan Israel di Gaza dan Tepi Barat. Lebih dari 50.000 nyawa melayang. Rumah-rumah runtuh menjadi puing, anak-anak kelaparan. Ada kegelisahan yang menggigit hati: akankah dunia, seperti dulu, membiarkan derita ini lenyap dalam sunyi?
Di tengah reruntuhan, satu suara bulat disuarakan: persatuan dan perlawanan adalah satu-satunya jalan.
Hamas, dengan nada yang bergema seperti doa, menegaskan bahwa persatuan Palestina telah menggagalkan rencana Israel. “Tak ada Nakba baru yang akan dipaksakan,” ujar mereka. “Keteguhan Gaza takkan patah.” Kata-kata itu memanggil kembali ingatan 1948, ketika 700.000 warga diusir, desa-desa dihancurkan, dan mimpi tercerabut. Kini, laporan UN OCHA (2025) mencatat 1,9 juta warga Gaza mengungsi. Lebih dari 70% rumah hancur. Bukankah ini cermin Nakba, hanya dengan topeng modern?
PIJ menegaskan bahwa pembantaian di Gaza adalah kelanjutan Nakba, namun semangat perlawanan tak pernah padam. “Rakyat Palestina akan bangkit lebih kuat,” katanya, seolah menantang maut. Tapi di sudut jiwa, ada pertanyaan yang menggelitik: bisakah kekuatan semangat mengalahkan bom dan blokade?
Data WHO (2025) menyebutkan 90% anak-anak Gaza mengalami kekurangan gizi. Rumah sakit nyaris lumpuh. Di kampung-kampung Indonesia, kita mungkin terenyuh, tapi—apa artinya empati tanpa tindakan?
PFLP menyebut Gaza sebagai “bencana berdarah,” menyerukan terbentuknya front perlawanan terpadu dan restrukturisasi PLO. Mereka juga menolak normalisasi hubungan seperti Abraham Accords, yang dianggap sebagai pengkhianatan. Ingatan Nakba 1948 hidup kembali di sini—ketika dunia Arab terpecah, dan Palestina ditinggalkan sendirian. Kini, laporan SIPRI (2024) menunjukkan Amerika Serikat masih mengucurkan miliaran dolar untuk militer Israel. Apakah kita, di tepi dunia, hanya akan mengeluh di media sosial?
Ali Faisal dari Dewan Nasional Palestina menyerukan kebangkitan nurani global. “Hentikan agresi, adili pemimpin Israel,” katanya. Ini bukan sekadar retorika. ICJ, pada Januari 2024, menyatakan ada kemungkinan genosida di Gaza—meskipun putusan akhir mungkin masih jauh. ICC juga sedang menyelidiki kejahatan perang, namun tekanan politik Amerika membuat segalanya terhambat. Di warung kopi Jakarta, kita mungkin bergumam, “Keadilan cuma mimpi.” Tapi benarkah hanya itu yang bisa kita lakukan?
Narasi, Identitas, dan Ancaman Lupa
Nakba 1948 “dilupakan” karena narasi Israel mendominasi, disokong oleh Barat, sementara Palestina terpecah. Tapi Gaza hari ini tak lagi sunyi. Media sosial—X, TikTok—membawa suara rakyat Gaza ke dunia. Video anak-anak di tenda pengungsian, tangis ibu-ibu, viral sepanjang 2024–2025. Pew Research (2024) mencatat simpati anak muda Barat terhadap Palestina meningkat. Namun ada risiko: kelelahan publik. Apakah dunia akan bosan, sebagaimana dulu bosan pada Nakba?
Di pasar tradisional Surabaya, berita Gaza mungkin hanya selingan radio pagi. Tapi di Gaza, setiap detik adalah perjuangan hidup. Blokade Israel, menurut UN OCHA, membatasi bantuan hanya sampai 20% dari kebutuhan. Kelaparan dijadikan senjata. Amnesty International (2024) menyebut ini sebagai bentuk genosida. Faksi-faksi Palestina menyetujui: ini adalah Nakba yang diulang dengan wajah baru. Tapi mengapa dunia masih ragu menyebutnya dengan nama itu?
Hamas menolak upaya pelemahan UNRWA, yang kini melayani 5,9 juta pengungsi Palestina. Bagi mereka, UNRWA bukan sekadar lembaga—ia adalah jantung dari hak untuk kembali, warisan Nakba yang tak boleh padam. Namun Israel, didukung oleh beberapa senator AS, ingin membubarkannya (Reuters, 2024). Ini bukan hanya soal birokrasi. Ini soal menghapus identitas dan sejarah. Di masjid-masjid Indonesia, kita khutbahkan tentang Palestina. Tapi—apakah doa cukup? Apa yang bisa kita lakukan selain menangis di depan layar ponsel?
Gaza dan Masa Depan Perlawanan
PIJ memuji “poros perlawanan”—Yaman, Lebanon, Iran—dan juga solidaritas global. Protes mahasiswa di AS, boikot di Eropa, petisi di Asia menunjukkan dunia tak sepenuhnya tuli. Tapi bayang-bayang gelap tetap mengintai. Normalisasi hubungan Arab-Israel yang dikecam PFLP dapat melemahkan isu Gaza. Nakba 1948 memudar karena dunia Arab terpecah; kini, kesepakatan dagang bisa mengulangi pengkhianatan sejarah. Apakah kita akan membiarkannya lagi, sambil minum kopi di kafe?
PFLP menyerukan pengakhiran koordinasi keamanan dengan Israel dan menolak Oslo Accords yang mereka anggap sebagai jerat politik. Ini mengingatkan kita kembali pada Nakba—ketika harapan Palestina dikhianati oleh kekuatan global. Kini Gaza adalah medan ujian: bisakah perlawanan mengubah nasib? Data dari Kementerian Kesehatan Gaza (2025) menyebutkan 60% korban adalah perempuan dan anak-anak. Di malam yang sunyi, aku bertanya: apakah darah mereka hanya angka, atau panggilan untuk kita bangun?
Ali Faisal bilang, Israel gagal menciptakan Nakba kedua. Tapi luka Gaza nyata. ICC mungkin butuh dekade untuk menjatuhkan vonis genosida—seperti di Rwanda dan Bosnia. Tapi Gaza berbeda. X dipenuhi tagar #GazaGenocide, walau narasi pro-Israel masih mendominasi algoritma. Di gang-gang Makassar, anak muda mungkin repost video Gaza. Tapi setelah layar ponsel padam—apakah kita ingat mereka esok hari?
Nakba 1948 hidup di memori kolektif Palestina. Namun dunia sering lupa. “Nakba milenial” ini punya peluang bertahan di ingatan global, berkat teknologi dan aktivisme akar rumput. Tapi tanpa gencatan senjata, bantuan kemanusiaan, atau akuntabilitas, Gaza bisa jadi satu catatan kelam lagi dalam sejarah dunia.
Laporan Al-Mayadeen menunjukkan bahwa faksi-faksi Palestina tak menyerah. Mereka menolak membiarkan dunia mengulangi kesalahan yang sama. Anda menyebut ini genosida—suara yang menolak sunyi.
Dan di ujung malam, aku bertanya: akankah kita, di sudut dunia ini, cukup peduli untuk bertindak—meski hanya dengan langkah kecil hari ini?