Connect with us

Opini

Musuh Bersama: Jalan Sunyi Menuju Normalisasi Suriah?

Published

on

“Kami memiliki musuh bersama.” Pernyataan ini keluar dari mulut Ahmad al-Sharaa, presiden sementara Suriah, dalam sebuah wawancara yang dikutip oleh Jewish Journal dan dilansir kembali oleh media regional seperti Al Mayadeen dan The Cradle. Kalimat itu tidak hanya memancing keheranan—ia langsung memunculkan pertanyaan besar tentang arah politik Suriah pasca-konflik. Apakah ini sinyal awal normalisasi dengan Israel?

Kalimat “musuh bersama” menjadi titik tumpu yang berpotensi mengubah peta aliansi di Timur Tengah. Ucapan ini datang dari negara yang selama lebih dari lima dekade dikenal sebagai salah satu benteng utama penolakan terhadap Israel. Suriah adalah rumah bagi sejumlah faksi perlawanan Palestina dan menjadi bagian dari “poros perlawanan” bersama Iran dan Hizbullah di Lebanon. Maka, ketika seorang pemimpin transisi seperti al-Sharaa menyampaikan narasi seperti itu, wajar bila banyak pihak melihatnya sebagai sinyal perubahan haluan yang sangat serius.

Al-Sharaa juga menyatakan pentingnya melindungi warga sipil dari serangan bom balasan dan menyerukan pemulihan Perjanjian Pemisahan 1974 antara Suriah dan Israel di wilayah Golan. Ia menyebut perjanjian itu bukan sekadar arsip sejarah, melainkan fondasi bagi pengurangan eskalasi. Di titik ini, ia mencoba tampil sebagai sosok rasional, ingin mengamankan negaranya dari konflik lebih luas. Namun pertanyaannya: keamanan dari siapa?

Di permukaan, bisa saja “musuh bersama” yang dimaksud adalah ISIS atau jaringan ekstremis lain yang masih aktif di wilayah selatan Suriah. Kelompok ini memang menjadi ancaman serius baik bagi pemerintah Suriah maupun bagi Israel yang khawatir terhadap kekacauan di sekitarnya. Dari sudut pandang ini, koordinasi keamanan, bahkan komunikasi tidak langsung, tampak masuk akal. Apalagi, Suriah sedang mencoba keluar dari lumpur krisis multidimensi: kehancuran ekonomi, embargo, dan runtuhnya infrastruktur negara.

Namun, situasinya tidak sesederhana itu. Dalam laporan The Cradle, terungkap bahwa ada jalur komunikasi tak langsung antara Tel Aviv dan Damaskus yang dimediasi oleh pihak ketiga. Mungkin ini bagian dari manuver krisis. Tapi ketika dua tokoh penting dari kelompok Palestinian Islamic Jihad (PIJ)—Khaled Khaled dan Yasser al-Zafari—ditangkap di Damaskus oleh intelijen Suriah, maka sinyal itu berubah dari samar menjadi terang.

PIJ sendiri merupakan bagian penting dari poros perlawanan Palestina. Bersama Hamas dan kelompok-kelompok lain, mereka bukan bagian dari poros Iran secara struktural, namun menjadi sekutu dalam perjuangan anti-zionis. Identifikasi mereka sebagai sekutu Iran oleh sebagian media Barat adalah penyederhanaan yang tak jarang bermotif politis. Yang justru menjadi bagian langsung dari poros Iran adalah Hizbullah—kelompok perlawanan Lebanon yang memiliki koordinasi militer dan ideologis dengan Teheran, serta relasi historis dan strategis dengan Damaskus sejak masa Hafez al-Assad.

Dengan demikian, ketika al-Sharaa menahan kader PIJ, ia secara tidak langsung mengirim sinyal bahwa poros perlawanan Palestina—yang notabene bukan “anak buah Iran”—sedang dipandang sebagai ancaman ketimbang sekutu. Ini membuat pernyataannya tentang “musuh bersama” terdengar ganjil. Siapa sebenarnya musuh yang ia maksud?

Jika ISIS adalah jawabannya, bukankah PIJ dan Hamas juga menentang kelompok ekstremis itu? Jika kelompok bersenjata di dalam Suriah seperti loyalis Assad atau sisa-sisa milisi tak terkendali yang dituding melakukan kekerasan sektarian adalah ancamannya, mengapa tindakan pertamanya adalah menangkap tokoh perlawanan Palestina?

Situasi ini menjadi lebih rumit ketika melihat bahwa beberapa milisi pro-Assad seperti Shabiha justru menunjukkan ketidakpuasan terhadap pemerintahan transisi. Mereka menolak legitimasi al-Sharaa. Belum lagi, kelompok bersenjata yang mendukung pemerintahan transisi juga tidak sepenuhnya terkendali. Di beberapa wilayah seperti Latakia, faksi-faksi ekstrem dalam barisan pro-al-Sharaa dilaporkan menyerang komunitas Alawit—yang secara historis diasosiasikan dengan rezim Assad.

Serangan ini memicu kecaman luas dan membuka luka lama sektarian yang masih menganga. Meski pemerintah transisi membantah keterlibatan langsung, laporan-laporan ini menegaskan tantangan berat al-Sharaa dalam mengendalikan faksi-faksi yang membawa dendam masa lalu ke medan kekuasaan baru. Maka, bisa saja “musuh bersama” yang dimaksud oleh al-Sharaa adalah kelompok-kelompok ini yang membahayakan stabilitas transisi.

Namun, tetap saja, gestur terhadap Israel sulit dilepaskan dari kalkulasi jangka panjang. Israel jelas menyambut setiap celah yang bisa memperlemah poros perlawanan. Jika Suriah mulai meninggalkan posisinya sebagai penampung dan pelindung kelompok perlawanan Palestina, maka ini bukan sekadar manuver keamanan, melainkan lompatan geopolitik.

Kita tahu bahwa sejak awal 2024, tekanan terhadap kelompok perlawanan meningkat di berbagai titik. Hamas terus digempur di Gaza, PIJ mengalami kerugian besar, dan Hizbullah ditekan lewat sanksi serta pembunuhan tokohnya. Dalam kondisi ini, perubahan sikap Damaskus bisa dianggap sebagai retaknya salah satu jembatan penting dalam rantai dukungan terhadap Palestina.

Tentu, al-Sharaa menolak disebut sedang membuka normalisasi. Ia mengatakan, dialog hanya mungkin terjadi jika ada penghormatan terhadap hukum internasional dan kedaulatan Suriah. Tapi di dunia pasca-Trump, normalisasi tak selalu butuh perjanjian. Kadang cukup dengan menekan kelompok perlawanan, membungkam kritik terhadap zionis, dan menjaga komunikasi “aman” di balik layar.

Yang membuat situasi ini semakin menyakitkan adalah fakta bahwa rakyat Suriah sendiri belum melupakan Golan. Wilayah itu masih diduduki Israel, dan komunitas Druze serta warga sipil di perbatasan sering menjadi sasaran patroli zionis. Belum lama ini, warga Ruwaihinah membakar bendera Israel dan mengusir patroli dari desa mereka. Ini menunjukkan bahwa akar perlawanan belum tercabut. Tapi jika pemimpinnya mulai menyuarakan narasi “musuh bersama”, maka jarak antara rakyat dan elite bisa semakin lebar.

Kita tidak bisa menutup mata bahwa Suriah sedang berjuang keluar dari kehancuran. Negara itu kehilangan jutaan warganya, hancur ekonominya, dan terisolasi secara diplomatik. Tapi membangun kembali negeri tak harus dengan mengorbankan prinsip. Bila Damaskus mulai menyasar kelompok perlawanan demi mencairkan ketegangan dengan Barat dan Israel, maka Suriah bukan sedang membangun perdamaian, tapi sedang mengukuhkan kekuasaan dengan mengorbankan solidaritas.

Sebagai orang Indonesia yang menjunjung tinggi solidaritas Palestina, saya menolak narasi “musuh bersama” yang menyamakan pejuang perlawanan dengan ancaman ekstremisme. Saya percaya, ada perbedaan antara mereka yang membela tanah air dari penjajahan dan mereka yang menciptakan kekacauan demi ideologi fanatik. Dan saya tahu, rakyat Suriah tidak menginginkan perdamaiannya dibeli dengan harga pengkhianatan terhadap Palestina.

Dalam dunia yang penuh kepentingan, mudah sekali mengaburkan batas antara strategi dan kompromi. Tapi sejarah akan menilai dengan jujur. Jika rezim transisi di Suriah memilih jalur yang menjauh dari poros perlawanan, menekan Hamas dan PIJ, serta mendekat ke orbit diplomatik zionis, maka ia bukan sedang menyelamatkan Suriah, tapi sedang melapangkan jalan bagi zionisme untuk masuk melalui pintu belakang.

Ahmad al-Sharaa mungkin berpikir bahwa ia sedang menyusun peta baru yang pragmatis. Tapi damai yang dibangun di atas represi terhadap mereka yang melawan penjajahan adalah damai yang semu. Ia rapuh, dan cepat atau lambat akan runtuh.

Di Indonesia, dukungan untuk Palestina tetap hidup dan nyata. Maka kita punya kewajiban untuk bersikap kritis terhadap setiap upaya yang mencederai perjuangan rakyat tertindas. Kita harus bertanya: damai macam apa yang dijanjikan, jika jalannya dibangun dari kompromi atas keadilan?

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *