Opini
Monopoli Senjata atau Membela Israel?

Langit Beirut tampak kelabu, seolah menahan napas menatap absurditas yang terjadi di negeri ini. Bom dan rudal dari utara terus menorehkan luka di tanah Lebanon, sementara di ruang ber-AC istana, pemerintah sibuk membahas konsolidasi senjata Hizbullah seakan itu ancaman terbesar negeri. Ironi ini tajam: yang melindungi rakyat disorot, yang menghancurkan nyawa dibiarkan hampir tak tersentuh. Kita semua tahu, logika semacam ini bukan sekadar salah arah—ia nyata-nyata menyederhanakan kepentingan asing menjadi legitimasi nasional.
PM Nawaf Salam dengan tegas menyatakan bahwa rencana pelucutan senjata Hizbullah bukan karena tekanan Israel atau AS. Kata-kata itu terdengar mulus di media, tapi realitas di lapangan menertawakan mereka. Setiap hari, roket dan serangan udara zionis merobek wilayah selatan, mengirim korban dan kehancuran. Fokus pemerintah? Bukan menangani agresi nyata, tetapi menekankan monopoli negara atas senjata Resistance, pihak yang terbukti paling mampu mempertahankan Lebanon. Rasanya seperti memarahi petugas pemadam kebakaran karena mereka membawa selang, sementara api masih membakar rumah tetangga.
Hizbullah, dengan rekam jejaknya dalam perang 2006 dan pertahanan berulang terhadap serangan Israel, menegaskan: senjata bukan sekadar alat, tapi perisai moral dan praktis negeri ini. Mereka tidak menolak negara—mereka menolak dilemahkan di saat ancaman eksternal belum sirna. Sementara itu, pemerintah dengan santainya membingkai langkah ini sebagai legal, konstitusional, dan murni nasional. Ironi hidup: formalitas hukum menggantikan urgensi mempertahankan nyawa, dan legitimasi retoris dianggap cukup menutupi fakta bahwa Lebanon tetap dibombardir.
Kita bisa melihatnya sebagai sebuah paradoks yang memalukan: hukum negara melawan logika pertahanan. Perjanjian Taif jelas menekankan monopoli senjata oleh negara, tapi juga menegaskan bahwa pertahanan terhadap agresi Israel adalah kewajiban. Hizbullah menafsirkan ini secara praktis—senjata mereka adalah perpanjangan dari kedaulatan, bukan ancaman terhadapnya. Pemerintah menafsirkan secara formal—monopoli militer harus ditegakkan, walau itu berarti melemahkan garis pertahanan yang paling efektif.
Setiap kali pemerintah menekankan “tidak ada agenda asing”, saya rasa publik Lebanon tersenyum getir. Faktanya, Israel terus menembak, warga menderita, infrastruktur roboh, sementara aparat negara sibuk mengatur siapa yang boleh membawa senjata. Kalau bukan demi Israel, apa lagi? Bukankah melemahkan satu-satunya kekuatan yang benar-benar menahan agresi zionis di tanah sendiri sama artinya dengan memberi jalan bebas kepada musuh? Kata-kata diplomatis mungkin terdengar manis, tapi di lapangan, rakyat lah yang membayar harga ketidaklogisan ini.
Lebih dari itu, sikap pemerintah mengandung sindiran halus terhadap sejarah Lebanon. Hizbullah mengingatkan kemenangan 2006, yang menahan Israel selama 17 tahun. Mereka berbicara tentang martabat, pengorbanan, dan pertahanan tanah air. Sedangkan pemerintah menekankan formalitas, hukum, dan monopoli senjata. Ini seperti menghitung jumlah paku di perahu yang tenggelam, sementara gelombang terus menelan kapal. Kita semua tahu siapa yang benar-benar menjaga perahu tetap mengapung.
Menyindir lagi, retorika PM Salam tentang monopoli negara seolah mengatakan: “Kami akan melindungi Lebanon—dengan cara menekan mereka yang benar-benar mempertahankan Lebanon.” Kata-kata ini bisa dijadikan bahan satir: bagaimana negara membela rakyat dengan melemahkan yang melindungi mereka dari pembantaian? Realitas itu telanjang, dan klaim legalitas tidak mampu menutup fakta bahwa setiap langkah melemahkan Hizbullah memberi Israel keuntungan strategis.
Lebanon bukan tanah tanpa sejarah; kita paham konteks lokalnya. Dahieh, Bekaa, dan selatan Lebanon bukan sekadar wilayah geografis, tetapi simbol ketahanan. Di sanalah warga dan pejuang menanggung serangan demi serangan. Ketika pemerintah mengabaikan ancaman ini, dan malah menekankan kontrol formal atas senjata Resistance, ia secara implisit meletakkan rakyat dalam risiko, dan memberi angin segar bagi agresor. Ironi hidup: yang seharusnya dilindungi justru dilemahkan, yang menghancurkan tetap berjalan.
Kita bisa merenung sejenak: di tengah roket dan rudal yang terus mendarat, di mana prioritas sebenarnya? Apakah pada formalitas hukum dan monopoli simbolis, atau pada keselamatan warga? Hizbullah menunjukkan logikanya sederhana—selama Israel menjadi ancaman, senjata tetap diperlukan. Pemerintah memilih logika yang kompleks—legalitas formal dipertahankan, sementara ancaman nyata dipinggirkan. Kalau bukan karena Israel, apa lagi yang menjadikan kebijakan ini berbahaya bagi Lebanon sendiri?
Membela negara seharusnya bukan retorika, melainkan tindakan yang terlihat, diukur dari hasil nyata di lapangan. Hizbullah menunjukkan bahwa mereka bukan penentang negara, tetapi penjaga negara yang paling konsisten di saat agresor menekan wilayah selatan dan Bekaa. PM Salam mengklaim legalitas, namun rakyat menilai efektivitas. Tidak ada legalitas formal yang bisa menggantikan darah dan nyawa yang terus jatuh akibat agresi yang nyata.
Fakta telanjang terus menunjukkan kontradiksi: setiap langkah untuk melemahkan Hizbullah, sementara Israel tetap menyerang, tidak sekadar mengabaikan keselamatan rakyat, tetapi secara logis menguntungkan musuh. Jika kita tidak menyebutnya membela Israel secara implisit, paling tidak kebijakan ini memberikan jalan mudah bagi agresor, sementara mereka yang berdiri di garis depan pertahanan negara justru dipersulit.
Kita bisa tersenyum getir melihat “keadilan formal” yang diangkat pemerintah. Monopoli senjata di atas kertas menjadi alasan untuk melemahkan satu-satunya kekuatan yang mampu menahan agresi nyata. Sedangkan realitas sosial dan militernya: rakyat terus menderita, korban sipil bertambah, infrastruktur hancur. Semua ini terjadi ketika perhatian pemerintah lebih tertuju pada legalitas internal daripada ancaman eksternal yang nyata.
Lebih jauh, pendekatan pemerintah menimbulkan ironi puitis: Lebanon memiliki hukum dan formalitas, tapi hukum itu sendiri menjadi alat melemahkan pertahanan rakyat. Hizbullah tetap memegang senjata, bukan karena menentang negara, tapi karena negara gagal memprioritaskan perlindungan nyata. Kita semua bisa melihat absurditas ini dari jendela rumah atau dari berita tentang keluarga yang kehilangan rumah akibat serangan Israel.
Akhirnya, tidak ada jalan lain selain menilai kebijakan ini dari fakta lapangan: serangan Israel terus berlangsung, Hizbullah mempertahankan wilayah, rakyat menderita. Legalitas formal tidak bisa menutupi paradoks ini. Dan di sinilah intinya: keputusan pemerintah untuk menekan Resistance di tengah ancaman nyata bukan sekadar kegagalan kebijakan, tetapi tindakan yang, mau tidak mau, memberi keuntungan kepada pihak yang seharusnya ditekan. Monopoli senjata resmi menjadi alat untuk melemahkan yang melindungi Lebanon, bukan untuk mempertahankan Lebanon.
Dengan semua fakta yang tersaji—serangan Israel yang terus berlangsung, kehancuran infrastruktur, korban sipil yang bertambah, dan Hizbullah yang terbukti efektif mempertahankan Lebanon—sulit, bahkan mustahil, untuk tidak menyimpulkan bahwa ide monopoli senjata yang dibela PM Nawaf Salam bukan sekadar formalitas legal. Langkah itu, secara nyata, melemahkan pertahanan Lebanon, memberi keuntungan strategis kepada Israel, dan secara implisit bertindak sebagai kepanjangan tangan kepentingan asing. Tidak ada kata lain: di tengah agresi yang nyata, monopoli senjata menjadi alat yang lebih menguntungkan musuh daripada melindungi negeri sendiri.