Opini
Monopoli Bantuan Gaza: Bisnis Penderitaan yang Terbuka

Ketika sebuah negara terjerat pada monopoli bantuan kemanusiaan, itulah saatnya kita menyadari betapa jauh kita berada dari konsep “kemanusiaan”. Di Gaza, bantuan yang seharusnya disalurkan dengan penuh kasih malah menjadi komoditas, dan siapa yang paling beruntung? Tentu saja, orang yang sudah lama memanfaatkan penderitaan—seperti Ibrahim al-Organi, yang kini menjadi penjual rasa belas kasihan di pasar kemanusiaan.
Al-Organi, seorang pengusaha yang menjalankan bisnis bantuan, memanfaatkan peluang besar di Gaza dengan memperdagangkan bantuan yang seharusnya langsung disalurkan kepada mereka yang membutuhkan. Menurut laporan, al-Organi telah mendirikan perusahaan yang bertanggung jawab mengirimkan bantuan ke Gaza, namun ia secara ilegal menaikkan harga bantuan yang datang. Untuk truk bantuan senilai sekitar $5000, al-Organi justru mengenakan biaya tinggi—hingga $50,000. Bahkan, al-Organi mengatur agar para penerima bantuan harus membayar tambahan biaya administrasi, yang tak seharusnya terjadi. Ini jelas-jelas tindakan yang merugikan mereka yang sudah dalam kesulitan, dan menjadikan penderitaan sebagai ladang bisnis.
Mesir, negara yang seharusnya menjadi benteng bagi Gaza, malah tampak seperti penonton yang enggan terlibat. Alih-alih memberikan solusi, mereka memilih diam seribu bahasa, memberikan kesempatan bagi pihak-pihak swasta untuk menciptakan sistem monopoli bantuan yang berbau busuk. Lalu, siapa yang merasa diuntungkan? Tentu saja, mereka yang memperdagangkan penderitaan rakyat—dengan harga yang menakjubkan: $5000 per truk bantuan yang harus melewati perbatasan.
Pemerintah Mesir, yang seharusnya menjadi penjaga pintu masuk Gaza, justru lebih sibuk mengurus kepentingan politis. Bukankah seharusnya mereka merasa malu? Membiarkan para pengusaha seperti al-Organi bebas melakukan perdagangan nyawa demi keuntungan pribadi. Negara yang dianggap sebagai pelindung ini lebih mirip seperti penyambung hidup bagi praktik monopoli yang sangat jelas merugikan rakyatnya. Ini bukan sekadar kesalahan, ini adalah pengkhianatan terhadap mereka yang membutuhkan.
Keterlibatan pejabat Mesir dalam membiarkan monopoli ini menjadi semakin jelas. Apakah mereka takut kehilangan kursi kekuasaan jika mengganggu kedamaian para “pengusaha kemanusiaan”? Mungkin mereka hanya terlalu sibuk menghitung keuntungan politik daripada menghitung berapa banyak nyawa yang akan terabaikan karena ulah orang-orang seperti al-Organi. Yang jelas, mereka tak merasa cukup tersinggung oleh kenyataan bahwa negara mereka membiarkan praktek perdagangan penderitaan ini berlangsung begitu lama.
Sangat ironis melihat negara seperti Mesir yang seharusnya menegakkan keadilan sosial, malah memilih untuk bersembunyi di balik politik kepentingan dan ketakutan. Bukankah lebih baik jika mereka mengambil sikap tegas, memberantas monopoli, dan memastikan bahwa penderitaan tidak menjadi ladang bisnis? Jika tidak, mereka akan terus dipandang sebagai komplis dalam ketidakadilan ini. Sungguh sebuah ironi besar ketika negara yang seharusnya menolong justru menjadi pelindung dari praktek pengeksploitasian bantuan ini.
Di saat yang sama, al-Organi hanya menertawakan semua ini. Bagi dia, ini bukanlah masalah, melainkan bisnis yang menguntungkan. Kenapa tidak? Orang-orang yang kelaparan dan terjebak dalam perang bukanlah manusia biasa, mereka adalah target pasar yang sangat menguntungkan bagi yang tahu cara bermain. Semua itu berjalan lancar karena adanya diam seribu bahasa dari pihak berwenang, yang malah terlihat seperti pemeran tambahan dalam drama ini.
Namun, tak hanya Mesir yang terkesan bungkam dalam menghadapi situasi ini. PBB, yang seharusnya memegang otoritas untuk memastikan distribusi bantuan dengan adil, seolah tak berdaya atau malah terlibat dalam diamnya. Mengapa badan dunia yang seharusnya mengawal hak-hak kemanusiaan ini memilih untuk menutup mata terhadap monopoli yang jelas-jelas merugikan para korban? Apakah ada politik global yang lebih penting daripada memastikan bantuan sampai kepada yang membutuhkan?
UNHCR, sebagai badan yang bertugas melindungi pengungsi, dan UNRWA, yang memiliki mandat untuk membantu pengungsi Palestina, juga terlihat terkesan acuh tak acuh. Mereka bisa saja mengintervensi, memastikan bahwa setiap bantuan yang masuk ke Gaza tidak dibajak oleh oknum-oknum seperti al-Organi. Namun kenyataannya, mereka tampak membiarkan penderitaan bertambah akibat ulah orang-orang yang memanfaatkan kesempatan ini. Apakah mereka takut dengan pengaruh yang lebih besar di luar sana? Atau mungkin mereka hanya terlalu sibuk bermain aman dengan tidak mengusik para “pengusaha kemanusiaan” ini?
Jika PBB dan lembaga-lembaga internasional ini benar-benar ingin menunjukkan keberpihakan mereka kepada yang tertindas, mereka harus berani bertindak lebih tegas. Membiarkan kejahatan kemanusiaan seperti ini berjalan tanpa intervensi adalah bukti nyata bahwa politik uang lebih berkuasa daripada solidaritas sesama manusia. PBB, yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam memerangi ketidakadilan, malah terlihat bersekutu dengan ketidakpedulian.
Bagi al-Organi dan para pengeksploitasi lainnya, ini adalah ladang emas. Kenapa tidak? Sementara dunia berputar di atas penderitaan, mereka semakin kaya dengan mengorbankan mereka yang tidak bersalah. Bagaimana kita bisa berharap pada perbaikan yang nyata jika tangan-tangan yang seharusnya menolong justru lebih memilih untuk menunggu waktu dan tidak melakukan apa-apa? Dunia internasional harus mengakui bahwa mereka telah gagal. Mesir harus berhenti berpura-pura tidak melihat, dan kita semua harus bertanya: Di mana peran PBB dan lembaga internasional lainnya dalam memastikan agar korban tidak terus-menerus dieksploitasi?
Jika Mesir berani bersikap tegas, mungkin saja kisah ini akan berbeda. Namun, dengan tak berdayanya mereka, rakyat Gaza harus menunggu lebih lama untuk menyentuh bantuan yang seharusnya sudah mereka terima. Mungkin Mesir masih harus berbicara banyak soal stabilitas politik daripada soal bagaimana caranya menyelamatkan nyawa mereka yang menderita. Ironi ini benar-benar memalukan, dan kita semua hanya bisa menunggu, apakah akhirnya ada pihak yang berani mengakhiri monopoli kejam ini.