Connect with us

Opini

Misi Tanpa Kompas: Risiko Pasukan Barat di Ukraina

Published

on

Di ruang-ruang sidang Brussel yang bergema dengan nada tegang, para menteri pertahanan dari koalisi pendukung Ukraina berkumpul, wajah mereka mencerminkan beban keputusan yang belum terjawab. Laporan dari AFP mengguncang diskusi: hanya enam negara Barat—Inggris, Prancis, Estonia, Latvia, Lituania, dan satu negara yang tak disebutkan—berjanji mengirim pasukan ke Ukraina pasca-konflik, meski tujuan dan mandat misi itu masih kabur, seperti bayang-bayang di cakrawala yang tak pernah jelas. Keputusan ini, yang diumumkan di tengah ketidakpastian, memicu pertanyaan: bagaimana sebuah komitmen begitu berat bisa lahir tanpa peta jalan yang pasti?

Langkah untuk mengerahkan pasukan tanpa kejelasan misi tampak lebih dipicu oleh dorongan politik dan simbolisme daripada strategi rasional. Inggris, melalui Menteri Pertahanan John Healey, menegaskan bahwa rencana mereka “nyata dan substansial,” menjanjikan pasukan yang akan menjamin “perdamaian abadi.” Namun, kata-kata ini terasa hampa ketika koalisi sendiri belum menentukan apakah pasukan itu akan bertindak sebagai penjaga perdamaian, pelatih militer, atau kekuatan pencegah. Ketidakjelasan ini bukan sekadar kekurangan teknis; ini adalah celah strategis yang bisa meruntuhkan kredibilitas koalisi. Tanpa mandat tegas, komitmen ini berisiko menjadi simbol kosong—menjanjikan harapan tanpa jaminan.

Negara-negara Baltik—Estonia, Latvia, dan Lituania—mungkin memiliki alasan yang lebih eksistensial untuk bertindak cepat. Berbatasan langsung dengan Rusia, mereka hidup dalam bayang-bayang sejarah invasi dan tekanan geopolitik. Bagi mereka, mendukung Ukraina bukan sekadar solidaritas, melainkan pertahanan dini. Namun, bahkan dengan motivasi sekuat itu, keputusan untuk berkomitmen tanpa kejelasan tetap menimbulkan tanda tanya. Apakah mereka yakin bahwa kehadiran pasukan Barat saja cukup untuk menahan Rusia? Atau ini sekadar langkah emosional, lahir dari ketakutan yang mendalam? Data dari Stockholm International Peace Research Institute menunjukkan bahwa ketiga negara ini meningkatkan belanja militer hingga 12% per tahun sejak 2014—cerminan dari kecemasan strategis yang mendorong mereka pada keputusan berisiko.

Sementara itu, Prancis dan Inggris tampaknya memainkan peran geopolitik yang lebih luas. Prancis, di bawah kepemimpinan Emmanuel Macron, telah lama mengampanyekan otonomi strategis Eropa, dan komitmen ini bisa dibaca sebagai upaya memperkuat posisi Paris di panggung global. Inggris, pasca-Brexit, berupaya mempertahankan pengaruhnya di Eropa melalui peran militer yang lebih proaktif. Namun, tanpa kejelasan misi, langkah ini bisa jatuh menjadi sekadar panggung diplomatik. Laporan NATO tahun 2023 menyebut Inggris mengerahkan 7.000 personel dalam latihan di Eropa Timur, menegaskan kapasitas mereka. Tapi kapasitas tanpa visi strategis hanya akan menghasilkan kebingungan. Retorika “perdamaian abadi” akan kehilangan makna jika tidak didukung strategi matang.

Skeptisisme dari anggota koalisi lainnya memperjelas bahwa pendekatan ini belum memiliki landasan bersama. Menteri Pertahanan Belanda, Ruben Brekelmans, secara terbuka mempertanyakan arah misi dan menekankan pentingnya dukungan dari Amerika Serikat—yang sejauh ini enggan mengerahkan pasukan ke Ukraina. Swedia, melalui Menteri Pertahanan Pal Jonson, menuntut kejelasan tentang apakah pasukan itu bertugas sebagai penjaga perdamaian atau sebagai kekuatan pencegah. Pertanyaan-pertanyaan ini mencerminkan kekhawatiran mendalam bahwa misi tanpa peta jalan hanya akan memperburuk keadaan. Laporan dari European Council on Foreign Relations mengungkap bahwa 60% anggota NATO lebih memilih jalur diplomasi daripada intervensi militer langsung—mengindikasikan bahwa mayoritas koalisi belum siap mengambil risiko besar tanpa arah yang pasti.

Ketidakhadiran mandat yang eksplisit juga memunculkan potensi salah tafsir oleh Rusia. Dmitry Medvedev, mantan presiden Rusia, memperingatkan bahwa kehadiran pasukan NATO di Ukraina, bahkan jika hanya sebagai penjaga perdamaian, bisa dianggap sebagai deklarasi perang. Ancaman ini bukan sekadar retorika. Data dari Center for Strategic and International Studies mencatat peningkatan latihan militer Rusia sebesar 15% di perbatasan barat sejak 2022—tanda kesiapan mereka menghadapi skenario terburuk. Tanpa pembatasan eksplisit dalam mandat—misalnya peran non-kombatan—langkah koalisi ini justru bisa menjadi pemicu eskalasi, bukan penyelesai konflik.

Lebih jauh, sejarah mengajarkan bahwa keberhasilan misi militer internasional sangat bergantung pada kejelasan tujuan. Misi penjaga perdamaian PBB di Bosnia pada 1990-an, misalnya, berhasil karena mandatnya tegas: melindungi zona aman dan memfasilitasi gencatan senjata. Sebaliknya, intervensi pasca-2001 di Afghanistan menderita karena tujuan yang berubah-ubah dari kontra-terorisme menjadi pembangunan negara. Laporan dari Brown University menyebutkan intervensi itu menghabiskan lebih dari $2 triliun dan memakan jutaan nyawa tanpa hasil yang memuaskan. Komitmen enam negara ke Ukraina, jika diambil tanpa refleksi mendalam, bisa mengulang kegagalan serupa.

Pertanyaan mengenai akuntabilitas juga tak kalah penting. Jika misi ini gagal, siapa yang akan menanggung dampaknya—baik secara politik, ekonomi, maupun moral? Ukraina, yang telah kehilangan lebih dari 10% wilayahnya sejak 2014 menurut laporan OSCE, sangat bergantung pada dukungan sekutu untuk bertahan dan pulih. Jika pasukan Barat dikerahkan tanpa kesiapan matang dan akhirnya ditarik mundur, rasa dikhianati bisa merusak kepercayaan jangka panjang Kyiv terhadap Barat. Data dari Gallup menunjukkan bahwa 70% warga Ukraina masih percaya pada dukungan NATO. Namun, kepercayaan itu bukan cek kosong—janji yang tidak ditepati bisa membalikkan opini publik secara drastis.

Koalisi juga menghadapi tantangan internal berupa ketidaksepakatan yang melemahkan kohesi strategis. Perbedaan antara negara-negara yang siap bertindak dan yang lebih berhati-hati, seperti Belanda dan Swedia, menciptakan celah dalam aliansi. Laporan dari International Crisis Group mencatat bahwa perpecahan semacam ini sering kali melemahkan efektivitas misi internasional, seperti yang terjadi dalam intervensi Libya 2011. Harapan bahwa langkah enam negara ini akan memicu solidaritas lebih luas justru bisa menjadi bumerang jika tak disertai konsensus sejak awal. Dalam konteks ini, strategi “langkah dulu, pikir nanti” adalah pendekatan yang terlalu berisiko.

Pada akhirnya, keputusan ini menyoroti ketegangan abadi antara dorongan untuk bertindak dan keharusan untuk berhati-hati. Enam negara mungkin merasa terdorong oleh tekanan moral atau kebutuhan untuk menunjukkan sikap terhadap Rusia. Namun, tanpa arah yang jelas dan rencana yang konkret, langkah ini rawan menjadi sia-sia. Seperti kapal yang berlayar tanpa kompas, komitmen ini mungkin tampak berani dari luar, tetapi mudah tersesat di tengah badai geopolitik. Jika koalisi ingin benar-benar membantu Ukraina, mereka harus segera menyusun peta jalan yang solid: mendefinisikan tujuan, membatasi peran, menjamin dukungan luas, dan mengantisipasi respons Rusia. Hanya dengan landasan seperti itu, janji mereka bisa menjelma dari kata-kata yang menggema di Brussel menjadi strategi yang benar-benar berarti.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *