Connect with us

Opini

Mimpi Pendidikan Gratis: Harapan atau Utopia?

Published

on

Saya duduk di depan layar, menatap tayangan YouTube Kompas TV bertanggal 29 Mei 2025. Jantung saya berdegup kencang—bukan hanya karena kata-kata yang terdengar dari layar, tapi karena beban batin yang menyelinap di dada, menyisakan kegelisahan yang tak kunjung reda. “Bagaimana menindaklanjuti putusan MK yang meminta pemerintah menjamin pendidikan tanpa biaya untuk SD sampai SMP, baik di sekolah negeri maupun swasta?” Pertanyaan sederhana itu menghentak. Kalimat pembuka yang terdengar biasa saja, namun membangkitkan luka lama dalam diri saya—sebagai bagian dari bangsa ini.

Delapan dekade pasca-kemerdekaan, anak-anak Indonesia masih berjuang untuk bersekolah. Masih terhimpit biaya. Masih terpinggirkan dari hak paling dasar yang dijanjikan. Saya, seperti jutaan warga lainnya, merasakan getir: inikah potret kita—bangsa yang katanya merdeka, tapi gagal memeluk anak-anaknya sendiri?

Perlahan, saya membaca lebih lanjut. Putusan Mahkamah Konstitusi itu, final dan mengikat, membawa secercah harapan: pemerataan pendidikan tanpa sekat antara negeri dan swasta. Saya teringat masa kecil di sebuah desa di Jawa Timur. Banyak teman sebaya saya terpaksa berhenti sekolah. Bukan karena tidak mau, tapi karena orang tua mereka tak sanggup membayar SPP sekolah swasta. Sekolah negeri? Terbatas, jauh, atau kondisinya memprihatinkan.

Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 menyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar. Begitu juga amanat konstitusi, Pasal 31 UUD 1945. Namun, kenyataannya masih jauh panggang dari api. Saya merasa marah, sekaligus lelah. Janji-janji luhur itu terasa hampa ketika jutaan anak Indonesia masih terlantar dan tak mampu mengenyam pendidikan layak.

Saya mencoba memahami lebih dalam. Ferdiansyah, anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi Golkar, mengatakan bahwa tidak ada dikotomi antara sekolah negeri dan swasta dalam kerangka hukum pendidikan. Secara teori, memang demikian. Namun dalam praktiknya, jurang antara keduanya masih sangat terasa.

Saya membayangkan anak-anak di pelosok Papua, NTT, atau Aceh, berjalan kaki menempuh medan berat demi mencapai sekolah. Kadang, mereka hanya bertemu bangunan reyot, bahkan ada yang tak menemukan ruang kelas sama sekali. Ketika sekolah negeri tak tersedia, satu-satunya pilihan adalah sekolah swasta—yang justru memerlukan biaya tak sedikit. Bukankah ini berarti negara absen ketika seharusnya hadir?

Putusan MK ini konon hendak mendorong implementasi konstitusi melalui pola penganggaran yang lebih adil. Tiga sumber pendanaan disebut: APBN, APBD, dan partisipasi masyarakat. Namun hati saya mempertanyakan: mengapa anggaran pendidikan yang ratusan triliun setiap tahun—dan terus meningkat—masih belum cukup mengatasi persoalan mendasar ini?

Ubait Matraji, pakar pendidikan dan Koordinator Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia, menyampaikan kenyataan pahit: anggaran pendidikan “tersebar ke mana-mana,” dinikmati oleh 24 kementerian dan lembaga, tanpa arah yang jelas dan tanpa fokus pada prioritas.

Saya kembali terdiam. Di negara kaya sumber daya ini, mengapa kita terus gagal memprioritaskan pendidikan dasar? Ubait menyatakan, “Ada jutaan anak Indonesia yang bahkan untuk sekadar bersekolah saja tidak bisa.” Pernyataan itu menampar nurani. Data dari Kemendikbudristek tahun 2023 menunjukkan sekitar 2,5 juta anak usia 7–15 tahun tidak bersekolah. Entah karena putus sekolah atau tak pernah merasakan bangku pendidikan sama sekali. Delapan puluh tahun merdeka, dan kita masih harus bicara soal akses dasar ke sekolah?

Saya dilanda rasa malu, marah, dan tak berdaya sekaligus. Namun, di tengah semua itu, ada secercah harapan. Putusan MK ini, menurut Ubait, bisa menjadi tonggak baru. Fase untuk menyusun ulang fokus anggaran dan menguatkan kembali komitmen terhadap pendidikan dasar. Tapi, muncul pertanyaan besar: apakah kita benar-benar memiliki kehendak politik untuk mewujudkannya?

Ferdiansyah menyebut tentang pentingnya standar pelayanan minimal. Saya sependapat, ini langkah esensial. Namun, saat ia berkata, “Kita jangan terjebak serta-merta dari seluruhnya APBN,” kegelisahan muncul kembali. Memang, APBD dan peran masyarakat penting, tapi mengapa negara seolah ingin membagi beban ke rakyat yang sudah kepayahan secara ekonomi?

Ia menambahkan bahwa kemampuan fiskal tiap daerah berbeda, sehingga pendekatan zonasi—barat, tengah, timur—lebih realistis. Saya bisa memahami itu. Biaya hidup di Jakarta tentu tak bisa disamakan dengan di Alor atau Pidie. Tapi tetap saja, dalam hati saya bertanya: berapa lama lagi anak-anak dari wilayah tertinggal harus bersabar?

Ubait menekankan bahwa ini bukan soal mencampuri urusan sekolah swasta, melainkan tentang melindungi hak anak atas pendidikan tanpa diskriminasi. Ia mengangkat satu fakta: di banyak daerah, kapasitas sekolah negeri sangat terbatas. Dari 1.000 calon siswa, hanya 500 yang tertampung. Sisanya? Dipaksa ke sekolah swasta yang tak semua orang tua mampu biayai.

Saya membayangkan wajah-wajah lelah orang tua buruh, petani, atau nelayan—yang harus merelakan anaknya tidak sekolah karena tak mampu membayar. Putusan MK ini ingin agar negara menanggung biaya bagi anak-anak yang terpaksa bersekolah di swasta. Bahkan ada sanksi jika negara tidak melakukannya. Tapi saya khawatir: tanpa standar biaya yang tegas dan pengawasan yang kuat, akankah semua ini benar-benar terwujud?

Di sisi lain, Ferdiansyah menyampaikan bahwa pemerintah dan DPR butuh waktu untuk menghitung ulang standar biaya minimal, mungkin melalui Perubahan APBN. Saya mengangguk pelan, memahami prosesnya. Tapi waktu—itulah yang selalu menjadi alasan. Dan anak-anak kita terus menunggu.

“Berilah kami kesempatan,” katanya. Saya ingin percaya. Namun, pengalaman masa lalu membuat saya waspada. Banyak janji dalam UUD 1945 yang tak kunjung terwujud, mulai dari perlindungan terhadap fakir miskin hingga jaminan terhadap anak terlantar. Mengapa saya harus yakin kali ini akan berbeda?

Ubait menawarkan hitungan yang mengejutkan. Ia bilang, dengan refocusing anggaran pendidikan sebesar Rp84 triliun, pendidikan dasar di negeri ini bisa gratis sepenuhnya. Saya terdiam. Jumlah itu besar. Tapi ia yakin, APBN dan APBD sanggup, asalkan difokuskan pada sektor pendidikan dasar.

Ia menyebut Kementerian Pendidikan dan Kementerian Agama sebagai lembaga yang bisa menyalurkan anggaran tersebut. “Sudah lebih dari cukup,” katanya. Saya ingin percaya. Namun bayangan tentang birokrasi kita yang tidak efisien, bahkan koruptif, menghalangi keyakinan itu. Transparency International mencatat Indeks Persepsi Korupsi Indonesia tahun 2024 masih berada di angka 34 dari 100—jauh dari kategori baik.

Saya merenung. Putusan MK ini jelas adalah angin segar. Sebuah terobosan. Tapi saya tak bisa mengabaikan kekhawatiran. Ini bukan cuma soal besarnya anggaran atau skema pembagian zona. Ini soal anak-anak Indonesia—generasi masa depan yang seharusnya berlari, bukan tertahan karena tak mampu bayar seragam, buku, atau SPP.

Ubait benar: ini bukan sekadar tugas kementerian, tapi mandat langsung kepada Presiden. Butuh kekuatan eksekutif, kehendak tulus, dan koordinasi nyata—dari Kemendagri, Kemenkeu, Kemenag, hingga pemerintah daerah. Tapi, benarkah niat itu ada?

Saya masih termenung. Dalam dada saya, ada gejolak rasa—marah pada ketidakadilan, sedih pada kenyataan, dan harap yang menggantung. Ferdiansyah meminta dukungan publik, serta transparansi dan akuntabilitas dalam pelaksanaannya. Ubait meyakinkan bahwa ini sangat mungkin, jika kita sungguh fokus pada prioritas utama: pendidikan dasar sebagai hak anak yang tak bisa ditawar.

Saya ingin bermimpi bersama mereka. Mimpi tentang anak-anak dari Sabang sampai Merauke, dari kota hingga pelosok, duduk di ruang kelas dengan tenang, tersenyum, belajar, tanpa dibebani biaya. Tapi, pertanyaan itu kembali muncul: berapa lama lagi kita harus menunggu? Apakah pemerintah benar-benar punya niat baik?

Saya kembali menatap laporan ini, mencari secercah cahaya dari tumpukan harapan. Putusan MK bisa menjadi peluang emas. Titik balik menuju keadilan dan pemerataan. Tapi itu hanya akan terjadi jika kita, sebagai bangsa, tak lagi diam. Saya menulis ini agar kamu, pembaca, juga bisa merasakan: pedihnya realitas, sekaligus kemungkinan indah dari perubahan. Apa yang bisa kita lakukan? Mengawal anggaran? Menuntut kejelasan kebijakan? Atau sekadar berdoa, agar niat baik kali ini bukan lagi janji kosong?

Saya tidak tahu pasti. Tapi dalam lubuk hati, saya tetap berharap: demi anak-anak kita, semoga kali ini sungguh berbeda. Semoga.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *