Connect with us

Opini

Militer Zionis Menang? Gangguan Jiwa Menghancurkan Mereka!

Published

on

Kemenangan adalah ilusi yang paling mahal dalam perang. Di layar kaca, militer zionis menampilkan citra tak terkalahkan, senjata canggih, serangan presisi, dan pasukan yang konon tak tergoyahkan. Namun, angka yang dikeluarkan oleh Kementerian Keamanan mereka sendiri membongkar kebohongan ini. 78.000 tentara terluka dan cacat. Lebih dari 62% menderita trauma psikologis. Ini bukan statistik kecil, ini adalah bencana.

Mereka yang dulu mengangkat senjata dengan penuh kebanggaan kini gemetar di sudut-sudut rumah sakit, dihantui suara bom yang tak lagi meledak. Tentara yang katanya paling disiplin di dunia kini antri berbondong-bondong mencari terapi psikologis, meminta pertolongan dari negara yang memaksa mereka menjadi algojo. Ini bukan tentara, ini korban.

Lebih dari 170.000 tentara telah mendaftar dalam program terapi psikologis yang diluncurkan oleh Kementerian Keamanan. Angka yang begitu besar hingga bahkan negara dengan anggaran militer raksasa pun mulai kehabisan tenaga medis untuk menangani mereka. Dahulu mereka berbaris dalam kesombongan, kini mereka berbaris untuk terapi. Betapa perang menjungkirbalikkan segalanya.

Sementara itu, ada pula mereka yang tak cukup kuat untuk bertahan dalam lingkaran neraka ini. 10.000 tentara resmi didiagnosis mengalami disabilitas psikologis permanen. Mereka yang dulunya mencibir rakyat Palestina kini menggigil saat mendengar suara kembang api. Mereka yang dulu menghancurkan rumah-rumah kini mendapati rumah di dalam kepala mereka sendiri telah runtuh total.

Tetapi, jangan salah. Ini bukan sekadar angka. Ini adalah tanda kehancuran sistematis dari tubuh dan jiwa sebuah mesin perang. Perang tidak hanya menghabisi musuh, ia juga perlahan-lahan memakan pasukannya sendiri. Yang berperang, yang mati. Yang bertahan hidup, tetap mati—dalam kepala mereka sendiri.

Militer zionis pernah menganggap dirinya sebagai pasukan paling siap tempur. Namun, bagaimana sebuah pasukan bisa menang ketika lebih dari separuh tentaranya tidak lagi ingin bertempur? Bagaimana bisa mengalahkan musuh ketika musuh sejatinya telah bersembunyi di dalam kepala mereka sendiri?

Dalam dunia propaganda, keberanian adalah segalanya. Namun, semakin banyak tentara yang menolak untuk kembali ke garis depan. Semakin banyak yang mengundurkan diri, menolak panggilan tugas, dan memilih menghadapi pengadilan militer daripada kembali ke neraka yang sama. Mereka tidak melawan musuh, mereka melawan diri sendiri.

Sebuah tentara yang kelelahan bukanlah tentara yang menang. Militer yang kehilangan moral lebih berbahaya daripada militer yang kehilangan senjata. Dan dalam kasus zionis, mereka kehilangan keduanya. Tak hanya PTSD merajalela, tetapi juga jumlah desertir yang meningkat drastis, meskipun ini tak pernah diumumkan secara resmi. Mereka tidak kabur dari musuh, mereka kabur dari trauma.

Zionis kini menghadapi krisis tenaga militer terbesar sejak era pendudukan Lebanon Selatan. Mereka tidak kehabisan senjata, tetapi mereka kehabisan manusia yang bersedia menekan pelatuknya. Tentu, teknologi tetap canggih, drone tetap berputar di langit, tetapi siapa yang akan mengendalikannya jika otak para tentaranya sudah koyak?

Dulu, mereka yang pulang dari perang dianggap sebagai pahlawan. Kini, mereka pulang sebagai bom waktu, siap meledak kapan saja di tengah masyarakat. Orang-orang yang dilatih untuk membunuh kini tak tahu bagaimana cara hidup. Mereka tidak hanya berbahaya bagi musuh, tetapi juga bagi keluarga mereka sendiri.

Para pemimpin zionis bisa saja terus membual di depan kamera, berbicara tentang kemenangan, tentang keamanan, tentang dominasi regional. Tapi bagaimana bisa sebuah negara merasa aman ketika tentaranya sendiri takut akan bayangan mereka sendiri? Ketika tangan mereka masih bergetar di meja makan, ketika malam-malam mereka dipenuhi jeritan dari masa lalu?

Seorang tentara zionis yang kembali dari Gaza mengaku bahwa dia tidak lagi bisa melihat anaknya sendiri tanpa merasa ingin menangis. Dia tidak terluka secara fisik, tapi dia sudah mati secara mental. Dia bukan satu-satunya. Ada puluhan ribu lainnya seperti dia. Perang tidak hanya menghancurkan satu generasi, tetapi juga generasi berikutnya yang harus tumbuh dengan ayah yang patah.

Di kamp-kamp terapi, mereka berbicara dengan suara lirih, takut dengan ingatan mereka sendiri. Beberapa dari mereka masih mencengkeram sesuatu yang tak ada—senjata khayalan yang tetap mereka pegang meskipun sudah tak lagi berada di medan tempur. Mereka masih berperang, tapi kali ini, lawan mereka adalah diri sendiri.

Ada yang percaya bahwa PTSD hanyalah ketakutan berlebihan. Tetapi bagaimana jika ketakutan itu nyata? Bagaimana jika musuh yang mereka bunuh tak pernah benar-benar mati, melainkan tinggal di dalam kepala mereka, selamanya? Bagaimana jika setiap suara keras menghidupkan kembali horor yang ingin mereka lupakan?

Militer zionis suka membanggakan serangan mereka. Tapi serangan seperti apa yang bisa menghancurkan trauma? Bom apa yang bisa meledakkan kenangan buruk? Peluru apa yang bisa membunuh rasa bersalah? Mereka telah menaklukkan tanah, tapi mereka telah kehilangan kedamaian dalam diri mereka sendiri. Mereka telah menjadi tawanan perang dalam pikiran mereka sendiri.

Mungkin ini adalah ironi yang terbesar dalam sejarah perang modern. Mereka yang dulu menganggap diri sebagai predator kini menjadi buruan oleh ingatan mereka sendiri. Mereka yang dulu menganggap diri kebal kini harus menjalani terapi setiap minggu. Mereka yang dulu menginjak-injak orang lain kini hancur oleh kaki mereka sendiri.

Dalam perang, ada dua jenis korban: mereka yang mati di medan tempur, dan mereka yang mati setelahnya. Dan saat ini, militer zionis telah menciptakan lebih banyak korban dari jenis yang kedua. Mereka yang selamat dari tembakan musuh kini dihancurkan oleh sesuatu yang lebih kejam—pikiran mereka sendiri yang tak bisa melupakan.

Jadi, ketika mereka berkata bahwa mereka menang, tanyakan lagi: menang dari siapa? Karena jika melihat tentara mereka sendiri, jelas sekali bahwa kekalahan telah lama bersembunyi di dalam barisan mereka sendiri. Mereka tidak membutuhkan musuh untuk menghancurkan mereka. Mereka telah menghancurkan diri mereka sendiri.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *