Connect with us

Opini

Militer & Seniman Israel Bersatu Tolak Perang Gaza

Published

on

Di jantung Tel Aviv, spanduk bergoyang di angin, bertuliskan seruan damai dari para veteran perang. Di kafe-kafe Yerusalem, seniman berbisik tentang petisi yang ditandatangani ribuan jiwa, menuntut gencatan senjata di Gaza. Suara rakyat Israel, yang biasanya terpecah, kini bergema dalam harmoni tak terduga: militer dan budayawan, pilot dan penyair, bersatu menentang perang. Menurut laporan KAN, 500 lulusan Kursus Komandan Cadangan Angkatan Laut menandatangani petisi, mendesak pemerintah menghentikan pertempuran dan memprioritaskan pembebasan sandera. Gelombang ini bukan sekadar protes—ini adalah pemberontakan nurani.

Laporan Haaretz mencatat bahwa 1.700 seniman dan intelektual ikut menandatangani petisi serupa, menyerukan gencatan senjata segera dan kembalinya sandera. Angka ini diperkuat oleh 100.000 tanda tangan warga Israel dalam lima hari, menurut sumber Haaretz, menandakan gelombang penolakan terhadap strategi militer yang telah menewaskan 51.000 orang di Gaza, sebagaimana dilaporkan Kementerian Kesehatan Gaza. Di antara penandatangan adalah empat mantan komandan senior Angkatan Laut, tokoh yang biasanya setia pada doktrin keamanan Israel. Kini, mereka mengecam keputusan pemerintah yang mereka anggap dipenuhi “pertimbangan tidak sah,” sebagaimana tertulis dalam surat 150 perwira angkatan laut kepada Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan pimpinan militer.

Pemberontakan ini bukanlah hal sepele. Israel, sebuah negara yang dibangun di atas narasi keamanan dan ketahanan militer, jarang menyaksikan perwira aktif dan cadangan menentang perintah. Laporan menyebutkan 950 pilot aktif dan cadangan menolak dinas militer, menyebut perang di Gaza hanya melayani “kepentingan pribadi dan politik yang sempit.” Surat mereka, yang diterbitkan media Israel, menyoroti pengabaian terhadap 59 sandera yang masih terperangkap di terowongan Hamas, sementara pemerintah mundur dari komitmen pembebasan. Tindakan ini memicu respons keras dari Panglima Angkatan Udara Mayor Jenderal Tomer Bar, yang memecat para penandatangan secara permanen, menegaskan bahwa militer tidak bisa mentolerir ketidakpercayaan internal. Namun, pemecatan ini justru memperdalam perpecahan, mempertanyakan legitimasi strategi perang.

Apa yang mendorong pemberontakan ini? Laporan menunjukkan ketidakpuasan yang mendalam terhadap kepemimpinan Netanyahu. Surat para perwira angkatan laut menyinggung “bahaya yang dihadapi tentara” dan “ketidakadilan dalam pembagian beban,” sebuah kritik tajam terhadap politisasi keputusan keamanan. Isu ini diperparah oleh reformasi yudisial yang kontroversial, pemecatan kepala Shin Bet Ronen Bar, dan upaya mengganti Jaksa Agung Gali Baharav-Miara, sebagaimana dilaporkan media Israel. Reformasi ini, yang dilihat sebagai upaya Netanyahu untuk memperkuat kekuasaan, telah memicu protes massal sejak sebelum perang. Kini, ketika Gaza hancur dan sandera terlantar, rakyat Israel melihat kebijakan ini sebagai pengkhianatan terhadap nilai-nilai demokrasi dan kemanusiaan yang mereka junjung.

Di luar militer, suara seniman menambah bobot pada gerakan ini. Petisi 1.700 budayawan, menurut Haaretz, bukan sekadar seruan emosional, tetapi cerminan krisis identitas nasional. Seniman, yang sering menjadi cermin masyarakat, menolak narasi perang tanpa akhir. Mereka menyerukan kembalinya sandera, sebuah isu yang menyentuh hati setiap keluarga Israel. Laporan menyebutkan bahwa Hamas, melalui juru bicara Abu Obeida, mengklaim setengah sandera berada di zona evakuasi yang dibom Israel, sebuah pernyataan yang memperkuat argumen bahwa perang membahayakan nyawa mereka. Seniman dan intelektual, dengan petisi mereka, menegaskan bahwa solusi militer telah gagal—dan hanya diplomasi yang bisa menyelamatkan nyawa.

Gelombang protes ini bukan tanpa risiko. Para pilot yang menolak dinas menghadapi stigma sosial dan hukuman karier, sebagaimana ditunjukkan oleh pemecatan massal oleh Mayor Jenderal Bar. Namun, keberanian mereka mencerminkan perubahan paradigma. Laporan menyinggung bahwa para penandatangan, termasuk pensiunan angkatan udara, mengkritik perang sebagai “bermuatan politik” ketimbang strategis. Ini bukan sekadar penolakan terhadap Gaza, tetapi juga terhadap visi Netanyahu yang semakin otoriter. Dengan 116.343 warga Gaza terluka sejak Oktober 2023, menurut Kementerian Kesehatan Gaza, dan 1.9 juta orang mengungsi, warga Israel mulai mempertanyakan harga kemanusiaan dari perang ini.

Pemberontakan ini juga menyoroti kontradiksi dalam masyarakat Israel. Di satu sisi, keamanan adalah pilar identitas nasional; di sisi lain, kebrutalan perang telah memicu introspeksi. Laporan menyebutkan serangan udara Israel di Stadion Yarmouk, yang menewaskan dua pengungsi dan melukai tujuh lainnya, serta serangan di Al-Mawasi yang membunuh dua orang lagi. Tindakan ini, yang menargetkan area pengungsian, bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang diklaim Israel. UNRWA, melalui direktur Philippe Lazzarini, menggambarkan Gaza sebagai “neraka,” dengan kelaparan dan penyakit merajalela akibat blokade bantuan selama sebulan. Data ini memperkuat argumen para petisioner bahwa perang tidak hanya gagal secara strategis, tetapi juga merusak moral Israel.

Namun, apakah suara rakyat ini cukup untuk mengubah arah? Netanyahu, yang menghadapi tekanan domestik dan internasional, tampaknya tetap bergeming. Laporan menyebutkan proposal Israel yang bocor untuk membebaskan sandera Edan Alexander sebagai isyarat kepada AS, menunjukkan bahwa diplomasi masih dipertimbangkan. Namun, pernyataan Hamas bahwa Israel mengabaikan kesepakatan Januari menunjukkan kurangnya kepercayaan dalam negosiasi. Sementara itu, delegasi Hamas di Kairo bernegosiasi dengan mediator Mesir dan Qatar, tetapi kemajuan tetap lambat. Di tengah kebuntuan ini, suara rakyat Israel—dari pilot hingga penyair—menjadi mercusuar harapan, menuntut akuntabilitas dan kemanusiaan.

Perjuangan ini bukan hanya tentang Gaza, tetapi tentang jiwa Israel. Laporan menunjukkan bahwa 100.000 tanda tangan dalam lima hari bukanlah angka biasa—ini adalah seruan kolektif untuk masa depan yang berbeda. Para veteran, yang pernah mempertaruhkan nyawa demi negara, kini mempertaruhkan reputasi demi perdamaian. Para seniman, dengan pena dan kanvas mereka, menggambar visi masyarakat yang menolak kehancuran. Bersama, mereka menantang narasi perang abadi, menegaskan bahwa keamanan sejati lahir dari diplomasi, bukan bom. Di tengah puing-puing Gaza dan jeritan sandera, suara rakyat Israel menawarkan pelajaran universal: keberanian untuk menentang bukanlah kelemahan, tetapi kekuatan.

Kini, ketika petisi terus menyebar dan protes menggema, pertanyaan besar menggantung: akankah pemerintah mendengar? Atau akankah suara rakyat ini, meski lantang, tenggelam dalam gemuruh perang? Laporan menunjukkan bahwa 1.630 warga Gaza tewas sejak 18 Maret, menurut Kementerian Kesehatan Gaza, sebuah pengingat bahwa setiap hari tanpa gencatan senjata menambah derita. Bagi Israel, yang berdiri di persimpangan sejarah, pilihan jelas: mengindahkan seruan rakyat atau melangkah lebih jauh ke jurang. Suara militer dan seniman, yang kini bersatu, adalah panggilan untuk memilih jalan yang lebih manusiawi.

Sumber:
https://english.almayadeen.net/news/politics/500-israeli-navy-reservists-sign-petition-calling-for-end-of

https://english.almayadeen.net/news/politics/hamas-says-contact-lost-with-unit-holding-israeli-american-s

https://english.almayadeen.net/news/politics/israeli-forces-bomb-gaza-displacement-tents–several-martyre

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *