Connect with us

Opini

Miliaran Terbakar, Yaman Tetap Tegak: Kegagalan AS Terulang

Published

on

Laporan dari New York Times, pada April 2025,  mengungkap bahwa Amerika Serikat telah menghabiskan lebih dari $200 juta untuk munisi presisi dalam tiga minggu serangan intensif terhadap Ansar Allah di Yaman, dengan total biaya operasi yang diperkirakan melampaui $1 miliar dalam hitungan hari. Angka ini mencakup penggunaan dua kapal induk, pesawat B-2, rudal Tomahawk, dan sistem pertahanan seperti Patriot dan THAAD. Namun, di balik pengeluaran fantastis itu, pejabat militer AS secara privat mengakui bahwa serangan ini gagal menghancurkan arsenal rudal dan drone bawah tanah Ansar Allah, yang terus melancarkan operasi terhadap kapal perang AS dan jalur pelayaran Israel di Laut Merah. Presiden Donald Trump menyebut kelompok ini “hancur,” tetapi realitas di lapangan berkata lain—sebuah narasi yang terasa déjà vu bagi siapa saja yang mengenal sejarah militer AS.

Biaya operasi ini bukan sekadar angka di atas kertas. Menurut The Cradle, penggunaan aset seperti kapal induk USS Harry S. Truman dan USS Carl Vinson, yang masing-masing menelan biaya operasional jutaan dolar per hari, ditambah rudal Tomahawk seharga $1-2 juta per unit, menunjukkan pendekatan “high-cost, high-tech” yang menjadi ciri khas AS. Namun, hasilnya minim: Ansar Allah tetap mampu menyerang dengan drone murah dan rudal lokal, bahkan menembak jatuh 17 drone MQ-9 Reaper AS—masing-masing bernilai $30 juta—sejak Oktober 2023, seperti dilaporkan oleh Sayyid Abdul-Malik al-Houthi. Ketimpangan ini mencerminkan ironisnya perang asimetris: AS mengeluarkan miliaran dolar, sementara lawan bertahan dengan biaya yang jauh lebih kecil, mengulang pola yang pernah terlihat di Vietnam dan Afghanistan

Sejarah seharusnya menjadi guru, tetapi AS tampak enggan belajar. Di Vietnam, AS menghabiskan $168 miliar (setara $1 triliun hari ini) untuk membombardir hutan dan desa, hanya untuk melihat Viet Cong bangkit dari terowongan mereka. Di Afghanistan, lebih dari $2 triliun menguap selama 20 tahun, namun Taliban kembali berkuasa pada 2021. Kini, di Yaman, pola itu terulang: teknologi canggih seperti B-2 dan satelit gagal menjangkau bunker Ansar Allah yang tersembunyi di pegunungan dan gurun. English Al Mayadeen melaporkan bahwa serangan udara harian AS sejak 15 Maret 2025 tidak menghentikan operasi kelompok ini, yang justru berhasil menyerang USS Harry S. Truman dengan rudal dan drone pada April 2025, menurut Brigjen Yahya Saree.

Mengapa hasilnya begitu minim? Salah satu penyebabnya adalah kebutaan strategis AS terhadap lawan. Ansar Allah bukan tentara konvensional dengan pangkalan terbuka, melainkan gerilyawan yang telah diasah perang melawan koalisi Saudi sejak 2015. Mereka menyembunyikan senjata di bawah tanah, memanfaatkan medan sulit Yaman—dari pegunungan hingga garis pantai—untuk mengelabui intelijen AS. Laporan New York Times menyebutkan bahwa pejabat Pentagon mengakui kesulitan mendeteksi arsenal ini, sebuah kelemahan yang diperparah oleh minimnya intelijen manusia di lapangan. Rudal presisi seharga jutaan dolar menjadi sia-sia tanpa koordinat akurat, dan teknologi satelit tidak mampu menembus bunker yang diperkuat—sebuah masalah yang pernah menghantui AS di Vietnam dan Afghanistan.

Lebih jauh, pendekatan AS terjebak dalam doktrin militer yang kaku. Dirancang untuk perang konvensional melawan musuh seperti Uni Soviet, strategi ini mengandalkan kekuatan udara dan teknologi tinggi, bukan adaptasi terhadap taktik asimetris. Di Yaman, Ansar Allah menggunakan drone murah dan rudal sederhana untuk mengimbangi kapal induk dan jet tempur AS. The Cradle mencatat bahwa biaya satu MQ-9 yang ditembak jatuh jauh melebihi biaya serangan balasan Yaman, menciptakan ketimpangan ekonomi yang menguntungkan lawan. Ini bukan pertama kalinya: di Vietnam, bom napalm tidak menghentikan Viet Cong; di Afghanistan, drone Predator tidak mengalahkan Taliban. AS terus bertaruh pada alat mahal, tetapi lupa bahwa perang bukan sekadar soal teknologi.

Narasi kemenangan yang terus digaungkan AS memperburuk masalah. Trump, dengan gaya khasnya, mengklaim Ansar Allah “tidak lagi ada,” namun laporan internal yang dikutip New York Times menunjukkan sebaliknya. Ketidaksesuaian ini bukan hal baru. Di Vietnam, pemerintah AS memamerkan “body count” untuk membuktikan kemajuan; di Afghanistan, pemilu dipuji sebagai tanda stabilitas—semua terbantahkan oleh kekalahan akhir. Di Yaman, klaim serupa lebih merupakan alat politik untuk menenangkan publik dan Kongres daripada cerminan realitas. Tekanan politik ini mendorong AS untuk menggandakan strategi yang gagal, alih-alih mengakui kelemahan dan mencari pendekatan baru.

Dampak biaya besar ini tidak hanya terasa di medan perang, tetapi juga di dalam negeri AS. New York Times melaporkan bahwa penggunaan intensif munisi jarak jauh seperti Tomahawk dan bom luncur mulai mengkhawatirkan Pentagon, yang takut stok senjata menipis untuk konflik potensial dengan China atas Taiwan. Setiap rudal yang diluncurkan di Yaman adalah sumber daya yang hilang untuk ancaman lain, sebuah dilema strategis yang memperlihatkan kecerobohan pendekatan saat ini. Sementara itu, Ansar Allah, dengan dukungan ideologis untuk Palestina dan ketahanan yang teruji, terus bertahan, bahkan melawan dengan serangan yang “berlangsung berjam-jam,” seperti dilaporkan Yahya Saree dalam English Al Mayadeen.

Krisis kemanusiaan yang ditimbulkan serangan ini menambah bobot argumen tentang ketidakefektifan strategi AS. The Cradle mencatat bahwa pemboman reservoir di Al-Hodeidah memutus air untuk 50.000 orang, sementara serangan ke rumah sakit kanker di utara Yaman menewaskan warga sipil. Kementerian Kesehatan Yaman melaporkan 92 kematian sipil dan 165 luka-luka sejak Maret 2025, sebuah harga yang memperburuk krisis akibat perang Saudi sebelumnya. Alih-alih melemahkan Ansar Allah, serangan ini justru memperkuat narasi mereka sebagai pejuang melawan agresi AS-Israel, sebuah motivasi yang tidak bisa dibom dengan rudal.

Pola ini menunjukkan bahwa AS terjebak dalam siklus kegagalan yang bisa diprediksi. Vietnam mengajarkan bahwa bombardemen tidak menghentikan gerilyawan; Afghanistan membuktikan bahwa triliunan dolar tidak menjamin stabilitas. Namun, di Yaman, AS kembali mengulangi kesalahan: menghabiskan miliaran untuk hasil minim, sambil mengabaikan akar konflik—dukungan Yaman untuk Gaza—yang tidak akan hilang dengan serangan udara. English Al Mayadeen mengutip al-Houthi yang menyebut agresi AS sebagai bagian dari perang regional melawan dominasi Israel, sebuah dimensi yang luput dari strategi AS yang terpaku pada solusi militer.

Akhirnya, pertanyaan besar muncul: sampai kapan AS akan terus membakar anggaran untuk perang yang tidak bisa dimenangkan dengan cara ini? Biaya $1 miliar di Yaman, yang bisa melonjak hingga berbulan-bulan seperti spekulasi New York Times, adalah investasi yang sia-sia jika tujuannya hanya menghasilkan bunker kosong dan korban sipil. Sejarah menunjukkan bahwa musuh asimetris tidak dikalahkan dengan kekuatan kasar, tetapi dengan pemahaman, diplomasi, dan strategi yang menyasar akar masalah. Tanpa perubahan, AS hanya akan menambah daftar panjang konflik mahal yang berakhir dengan narasi kemenangan kosong, sementara lawan mereka tetap berdiri tegak di reruntuhan.

 

sumber:

https://english.almayadeen.net/news/politics/us-spending-billions-on-yemen-strikes-with-limited-impact–o

https://english.almayadeen.net/news/politics/al-houthi–saree-say-yemen-capabilities-unaffected-by-us-agg

https://thecradle.co/articles/hundreds-of-millions-blown-for-minimal-success-washington-hits-snag-against-yemen

https://thecradle.co/articles/us-airstrikes-destroy-water-source-for-50000-yemenis

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *