Opini
Migran Eropa: Kambing Hitam atau Tulang Punggung Masa Depan?

Kota-kota Eropa, dengan lampu-lampu neon dan jalanan berbatu yang ramai, menyimpan cerita yang tak selalu terucap. Di sudut pasar malam Berlin, seorang pedagang Turki menata buah-buahan, sementara di pinggiran Paris, seorang dokter Suriah memeriksa pasien di klinik darurat. Mereka adalah migran, tulang punggung komunitas yang sering tak diakui. Namun, di balik kontribusi mereka, bayang-bayang tuduhan mengintai: migran sebagai biang keladi kejahatan, pengacau ketertiban. Mengapa Eropa begitu mudah menjadikan mereka kambing hitam?
Narasi ini bukan hal baru. Ketika kereta di Stockholm terlambat atau insiden kecil terjadi di London, jari-jari cepat menunjuk ke arah “orang luar.” Media menyiarkan berita dengan judul sensasional, politisi menggembar-gemborkan kebijakan anti-imigrasi, dan publik terbawa arus ketakutan. Laporan Home Office Inggris pada 2020 menunjukkan bahwa tingkat kejahatan lebih terkait dengan kemiskinan daripada status migran, namun persepsi publik tetap terdistorsi. Studi di Jerman pada 2018 menguatkan hal serupa: kejahatan oleh migran sebanding dengan warga lokal jika faktor sosial-ekonomi disesuaikan. Mengapa fakta ini tenggelam di bawah narasi yang lebih keras?
Migran, sering kali tiba dengan harapan sederhana—pekerjaan, keamanan, kehidupan baru—malah mendapati diri mereka di pusaran tuduhan. Insiden seperti serangan di Cologne pada 2015, meskipun melibatkan sebagian kecil migran, membakar sentimen anti-imigrasi di seluruh benua. Unggahan di X baru-baru ini mencatat bahwa partai sayap kanan seperti AfD di Jerman memanfaatkan insiden serupa untuk mendulang suara, menyebarkan narasi bahwa migran adalah ancaman eksistensial. Padahal, laporan OECD menegaskan bahwa migran menyumbang 10-15% PDB di negara seperti Jerman dan Swedia melalui pajak dan konsumsi. Bukankah ini kontribusi, bukan kehancuran?
Keamanan, kata yang begitu mudah diucapkan, menjadi alasan utama menyalahkan migran. Namun, kejahatan bukanlah monopoli mereka. Warga lokal, dengan segala priviligenya, juga berkontribusi pada statistik kriminal. Di Swedia, misalnya, laporan polisi menunjukkan bahwa kejahatan kekerasan di daerah migran tinggi sering terkait dengan pengangguran dan isolasi sosial, bukan identitas migran itu sendiri. Laporan UE mencatat bahwa 21,7% migran berisiko kemiskinan atau eksklusi sosial, jauh lebih tinggi dibandingkan warga lokal. Jika kemiskinan adalah akarnya, mengapa Eropa menyerang akibat, bukan sebab?
Di balik tuduhan, migran adalah pilar tak terlihat. Di Inggris, tenaga kesehatan migran menyelamatkan nyawa selama pandemi, dengan NHS melaporkan bahwa 14% stafnya adalah migran. Di Jerman, pekerja konstruksi dari Polandia dan Turki membangun gedung-gedung yang menjadi kebanggaan kota. Bahkan di sektor teknologi, pendiri BioNTech, pembuat vaksin Pfizer, adalah keturunan Turki. Data Eurostat menunjukkan bahwa migran mengisi 20% pekerjaan rendah yang sering dihindari warga lokal. Tanpa mereka, siapa yang akan menjaga Eropa tetap berjalan?
Namun, narasi keamanan terus mendominasi. Partai seperti Rassemblement National di Prancis atau Kavelachvili di Georgia, seperti disebutkan dalam unggahan X, memanfaatkan ketakutan publik untuk mendorong kebijakan deportasi ketat. Proposal seperti Common European System for Returns, yang memungkinkan pusat detensi di luar UE, menuai kritik dari Amnesty International karena berpotensi melanggar hak asasi manusia. Sementara itu, kebijakan di Swedia mensyaratkan migran tinggal lima tahun untuk mendapat tunjangan sosial, memperdalam ketimpangan. Bukankah ini memperburuk masalah, bukan menyelesaikannya?
Media memainkan peran besar dalam narasi ini. Judul-judul seperti “Migran Terlibat Kekerasan” lebih menarik klik daripada “Migran Sumbang Pajak Miliaran Euro.” Studi oleh Media Diversity Institute pada 2021 menemukan bahwa 60% liputan tentang migran di Eropa berfokus pada kejahatan atau konflik, meskipun kontribusi mereka jarang disorot. Akibatnya, publik melihat migran sebagai ancaman, bukan aset. Di Polandia, dokter migran seperti Gizela Jagielska menghadapi ancaman setelah kunjungan politisi sayap kanan, seperti dilaporkan di X. Apakah ini keadilan?
Integrasi, bukan deportasi, adalah kunci yang sering diabaikan. Belanda menunjukkan jalan dengan program pelatihan kerja yang menurunkan pengangguran dan kriminalitas di komunitas migran, menurut laporan pemerintah pada 2022. Di Portugal, kebijakan inklusi seperti akses pendidikan bagi anak migran meningkatkan kohesi sosial. Laporan EU Child Guarantee menegaskan bahwa anak migran yang mendapat pendidikan memiliki risiko kriminalitas 30% lebih rendah. Mengapa Eropa tidak menggandakan upaya seperti ini alih-alih membangun tembok?
Konteks demografis Eropa menambah urgensi. Dengan tingkat kelahiran rendah—1,5 anak per wanita menurut Eurostat—dan populasi yang menua, Eropa membutuhkan migran untuk menopang ekonomi. Laporan Komisi Eropa memprediksi bahwa tanpa migrasi, tenaga kerja UE akan menyusut 20% pada 2050. Migran bukan hanya solusi sementara, tetapi kebutuhan jangka panjang. Namun, alih-alih merangkul mereka, Eropa membiarkan narasi populis mendikte kebijakan, memperlebar jurang ketidakadilan.
Indonesia, meski jauh, bisa belajar dari Eropa. Pengelolaan pengungsi Rohingya atau pekerja migran di ASEAN menunjukkan tantangan serupa: menyeimbangkan kemanusiaan dan stabilitas. Jika Eropa gagal mengintegrasikan migran, ketegangan sosial akan terus berulang, seperti yang terjadi di Indonesia dengan protes anti-pengungsi di beberapa daerah. Laporan UNHCR mencatat bahwa Indonesia menampung 13.000 pengungsi, namun sumber daya terbatas menghambat integrasi. Bukankah ini cerminan dari dilema Eropa?
Narasi kambing hitam ini bukan hanya ketidakadilan, tetapi juga kebodohan strategis. Migran adalah pekerja, inovator, dan wajah masa depan Eropa. Menyalahkan mereka atas kejahatan mengabaikan fakta bahwa kemiskinan dan ketimpangan adalah musuh sejati. Laporan Bank Dunia menunjukkan bahwa integrasi migran dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi hingga 2% dalam dekade. Eropa punya pilihan: terus menyalahkan atau mulai membangun. Pertanyaannya, akankah kota-kota berlampu neon ini memilih cahaya inklusi atau gelapnya perpecahan?
Sumber:
Home Office Inggris, 2020: Laporan Kejahatan dan Sosial-Ekonomi
Studi Kriminalitas Jerman, 2018: Bundesamt für Migration und Flüchtlinge
OECD: Kontribusi Ekonomi Migran di Eropa
Eurostat: Data Tenaga Kerja dan Demografi
Amnesty International: Kritik terhadap Common European System for Returns
Media Diversity Institute, 2021: Analisis Liputan Media tentang Migran
Laporan Pemerintah Belanda, 2022: Program Pelatihan Kerja
EU Child Guarantee: Dampak Pendidikan pada Anak Migran
Komisi Eropa: Proyeksi Tenaga Kerja 2050
UNHCR: Data Pengungsi di Indonesia
Unggahan X: Sentimen Anti-Migran dan Politik Sayap Kanan
Bank Dunia: Dampak Ekonomi Integrasi Migran