Opini
Metulla, Negeri Tanpa Akar dan Pemukim yang Tersesat

Para pemukim Israel di Metulla sedang kebingungan. Rumah mereka hancur, sekolah tak bisa digunakan, rumah sakit masih tutup, dan mereka dipaksa kembali ke reruntuhan yang dulunya disebut sebagai ‘rumah’. Mereka menjerit, menggugat ke Mahkamah Agung, meminta belas kasih dari pemerintah. Mereka ingin dikecualikan dari keputusan kembali. Mengapa? Karena takut.
Mereka takut kembali ke tanah yang, ironisnya, mereka klaim sebagai ‘milik mereka’. Mereka takut karena 70% rumah sudah hancur, jalanan tak bisa dilalui, dan ancaman roket masih bergaung di langit utara. Mereka bilang ini ‘tidak masuk akal’. Tapi bukankah menduduki tanah orang lain sejak awal juga tidak masuk akal?
Mari bandingkan dengan warga Gaza. Setiap kali bom menghancurkan rumah-rumah mereka, apa yang mereka lakukan? Mereka kembali. Bukan karena rumah mereka masih berdiri, tetapi karena Gaza adalah tanah mereka. Tidak ada opsi untuk pindah ke kota lain. Tidak ada pengadilan untuk menggugat keputusan pulang. Tidak ada tempat lain.
Lalu lihat warga Lebanon Selatan. Ketika zionis menginvasi, mereka bertahan. Ketika zionis pergi, mereka kembali. Meski ladang mereka terkena ranjau, meski desa mereka hancur, mereka kembali. Karena bagi mereka, tanah bukan sekadar tempat tinggal. Tanah adalah identitas, warisan, kehormatan. Kembali adalah perlawanan. Tidak kembali adalah kekalahan.
Tapi pemukim Metulla berbeda. Mereka datang bukan untuk bertahan, melainkan untuk menguasai. Mereka tidak membawa kecintaan terhadap tanah, hanya membawa klaim kosong dan keyakinan bahwa mereka berhak atas tanah yang bukan milik mereka. Mereka bukan warga sejati, melainkan tamu yang hanya mau tinggal jika dijamin kenyamanannya.
Ketika kenyamanan hilang, mereka mengeluh. Mereka bukan petani yang merindukan ladang, bukan penduduk asli yang mencintai tanah leluhurnya. Mereka adalah aktor dalam sandiwara kolonialisme yang, begitu panggung mulai runtuh, memilih kabur ke tempat lain. Mereka bukan bagian dari tanah, mereka hanya parasit yang mencari inang baru.
Mereka ingin Mahkamah Agung turun tangan, ingin pengadilan menyatakan bahwa mereka boleh tetap tinggal di kota-kota yang aman, jauh dari bahaya. Mereka meminta pemerintah memikirkan kesejahteraan mereka. Sebuah kemewahan yang tidak dimiliki rakyat Palestina, yang rumahnya dihancurkan tanpa surat perintah, tanpa sidang, tanpa pengacara.
Kepala dewan pemukiman Metulla, David Azulai, bahkan berteriak di TV bahwa pemerintah mengabaikan mereka. Netanyahu tidak datang, tentara tidak berbicara dengan mereka, kabinet tidak peduli. Betapa tragis! Pemukim ilegal kini merasa ditinggalkan oleh penjajahnya sendiri. Seperti anak kecil yang menangis karena ibunya lupa mengucapkan selamat tidur.
Tapi ironisnya, Azulai juga tahu bahwa Metulla bukan tempat aman. Ia berkata, “Oktober 7 akan terjadi di utara, kapan pun Hezbollah menginginkannya.” Itu bukan peringatan, itu adalah pengakuan. Pengakuan bahwa mereka ada di tempat yang salah, di tanah yang bukan milik mereka. Tapi tetap saja, mereka bersikeras.
Zionis selalu berbicara tentang ‘tanah yang dijanjikan’, tetapi pemukim Metulla kini berbicara tentang tanah yang ingin mereka tinggalkan. Mereka tak memiliki tekad seperti warga Gaza, tak punya keberanian seperti rakyat Lebanon Selatan. Mereka hanya punya klaim kosong dan harapan bahwa dunia akan terus melindungi kejahatan mereka.
Mereka menginginkan hak istimewa untuk menetap tanpa risiko, menduduki tanpa perlawanan, menjarah tanpa konsekuensi. Tapi sejarah punya cara sendiri untuk memperingatkan para penjajah: tanah yang bukan milikmu tidak akan pernah menjadi rumahmu. Dan sekarang, Metulla hanyalah satu dari sekian banyak tanda bahwa proyek kolonial ini sedang menuju kehancuran.