Opini
Meta: Ketidakadilan Digital yang Membungkam Kebenaran Palestina

Oleh: Lutfi Awaludin Basori
Jika kita berbicara tentang kebebasan berbicara di dunia maya, nama Meta, perusahaan induk dari Facebook dan Instagram, sering kali menjadi simbol dari ruang terbuka bagi semua suara. Namun, ketika kebebasan itu justru digunakan untuk menekan suara yang tidak sejalan dengan narasi yang dominan, kita harus bertanya: Siapa yang benar-benar dibela oleh Meta?
Sejak Oktober 2023, laporan dari Middle East Eye dan Al Jazeera memaparkan dengan gamblang kebijakan kontroversial Meta yang merugikan Palestina. Dalam laporan tersebut, terlihat jelas bahwa Meta telah melakukan penyensoran besar-besaran terhadap konten yang mendukung Palestina. Bukannya menjaga kebebasan berekspresi, Meta malah menghapus postingan, menyembunyikan konten, dan membatasi interaksi pada media sosial yang menjadi sarana utama warga Palestina untuk menyuarakan diri mereka, terutama di tengah tragedi kemanusiaan yang sedang berlangsung di Gaza.
Sebagai contoh, 7amleh—Arab Center for the Advancement of Social Media—mengungkapkan bahwa lebih dari 15 juta postingan berbahasa Ibrani yang menghasut kebencian terhadap Palestina, tidak pernah dihapus atau dibatasi. Namun, konten yang menggambarkan realitas di Palestina, termasuk dari jurnalis dan influencer Palestina, justru menjadi sasaran kebijakan diskriminatif Meta. Yahya Alsayed, seorang pengelola grup komunitas Palestina di Yerusalem, bahkan mengungkapkan bahwa halaman mereka dibekukan tanpa peringatan, dan meskipun dikembalikan, interaksi dengan audiensnya terus merosot. Itu baru satu contoh. Media lokal seperti Arabs48 dan influencer terkenal seperti Adnan Barq juga mengalami nasib serupa: penyensoran terhadap akun mereka, penghapusan halaman tanpa pemberitahuan, dan pembatasan fitur penting yang sebelumnya dapat diakses dengan bebas.
Apa yang Meta lakukan ini jelas bukan kebijakan biasa. Ini adalah upaya yang lebih besar untuk menyembunyikan kebenaran. Laporan tersebut menunjukkan dengan gamblang bahwa tindakan ini adalah bagian dari strategi untuk mencegah narasi Palestina masuk ke dalam ruang digital yang luas, di mana Palestina dapat berbicara tentang realitas yang mereka alami—termasuk genosida yang sedang berlangsung di Gaza.
Dan ini bukan hanya masalah teknis soal algoritma atau kebijakan moderasi konten. Ini lebih besar dari itu. Meta, dengan kebijakan diskriminasinya, memberikan perlindungan pada pihak yang berkuasa, yang dalam hal ini adalah Israel, yang terus melakukan pelanggaran hak asasi manusia di Palestina. Mereka tidak hanya mendukung kebijakan Israel, tapi membungkam narasi kebenaran yang ada di Palestina. Ketika pengguna dari Palestina mencoba mengungkapkan penderitaan yang mereka alami, Meta justru membuat mereka diam. Ada ketidaksetaraan digital yang jelas di sini, yang bisa dilihat sebagai bentuk peran aktif Meta dalam menutupi kebohongan yang telah terlalu lama disembunyikan.
Akibatnya, bukan hanya kebebasan berekspresi yang terancam. Media Palestina kehilangan platform untuk menjangkau audiens global, influencer yang mengedukasi dunia tentang realitas di lapangan harus menghadapi interaksi yang menurun drastis, dan yang lebih mengkhawatirkan lagi, banyak dari mereka yang kehilangan pendapatan yang bergantung pada kehadiran digital mereka. Ada kerugian emosional yang besar bagi jurnalis dan warga Palestina yang terganggu oleh kenyataan bahwa suara mereka terhalang oleh kekuatan yang lebih besar dan lebih berpengaruh.
Mari kita jujur, Meta tidak bisa mengklaim dirinya sebagai perusahaan yang mendukung kebebasan berbicara atau pluralisme informasi jika mereka membiarkan kebijakan yang jelas-jelas berpihak pada salah satu pihak dan menghambat yang lain. Ketidakadilan ini tidak hanya merugikan warga Palestina, tetapi juga dunia digital secara keseluruhan. Dunia maya, yang seharusnya menjadi ruang terbuka untuk berbagai suara, kini dipenuhi dengan ruang yang terkotak-kotak dan tidak seimbang. Jika Meta ingin tetap mengklaim diri mereka sebagai pembela kebebasan berekspresi, mereka harus bertanggung jawab atas kebijakan ini dan memastikan bahwa hak setiap individu untuk berbicara dan berpendapat tidak dibatasi berdasarkan siapa yang lebih kuat atau lebih berpengaruh.
Meta harus tahu, kebijakan semacam ini bukan hanya menguntungkan Israel atau pihak yang berkuasa—itu juga memicu rasa frustrasi dan kemarahan global. Dunia akan semakin mengawasi mereka. Dan kita harus memastikan bahwa suara yang terbungkam ini—suara yang memperjuangkan keadilan dan kebenaran—akan terus didengar, meski Meta berusaha menutupnya.[]