Opini
Mesir Menutupi Dukungan Israel dengan Topeng Solidaritas Palestina

Di tengah debu dan puing-puing Gaza yang masih membara, sebuah laporan muncul, membawa kabar yang mengguncang: Mesir, dengan restu Liga Arab, berencana melatih 300 personel keamanan Otoritas Palestina (PA) untuk mengambil alih kendali Gaza pasca-perang, menggantikan Hamas. Langkah ini, yang dikemas sebagai solusi untuk rekonstruksi dan stabilitas, menyisakan pertanyaan pahit: apakah Mesir benar-benar membela Palestina, atau justru, secara tak langsung, menyokong agenda Israel?
Laporan dari Ultra Palestine, yang dikutip The Cradle, mengungkap rencana Mesir yang diadopsi Liga Arab pada Maret lalu. Tujuannya mulia di permukaan: merekonstruksi Gaza dengan dana puluhan miliar dolar dan membuka jalan bagi negara Palestina. Namun, inti rencana ini adalah menggantikan Hamas, penguasa Gaza sejak 2007, dengan PA. Pelatihan personel PA di Mesir, dengan instruksi ketat untuk tidak menolak tugas, menunjukkan ambisi untuk menggeser kekuasaan secara paksa.
Hamas, dengan sejarah perlawanan bersenjatanya melawan pendudukan Israel, menjadi target utama. Rencana Mesir mensyaratkan Hamas menyerahkan senjata, sebuah tuntutan yang ditolak keras oleh kelompok itu. Ini bukan sekadar soal keamanan; ini adalah upaya untuk melucuti kemampuan militer Hamas, yang bagi banyak warga Palestina adalah simbol perjuangan melawan penjajahan. Dengan melemahkan Hamas, Mesir secara tak langsung meredam salah satu pilar utama resistensi Palestina.
Namun, Mesir membingkai langkah ini dengan narasi pro-Palestina. Rencana tersebut disebut-sebut sebagai tanggapan terhadap usulan Donald Trump, yang diklaim ingin mengusir penduduk Gaza. Dengan mengusung retorika rekonstruksi dan negara Palestina, Mesir berupaya menutupi fakta bahwa tindakan mereka selaras dengan kepentingan Israel, yang sejak lama berupaya menghapus Hamas. Laporan menyebutkan Israel telah menguasai 50% wilayah Gaza, dengan 1.630 warga Palestina tewas dan 4.300 terluka sejak perang kembali berkobar.
Keselarasan ini bukan kebetulan. Israel, melalui operasi militer dan syarat pelucutan senjata dalam negosiasi gencatan senjata, memiliki tujuan jelas: menghilangkan ancaman Hamas. Mesir, dengan mendorong PA sebagai pengganti, memfasilitasi tujuan ini, meskipun Israel sendiri menolak gagasan PA mengelola Gaza. Penolakan Israel ini menunjukkan bahwa mereka mungkin menginginkan kendali langsung, tetapi melemahkan Hamas tetap menjadi titik temu yang menguntungkan mereka.
Mengapa Mesir melakukan ini? Kepentingan pragmatis menjadi jawabannya. Gaza, yang berbatasan dengan Sinai, adalah ancaman keamanan bagi Mesir. Ketidakstabilan di Gaza dapat memicu arus pengungsi atau memperkuat kelompok bersenjata di Sinai. Selain itu, Hamas, dengan akarnya di Ikhwanul Muslimin—yang dilarang di Mesir—dianggap sebagai risiko ideologis. Dengan melemahkan Hamas, Mesir tidak hanya menjaga perbatasannya, tetapi juga menekan pengaruh Ikhwanul Muslimin di dalam negeri.
Lebih jauh, Mesir bergantung pada bantuan militer dan ekonomi Amerika Serikat, yang mencapai miliaran dolar setiap tahun. AS, sekutu dekat Israel, mendorong Mesir untuk menekan Hamas, yang dianggap sebagai organisasi teroris. Dengan mengusulkan rencana yang mencakup pelucutan senjata Hamas dan penguatan PA, Mesir memenuhi ekspektasi AS sambil mempertahankan peran diplomatiknya sebagai mediator. Namun, ini berarti mengorbankan perjuangan Palestina demi kepentingan geopolitik.
PA, yang diharapkan menggantikan Hamas, bukanlah pahlawan tanpa cela. Di Tepi Barat, PA telah melakukan koordinasi keamanan dengan Israel berdasarkan Perjanjian Oslo, menahan aktivis yang dianggap mengancam keamanan Israel. Bagi banyak warga Palestina, ini adalah pengkhianatan. Menempatkan PA di Gaza, yang memiliki rekam jejak kooperatif dengan Israel, berisiko memperpanjang status quo pendudukan, bukan memajukan kemerdekaan sejati.
Hamas, meski kontroversial, mewakili perlawanan bersenjata yang bagi sebagian warga Palestina adalah inti dari perjuangan melawan penjajahan. Laporan menyebutkan Hamas setuju menyerahkan pemerintahan Gaza kepada komite faksi Palestina, tetapi menolak pelucutan senjata. Penolakan ini bukan sekadar keras kepala; ini adalah pernyataan bahwa kemerdekaan tanpa hak untuk melawan penjajahan bukanlah kemerdekaan. Melemahkan Hamas berarti meredam suara perlawanan ini.
Mesir, dengan blokade Gaza yang diterapkannya bersama Israel sejak 2007, telah lama menunjukkan prioritasnya: stabilitas di atas solidaritas. Rencana ini hanyalah kelanjutan dari pola tersebut. Dengan melatih personel PA untuk mengambil alih perbatasan seperti Rafah, Mesir memperkuat kontrol keamanan yang telah mencekik Gaza. Ini bukan solusi untuk Palestina; ini adalah pengelolaan krisis yang menguntungkan Israel dan sekutu-sekutunya.
Publik Mesir, yang secara historis mendukung Palestina, kemungkinan tidak akan menerima jika pemerintah mereka secara terbuka dianggap menyokong Israel. Oleh karena itu, Mesir menutupi motifnya dengan narasi rekonstruksi dan stabilitas. Namun, hasilnya tak bisa disembunyikan: melemahkan Hamas, menggantikannya dengan PA, dan memperketat kontrol keamanan semuanya selaras dengan tujuan Israel untuk meredam perlawanan Palestina, meskipun Israel menolak peran PA.
Kontradiksi ini menyingkap kebenaran pahit: Mesir, meskipun mengklaim membela Palestina, telah memilih jalur yang menguntungkan penjajah. Kemerdekaan Palestina bukan hanya tentang negara di peta; ini tentang hak untuk melawan pendudukan, hak untuk hidup di tanah sendiri tanpa tekanan eksternal. Dengan menargetkan Hamas, Mesir tidak hanya melemahkan perlawanan, tetapi juga memecah belah Palestina, memperdalam luka di tubuh bangsa yang sudah terkoyak.
Apa artinya solidaritas Arab jika tindakan justru memperkuat musuh? Mesir, dengan pengaruhnya, memiliki peluang untuk memimpin solusi yang benar-benar memajukan kemerdekaan Palestina. Namun, dengan memprioritaskan kepentingan pragmatis—keamanan, bantuan AS, pengaruh regional—Mesir telah mengkhianati semangat perjuangan Palestina. Rekonstruksi Gaza tidak akan berarti apa-apa jika harga yang dibayar adalah perlawanan rakyatnya.
Langkah Mesir ini bukanlah akhir, tetapi peringatan. Palestina tidak akan menyerah, meskipun sekutu terdekatnya memilih jalan yang salah. Perjuangan untuk kemerdekaan membutuhkan persatuan, bukan perpecahan yang difasilitasi oleh rencana yang menguntungkan penjajah. Mesir harus memilih: berdiri bersama Palestina atau terus menutupi tindakan yang, secara tak langsung, menyokong Israel. Sejarah akan mencatat pilihan mereka.