Opini
Mereka Berebut Kuasai Gaza

Ada pemandangan ironis yang membuat dada sesak ketika kita membaca kabar terbaru dari Timur Tengah: Gaza, yang kini porak poranda akibat perang panjang, bukan lagi sekadar wilayah yang harus direkonstruksi atau tanah air yang perlu dipulihkan untuk rakyatnya, melainkan panggung rebutan kuasa. Kunjungan rahasia Ron Dermer, Menteri Urusan Strategis Israel sekaligus tangan kanan Netanyahu, ke Uni Emirat Arab hanyalah satu fragmen dari drama besar itu. Mereka datang membawa agenda, membisikkan rencana, seolah-olah masa depan Gaza adalah ruang kosong yang bisa ditata ulang di balik meja rapat.
Absurd. Sebab sementara para elit berunding di hotel-hotel mewah dengan lampu kristal bergemerlapan, di Gaza orang-orang masih menggali reruntuhan dengan tangan kosong, mencari anak-anak mereka yang tertimbun. Satu sisi berlumuran darah, sisi lain berwangi parfum diplomasi. Di antara jurang itu, lahirlah satu kenyataan pahit: Gaza telah menjadi rebutan, bukan lagi karena cinta pada kemanusiaan, melainkan karena kuasa yang bisa didulang darinya.
Laporan publik mengungkapkan, Dermer tidak datang sendirian. Ia membawa delegasi tingkat tinggi. Topiknya bukan hanya soal gencatan senjata, tapi juga keamanan, diplomasi, hingga administrasi pascaperang. Di luar panggung, Mesir mengajukan rencana besar: rekonstruksi Gaza bernilai puluhan miliar dolar, peralihan pemerintahan kepada Otoritas Palestina yang direformasi, dan pelatihan ribuan polisi di Mesir serta Yordania. Liga Arab mendukung penuh. Uni Emirat Arab ikut terlibat, menambah lapisan kepentingan. Sekilas terdengar menjanjikan, seolah-olah semua pihak sedang bahu-membahu membela Gaza. Tapi benarkah demikian? Atau ini hanya wajah baru kolonialisme yang lebih halus, lengkap dengan jargon pembangunan?
Hamas sendiri, yang selama puluhan tahun menanggung peran ganda sebagai pengelola pemerintahan sekaligus simbol perlawanan, menyatakan bersedia melepas kendali administratif. Namun ada satu hal yang mereka garis bawahi dengan tegas: senjata tidak akan diletakkan sebelum Palestina benar-benar merdeka. Logika mereka sederhana: bagaimana mungkin seorang pejuang meletakkan senjatanya sementara musuh masih berdiri gagah di halaman rumah? Permintaan untuk menyerahkan senjata sebelum negara berdiri sama saja dengan meminta seorang nelayan melepas dayung di tengah lautan badai—sebuah permintaan yang, jika dipenuhi, hanya akan mempercepat tenggelamnya kapal.
Namun justru di situlah letak “perebutan” ini semakin kentara. Israel menolak kehadiran Hamas, bahkan menolak Otoritas Palestina kembali ke Gaza. Netanyahu ingin memastikan bahwa Gaza tidak pernah lagi jadi panggung perlawanan, melainkan kantong yang sepenuhnya dalam kendali militernya. Mesir ingin memainkan peran sebagai pengatur keamanan regional, dengan Yordania ikut menopang. Liga Arab tampil sebagai payung besar, membawa label “Arab” untuk menghaluskan aroma intervensi. Uni Emirat Arab, dengan segala rekam jejak normalisasi, hadir sebagai penjual citra dan uang. Semua bicara atas nama Gaza, tapi di kursi utama tak ada orang Gaza.
Di sinilah absurditas itu menyeruak lebih jelas: mereka semua mengaku membela Gaza, padahal yang mereka perebutkan adalah legitimasi, posisi, dan kuasa. Jika benar membela Gaza, mengapa suara rakyat Gaza tak pernah jadi dasar perundingan? Jika benar untuk kemanusiaan, mengapa yang pertama kali dibahas adalah senjata, bukan anak-anak yang kehilangan masa depan? Bukankah lebih mendesak membicarakan bagaimana membuka jalur bantuan kemanusiaan yang permanen ketimbang siapa yang berhak melatih polisi? Tapi tidak, yang jadi pusat pembahasan justru siapa yang boleh menguasai hari setelah perang.
Ironi semakin tebal ketika skandal Qatargate mencuat bersamaan dengan kunjungan Dermer. Ternyata lingkaran dekat Netanyahu dituduh menerima jutaan dolar dari Qatar, negara yang selama ini dituding Israel sebagai penyokong Hamas. Duit itu mengalir untuk kampanye pencitraan pro-Qatar di Israel, masuk ke kantong ajudan dekat Netanyahu, bahkan menyentuh kalangan mantan pejabat keamanan. Jadi siapa sebenarnya yang bermain dua kaki? Hamas yang terang-terangan menolak tunduk, atau elite Israel yang menuding Qatar di depan publik sambil mengantongi dolar Doha di belakang layar? Jika ini bukan bentuk kemunafikan politik, lalu apa lagi namanya?
Bagi saya, situasi ini persis seperti cerita kolonialisme dalam buku sejarah yang dulu kita pelajari di bangku sekolah. Kala itu, kekuatan Eropa membagi wilayah-wilayah jajahan dengan pena di atas peta. Rakyat asli tak pernah ditanya. Mereka sekadar jadi objek. Kini, dengan wajah baru, Gaza sedang diperlakukan serupa. Bedanya hanya pada istilah: dulu disebut mandat atau protektorat, kini diberi label rekonstruksi, stabilisasi, dan keamanan. Tetapi hakikatnya sama: perebutan pengaruh di atas penderitaan rakyat.
Kita di Indonesia pun mengerti betul bagaimana rasanya ketika orang asing menentukan siapa pemimpin yang boleh duduk, siapa yang harus dibuang, siapa yang berhak mengatur tanah kita. Dulu, kata mereka, demi modernisasi atau stabilitas. Kini di Gaza, kata mereka, demi kemanusiaan. Padahal pola yang dipakai tidak pernah berubah: menguasai lewat pintu manis pembangunan.
Saya tak menolak bahwa Gaza butuh rekonstruksi. Itu fakta. Mereka butuh rumah, sekolah, air bersih, listrik. Tapi rekonstruksi tanpa kedaulatan hanyalah ilusi. Apa artinya sekolah megah jika isi pelajarannya ditentukan oleh mereka yang tak pernah merasakan blokade? Apa artinya rumah permanen jika sewaktu-waktu bisa dihancurkan buldoser zionis? Apa artinya pekerjaan baru jika pemimpin yang mereka pilih diganti aparat impor hasil pelatihan luar negeri? Semua itu hanyalah perhiasan palsu—berkilau di permukaan, rapuh di dalam.
Dan saya rasa publik dunia harus sadar: kolonialisme modern tidak lagi datang dengan kapal perang. Ia datang dengan proposal miliaran dolar, dengan janji pembangunan, dengan kontrak pengelolaan. Gaza kini dihadapkan pada jebakan itu. Hamas menolak menyerahkan senjata karena tahu, tanpa itu, mereka akan digilas habis dari meja perundingan. Senjata adalah satu-satunya alasan mengapa pihak asing tidak bisa sepenuhnya menyingkirkan mereka.
Skandal Qatargate menyingkap wajah busuk yang lain: bahwa bahkan mereka yang paling keras mengaku membela “keamanan Israel” ternyata punya harga, dan tidak murah. Sepuluh juta dolar, kata laporan, cukup untuk membeli suara, narasi, bahkan loyalitas di lingkaran Netanyahu. Maka apa lagi yang tersisa dari moralitas Israel untuk menuduh pihak lain korup atau manipulatif? Saat orang-orangnya sendiri tunduk pada dolar, tuduhan mereka terhadap Qatar atau Hamas terdengar seperti gurauan getir.
Jika dirangkum, maka situasi Gaza hari ini bukan sekadar tentang perang dan perdamaian. Ini tentang siapa yang akan menguasai Gaza ketika debu mereda. Israel ingin menghapus lawan politiknya. Mesir ingin mengatur keamanan. Yordania ingin mengambil peran. UEA ingin memperluas pengaruh diplomasi. Liga Arab ingin tampil sebagai wajah kolektif. Semua ingin “membela,” padahal hakikatnya berebut. Rakyat Gaza sendiri, yang telah membayar harga termahal, malah dipinggirkan.
Dan di situlah letak tragedi terbesar. Penderitaan Gaza berubah menjadi arena tawar-menawar, seolah pasar malam politik, di mana setiap negara memajang dagangan pengaruhnya. Ada yang menjual keamanan, ada yang menawarkan rekonstruksi, ada pula yang menjanjikan pelatihan aparat. Tapi harga yang dibayar bukan sekadar uang atau kontrak. Harga yang dibayar adalah martabat sebuah bangsa yang telah berjuang puluhan tahun di bawah blokade.
Saya membayangkan, kelak anak-anak Gaza yang kini tumbuh di kamp pengungsian akan membaca sejarah ini. Mereka akan tahu siapa yang benar-benar membela mereka, dan siapa yang sekadar mengaku membela sambil berebut kuasa. Dan mungkin, sebagaimana kita di Indonesia sering tersenyum getir membaca perjanjian kolonial abad lalu, mereka pun akan berkata: dunia memang pandai sekali mengulang kebohongan dengan wajah yang baru.