Opini
Mengapa Mesir Tangkapi Aktivis Pro-Gaza?

Beberapa hari terakhir, dunia menyaksikan aksi penangkapan besar-besaran terhadap ratusan aktivis pro-Palestina di Mesir. Mereka bukan warga Mesir, melainkan datang dari berbagai belahan dunia, termasuk Amerika Serikat, Prancis, Spanyol, Australia, Maroko, Aljazair, Belanda, Yunani, hingga Jerman. Tujuan mereka satu: mengikuti Global March to Gaza—pawai damai menuju perbatasan Rafah untuk menyerukan penghentian blokade dan pengiriman bantuan kemanusiaan ke Gaza.
Namun, alih-alih disambut sebagai pembela kemanusiaan, mereka ditangkap, ditahan, diinterogasi, bahkan sebagian dideportasi. Mengapa Mesir melakukan ini?
Konvoi Soumoud dan Pesan dari Tel Aviv
Latar dari penangkapan ini tak bisa dilepaskan dari pernyataan tegas Menteri Keamanan Israel, Israel Katz. Ia menyebut konvoi Soumoud—konvoi solidaritas kemanusiaan yang berangkat dari Tunisia dan terdiri dari lebih dari 300 kendaraan serta ribuan aktivis dari 32 negara—sebagai gerombolan “jihadis asing”. Ia secara eksplisit menyatakan bahwa konvoi ini harus dicegah memasuki Gaza.
Dalam pernyataannya, Katz tidak hanya menyudutkan para aktivis, tetapi juga mengirim pesan yang sangat jelas ke Mesir. Ia mengatakan bahwa para demonstran ini membahayakan rezim Mesir dan mengancam semua rezim Arab moderat di kawasan. Pernyataan ini bukan sekadar opini politik, melainkan instruksi tidak langsung: bertindaklah, atau stabilitasmu terancam.
Mesir tampaknya merespons pesan ini dengan cepat. Dalam waktu singkat, aparat keamanan Mesir melakukan penahanan terhadap lebih dari 200 aktivis internasional yang tiba di Kairo. Mereka dicegat di bandara, di hotel-hotel, bahkan di ruang tunggu keberangkatan. Petugas berpakaian preman membawa daftar nama dan langsung menyita ponsel serta memeriksa barang-barang pribadi para aktivis. Beberapa dilepaskan setelah interogasi, namun tak sedikit yang ditahan berjam-jam hingga akhirnya dideportasi.
Siapa Mereka?
Para aktivis ini tergabung dalam gerakan solidaritas Global March to Gaza. Mereka bukan anggota milisi, bukan pula bagian dari organisasi terlarang. Mereka terdiri dari anggota parlemen Eropa, relawan kemanusiaan, aktivis lingkungan, mahasiswa, bahkan lansia dan keluarga.
Konvoi Soumoud sendiri (yang berarti “keteguhan” dalam bahasa Arab) berangkat dari Tunis dan direncanakan melintasi Libya dan Mesir sebelum menuju Rafah. Namun, sejak awal, misi ini sudah dibayang-bayangi oleh tekanan dari Tel Aviv. Israel sebelumnya telah mencegat kapal bantuan Madleen dan menahan kru serta aktivis di dalamnya, termasuk Rima Hassan, anggota parlemen Prancis, termasuk aktivis iklim Greta Thunberg.
Israel tidak melihat mereka sebagai relawan atau pelaku solidaritas internasional. Dalam narasinya, mereka adalah “penyebar ideologi radikal” yang sejalan dengan Hamas dan merupakan bagian dari apa yang disebut sebagai “poros kejahatan Iran”. Narasi ini kemudian dijadikan dalih untuk menekan negara-negara tetangga, termasuk Mesir, agar tidak memberikan jalan.
Penangkapan yang Diwarnai Tekanan Diplomatik
Penahanan para aktivis ini menimbulkan kehebohan internasional. Video dan kesaksian dari para aktivis menunjukkan kondisi penahanan yang buruk, seperti penumpukan puluhan orang di ruang tunggu bandara, termasuk anak-anak dan lansia. Seorang warga Jerman mengaku ditahan bersama 30–40 orang lainnya, sementara delegasi Yunani menyatakan bahwa puluhan warganya ditahan hingga 10 jam sebelum dilepaskan.
Beberapa negara mengirimkan perwakilan diplomatik ke bandara Kairo untuk memberikan bantuan konsuler. Hal ini diduga menjadi faktor penting yang mendorong pembebasan sebagian dari mereka. Namun, penangkapan ini jelas menunjukkan bahwa Mesir bersedia mengambil langkah ekstrem demi menjaga relasi keamanan dan politik dengan Israel, bahkan jika itu berarti mencederai kredibilitasnya sebagai negara Arab yang selama ini mengklaim membela Palestina.
Ketakutan Mesir atau Kepatuhan?
Jika kita cermati secara mendalam, tindakan Mesir tampaknya merupakan hasil kombinasi dari dua faktor: tekanan eksternal dari Israel dan kekhawatiran internal terhadap stabilitas rezim. Rezim Abdel Fattah el-Sisi telah lama berkuasa dengan sokongan kuat dari negara-negara Barat dan dukungan diam-diam dari Israel.
Kehadiran ribuan aktivis internasional yang berkemah di Sinai dan melakukan longmarch menuju Gaza dapat menciptakan dua efek: tekanan publik internasional terhadap blokade dan meningkatnya mobilisasi politik di dalam Mesir sendiri. Dalam konteks ini, keamanan bukan semata soal senjata, tetapi juga opini publik dan simbol perlawanan yang bisa menyulut semangat rakyat Mesir yang sudah lama tertekan.
Mesir juga mungkin takut bahwa keberhasilan konvoi ini akan mempermalukan posisinya sebagai negara Arab terbesar yang masih menjaga perbatasan dengan Gaza namun tidak benar-benar membukanya. Di mata publik internasional, Mesir bisa terlihat sebagai rekan koalisi blokade Gaza, bukan sebagai jembatan solidaritas Arab.
Ironi dan Kemunafikan
Ironi terbesar dari peristiwa ini adalah fakta bahwa Mesir menahan mereka yang ingin memberikan bantuan kemanusiaan ke Gaza, sementara Israel terus melakukan pembantaian dan pengepungan. Bahkan PBB menyebut Gaza sebagai “tempat paling lapar di dunia” saat ini. Namun yang dijadikan ancaman bukan pihak yang membom dan memblokade, melainkan mereka yang membawa bantuan.
Ini adalah kemunafikan global yang terang-benderang. Negara yang selama ini menyebut diri sebagai pendukung Palestina justru menjadi perpanjangan tangan dari strategi keamanan Israel. Mesir, dalam hal ini, telah berubah menjadi pagar penjaga kepentingan Tel Aviv.
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Masyarakat sipil internasional harus menyuarakan penolakan terhadap represi semacam ini. Mesir harus diberi tekanan diplomatik dan moral agar menghentikan kriminalisasi terhadap aksi damai solidaritas Palestina. Negara-negara asal para aktivis mesti menuntut penjelasan dan keadilan atas perlakuan aparat Mesir terhadap warganya.
Lebih dari itu, kita juga harus terus menyuarakan fakta: bahwa solidaritas bukan terorisme, dan kemanusiaan tidak bisa dibatasi oleh paspor atau propaganda keamanan. Konvoi Soumoud dan Global March to Gaza bukan aksi kekerasan, melainkan pengingat bahwa ada banyak orang yang bersedia berjalan ratusan kilometer demi menyuarakan nilai yang kini dikubur oleh politik: keadilan.
Penangkapan para aktivis ini memang menyedihkan, namun ia juga memperlihatkan betapa takutnya rezim-rezim ini pada solidaritas. Karena solidaritas, pada akhirnya, adalah bentuk paling kuat dari perlawanan yang damai.