Opini
Mengapa Dunia Memilih Senjata di Saat Krisis?

Angin dingin menyapu Eropa, membawa aroma ketegangan yang kian pekat. Debu perang menyelimuti langit Gaza, sementara kapal-kapal berjaga di perairan sengketa Asia-Pasifik. Di tengah krisis global, dunia memilih senjata: belanja militer melonjak 9,4% menjadi $2,718 triliun, laporan SIPRI mengungkap, kenaikan terbesar sejak Perang Dingin. Mengapa, di saat krisis, lebih dari 100 negara mempersenjatai diri? Ini pertanda dunia yang kian rapuh, terperangkap dalam ketegangan dan risiko konflik.
Eropa, yang pernah menjanjikan kedamaian, kini bergolak dalam krisis keamanan. Belanja militer melonjak 17% menjadi $693 miliar, melampaui era Perang Dingin. Mengapa? Perang Ukraina mendorong Jerman menaikkan anggaran 28% menjadi $88,5 miliar, Polandia 31% dengan 4,2% PDB, dan Swedia 34% menjadi $12 miliar. Rusia, dengan $149 miliar, memicu ketakutan. Namun, memilih senjata mengorbankan kesejahteraan, mengguncang stabilitas sosial-ekonomi benua ini.
Ukraina, terkoyak krisis perang, memilih senjata dengan beban militer tertinggi: $64,7 miliar, 34% PDB. Mengapa? Untuk melawan Rusia, yang menghabiskan $149 miliar, naik 38%. Seluruh pajak Ukraina terserap militer, bergantung pada $60 miliar bantuan asing, termasuk $7,7 miliar dari Jerman. Meski anggaran hanya naik 2,9%, ketegangan ini menunjukkan rapuhnya Ukraina. Krisis ini bukan hanya lokal, tetapi ancaman yang bisa meluas.
Di Timur Tengah, krisis konflik menyulut belanja militer 15% menjadi $243 miliar. Mengapa memilih senjata? Israel, dengan kenaikan 65% menjadi $46,5 miliar, merespons Gaza dan Hizbullah, beban militernya 8,8% PDB. Lebanon, meski krisis ekonomi, naik 58% menjadi $635 juta. Iran, terkendala sanksi, turun 10% menjadi $7,9 miliar. Ketegangan ini, dengan Arab Saudi hanya naik 1,5% menjadi $80,3 miliar, memperbesar risiko eskalasi regional.
Asia-Pasifik, di tengah krisis ketegangan, memilih senjata. Tiongkok menghabiskan $314 miliar, naik 7%, fokus pada nuklir dan siber. Mengapa? Untuk dominasi regional. Jepang naik 21% menjadi $55,3 miliar, India $86,1 miliar, dan Taiwan $16,5 miliar menangkal ancaman. SIPRI memperingatkan “spiral perlombaan senjata” di kawasan sengketa seperti Laut Tiongkok Selatan. Krisis ini mengancam stabilitas, menyeret kawasan ke jurang konflik.
AS, di tengah krisis polarisasi global, menghabiskan $997 miliar, 37% belanja dunia. Mengapa memilih senjata? Untuk keunggulan atas Tiongkok dan Rusia. NATO, dengan $1,506 triliun, melihat 18 anggota capai 2% PDB. Kekhawatiran atas Rusia dan peran AS mendorong Eropa menghabiskan $454 miliar. Namun, belanja besar tak menjamin independensi. Krisis ini memperdalam ketegangan, meningkatkan risiko miskalkulasi antar-blok.
Krisis domestik membayangi pilihan senjata. Mengapa dunia mengorbankan kesejahteraan? Ukraina kehilangan pajak untuk militer, Lebanon memperburuk krisis ekonomi. Jerman, dengan dana €100 miliar, memicu debat publik. Myanmar ($5 miliar, naik 66%) dan Meksiko ($16,7 miliar, naik 39%) mengalihkan fokus dari pembangunan. Xiao Liang dari SIPRI memperingatkan dampak jangka panjang. Memilih senjata di saat krisis, dunia mempertaruhkan stabilitas sosial.
Myanmar, terkoyak konflik internal, memilih senjata dengan anggaran $5 miliar, naik 66%. Mengapa? Untuk menekan perlawanan domestik. Meksiko, menghadapi kejahatan terorganisir, menaikkan belanja 39% menjadi $16,7 miliar. Afrika, dengan $52,1 miliar, naik 3%, menunjukkan krisis keamanan lokal. Di mana-mana, krisis mendorong militerisasi, namun mengorbankan pembangunan. Mengapa dunia memilih jalan ini, ketika stabilitas sosial dan ekonomi sama mendesaknya?
Di balik angka-angka ini, krisis global memperlihatkan wajahnya: ketegangan geopolitik, dari Ukraina hingga Taiwan, mendorong siklus distrust. Mengapa senjata menjadi jawaban? Karena negara-negara takut tertinggal. Tiongkok memperluas arsenal nuklir, AS memodernisasi, Rusia mengintensifkan. Teknologi canggih, dari siber hingga hipersonik, menambah ketidakpastian. Krisis ini, jika tak dikelola, bisa memicu miskalkulasi, menyeret dunia ke konflik yang tak diinginkan.
Namun, mengapa krisis selalu dijawab dengan senjata? Polarisasi antara NATO dan Rusia-Tiongkok melemahkan diplomasi. Institusi seperti PBB kehilangan daya, sementara dialog antar-kekuatan besar tersendat. Krisis ekonomi global, dari inflasi hingga krisis energi, memperburuk ketegangan, mendorong negara-negara memprioritaskan militer. Di Timur Tengah, sanksi pada Iran memicu dinamika asimetris, sementara Gaza menjadi bara yang tak kunjung padam.
Indonesia, di Asia-Pasifik yang bergolak, menghadapi dilema serupa. Mengapa harus memilih senjata? Ketegangan di Laut Tiongkok Selatan menuntut pertahanan maritim, namun stabilitas domestik tak kalah penting. Negara ini harus menjaga netralitas, menghindari perlombaan senjata yang dipicu Tiongkok, Jepang, atau AS. Krisis regional ini menuntut kebijaksanaan, bukan hanya kekuatan, agar Indonesia tak terjebak dalam spiral ketegangan.
Lalu, apa jalan keluar dari krisis ini? Diplomasi harus diutamakan, melalui dialog AS-Tiongkok, mediasi PBB, atau gencatan senjata di Ukraina dan Gaza. Pengendalian senjata, terutama untuk teknologi canggih, bisa meredam perlombaan. Mengapa tak memilih keseimbangan? Negara-negara perlu mengalokasikan sumber daya untuk pembangunan sosial, mencegah instabilitas domestik. Krisis ini menuntut solusi kolektif, bukan hanya senjata yang menumpuk.
Mengapa dunia memilih senjata di saat krisis? Karena ketakutan mengalahkan kepercayaan. Dari Ukraina hingga Timur Tengah, dari Eropa hingga Asia, militerisasi menjadi jawaban instan. Namun, ini bukan solusi abadi. Miskalkulasi di hotspot global bisa memicu bencana. Diplomasi, pengendalian senjata, dan investasi sosial adalah jalan menuju stabilitas. Tanpa kebijaksanaan, dunia yang memilih senjata ini hanya selangkah dari jurang.
Jika dunia terus memilih senjata, apa yang tersisa dari krisis ini? Ukraina kehilangan masa depan, Eropa mengorbankan kesejahteraan, dan Asia terperangkap perlombaan senjata. Mengapa tak memilih jalan lain? SIPRI mengingatkan: belanja militer bukan hanya angka, tetapi cermin ketidakamanan. Dunia harus berani melangkah mundur, memilih dialog ketimbang senjata, agar tali tegang ini tak putus, menyeret kita ke kehancuran.
Daftar Sumber:
- Stockholm International Peace Research Institute. (2025). Unprecedented Rise in Global Military Expenditure: European and Middle East Spending Surges. Press Release. Diakses dari https://www.sipri.org/media/press-release/2025/unprecedented-rise-global-military-expenditure-european-and-middle-east-spending-surges
- Deutsche Welle. (n.d.). SIPRI Report: New Record in Global Military Spending. Diakses dari https://www.dw.com/en/sipri-report-new-record-in-global-military-spending/a-72356132