Connect with us

Opini

Mengapa Benteng Udara Israel Tak Mampu Bendung Serangan Rudal Iran?

Published

on

Di langit malam yang kelam, ketika sirene meraung di Tel Aviv, keluarga-keluarga berlari menuju bunker. Detak jantung mereka bercampur antara ketakutan dan harapan. Sistem pertahanan udara Israel—yang selama ini dibanggakan sebagai tameng tak tertembus—kembali diuji secara brutal pada April dan Oktober 2024, serta Juni 2025. Rentetan rudal yang diluncurkan Iran menggempur ruang udara Israel, dan meski Iron Dome, David’s Sling, serta Arrow—trio teknologi canggih itu—beraksi, hasilnya jauh dari sempurna. Beberapa rudal berhasil menembus dan menghantam fasilitas sensitif seperti pangkalan udara Nevatim dan markas Mossad, menyingkap celah yang selama ini tersembunyi.

Kegagalan ini tak semata persoalan teknis. Ia mencerminkan betapa kompleksnya ancaman dalam lanskap peperangan modern, sekaligus menunjukkan batas-batas kemampuan manusia dalam menghadapi teknologi perang yang terus berevolusi. Maka, pertanyaannya mengemuka: mengapa benteng udara Israel yang begitu tersohor bisa goyah?

Bayangkan, sebuah negara kecil di Timur Tengah, dikelilingi oleh negara-negara yang dianggap musuh, menggantungkan harapan pada sistem pertahanan berlapis yang telah menyelamatkan ribuan nyawa dari roket-roket Hamas dan Hizbullah. Iron Dome, misalnya, memiliki tingkat keberhasilan antara 90 hingga 99 persen dalam mencegat roket jarak pendek sejak digunakan pada 2011. Namun saat Iran meluncurkan sekitar 180 rudal balistik pada Oktober 2024, dan kurang dari 100 rudal dalam dua gelombang serangan Juni 2025, situasinya berubah drastis.

Rudal-rudal yang digunakan bukanlah proyektil konvensional. Misalnya, rudal Fattah—yang diklaim Iran mampu melesat hingga kecepatan Mach 15—memiliki manuver tiga dimensi dan lintasan yang tak terduga. Kadang terbang rendah, mendekati permukaan bumi, sehingga sulit ditangkap radar. Ini bukan roket sederhana seperti yang ditembakkan dari Gaza, tapi senjata hipersonik yang secara langsung menantang logika sistem pertahanan udara konvensional.

Perlu dipahami, Iron Dome memang dirancang untuk ancaman spesifik: roket jarak pendek dengan lintasan yang relatif lurus. Roket seperti inilah yang biasa diluncurkan Hamas, termasuk dalam serangan besar pada 2023 yang membanjiri langit Israel dengan 5.000 proyektil dalam waktu 20 menit. Namun ketika berhadapan dengan rudal balistik seperti Shahab-3 atau Khorramshahr yang memiliki jangkauan jauh, kecepatan tinggi, dan lintasan kompleks, maka tanggung jawab beralih ke sistem David’s Sling dan Arrow. Sayangnya, dalam praktiknya, koordinasi antar sistem ini tidak selalu berjalan mulus.

Bayangkan radar harus melacak puluhan, bahkan ratusan, objek sekaligus—masing-masing dengan pola gerak berbeda. Dalam skenario serangan jenuh (saturation attack), seperti yang dilakukan Iran, jumlah rudal yang diluncurkan jauh melampaui kapasitas sistem pencegat. Satu baterai Iron Dome hanya memiliki 20 rudal pencegat. Jika 180 rudal diluncurkan dalam waktu singkat, berapa baterai yang dibutuhkan? Apakah seluruh sistem bisa menyesuaikan dalam hitungan menit?

Belum lagi kehadiran drone—senjata sederhana namun efektif. Iran dan Hizbullah memanfaatkan drone untuk menyusup di bawah radar. Dengan komponen logam yang minim dan panas yang tak signifikan, drone-drone ini kerap luput dari pantauan radar. Dalam serangan Hizbullah pada 2024, drone digunakan sebagai pengalih perhatian sistem pertahanan, sementara rudal balistik menyelinap menuju target sebenarnya. Ini seperti permainan catur di udara. Iran memahami strategi pengelabuan secara mendalam dan memanfaatkannya secara maksimal.

Meski Israel didukung oleh sekutu seperti Amerika Serikat, yang turut mengerahkan kapal perusak Aegis dan sistem THAAD, koordinasi lintas negara tetap memerlukan waktu. Dan dalam konteks perang, bahkan selisih beberapa detik dapat menentukan hidup atau mati.

Dalam laporan resmi, Israel mengklaim berhasil mencegat 90 hingga 99 persen proyektil pada serangan April, Oktober 2024, dan Juni 2025. Namun, klaim ini dibantah oleh Iran yang menyatakan bahwa 90 persen rudal mereka mengenai sasaran. Media Arab dan beberapa analis independen—seperti dari Al Jazeera dan Middle East Eye—menyebutkan adanya kerusakan serius di pangkalan Nevatim dan fasilitas Mossad. Video amatir yang beredar di media sosial, terutama platform X (sebelumnya Twitter), menunjukkan ledakan di area terbuka dan bangunan strategis. Fakta ini menunjukkan bahwa sebagian rudal berhasil menembus sistem pertahanan. Ini bukan semata soal siapa yang berbohong, tetapi realitas bahwa bahkan sistem pertahanan tercanggih pun memiliki keterbatasan.

Bagi kita di Indonesia, mungkin konflik ini terasa jauh. Tapi implikasinya relevan. Laut Cina Selatan kini menjadi salah satu kawasan paling tegang di Asia, dengan keberadaan rudal hipersonik Tiongkok yang semakin membayangi sistem pertahanan negara-negara ASEAN. Bayangkan jika Indonesia suatu saat menghadapi serangan jenuh serupa. Kapal fregat yang dilengkapi radar canggih sekalipun akan kesulitan melacak rudal yang mampu bermanuver secepat dan secerdik Fattah.

Pengalaman serupa juga terlihat dalam konflik di Ukraina. Sistem pertahanan S-400 milik Rusia—yang sering dianggap setara dengan Arrow—gagal mencegat rudal HIMARS milik Ukraina di wilayah Donbas. Ini memberi pelajaran penting: teknologi tinggi tak akan berguna jika strategi lawan lebih luwes dan adaptif.

Kegagalan Israel juga memiliki dimensi manusiawi. Operator sistem Iron Dome bekerja di bawah tekanan ekstrem. Bayangkan berada di ruang kontrol, menatap layar radar, dan harus membuat keputusan dalam hitungan detik—menentukan rudal mana yang harus dicegat, mana yang bisa dibiarkan jatuh di area kosong. Dalam serangan Hamas 2023, kelelahan operator disebut sebagai salah satu faktor kegagalan. Salah pengaturan sudut tembak menyebabkan baterai Iron Dome gagal mencegat roket sederhana. Iran, dengan rudal yang jauh lebih kompleks, memanfaatkan celah ini secara sistematis. Mereka memahami bahwa teknologi, sehebat apa pun, tetap dikendalikan oleh manusia—dan manusia bisa lelah, bisa salah.

Aspek lain yang tak kalah penting adalah soal biaya. Satu rudal pencegat Iron Dome bernilai sekitar 50.000 dolar AS. Rudal balistik buatan Iran, meski bukan murah, tetap lebih efisien secara biaya dibandingkan membangun sistem pertahanan berlapis. Di sinilah letak keunggulan Iran: mereka dapat memproduksi rudal dalam jumlah besar dengan biaya yang jauh lebih rendah, sementara Israel harus menggelontorkan miliaran dolar hanya untuk mempertahankan tameng pertahanannya. Ini bukan lagi sekadar pertarungan teknologi, melainkan juga lomba ketahanan ekonomi.

Pertanyaan besar pun muncul: apakah Israel terlalu percaya diri dengan sistem pertahanan seperti Iron Dome? Sistem ini memang terbukti efektif dalam menghadapi roket-roket dari Gaza dan Lebanon. Namun, ketika berhadapan dengan rudal hipersonik dan strategi serangan jenuh dari Iran, kepercayaan itu tampaknya mulai goyah.

Pelajaran penting juga bisa diambil oleh Indonesia. Kita kerap merasa bangga dengan peralatan tempur seperti jet Sukhoi atau kapal perang modern, tetapi tanpa strategi yang adaptif dan pengembangan taktik pertahanan, teknologi bisa jadi sia-sia. Kita pernah melihat bagaimana drone murah milik kelompok Houthi di Yaman mampu menembus dan mengacaukan sistem pertahanan udara Arab Saudi—padahal sistem tersebut jauh lebih mahal dan canggih.

Kini Israel tengah mengembangkan sistem pertahanan baru bernama Iron Beam, berbasis teknologi laser, untuk mencegat drone dan roket dengan biaya lebih murah. Namun, hingga pertengahan 2025, sistem ini belum beroperasi penuh. Sementara itu, Iran terus menyempurnakan rudalnya—belajar dari setiap serangan, mengevaluasi, dan mengadaptasi strategi.

Akhirnya, refleksi dari semua ini membawa kita pada satu pertanyaan penting: sampai kapan teknologi bisa mengejar ancaman yang terus berubah? Di Tel Aviv, sirene masih berbunyi. Keluarga-keluarga masih berlari ke bunker. Di Jakarta, kita mungkin tak mendengar suara sirene, tapi ketegangan di Laut Cina Selatan, ancaman siber, dan potensi konflik regional menegaskan bahwa keamanan tak pernah bisa dianggap selesai.

Kegagalan sistem pertahanan Israel bukan semata-mata karena kualitas Iron Dome yang buruk, tetapi karena lawannya tahu cara mengecoh sistem itu. Kita di Indonesia dan di mana pun berada, harus belajar dari kegagalan tersebut—bahwa keamanan sejati bukan hanya soal teknologi, tetapi soal kesiapan, strategi, dan kewaspadaan yang tak pernah boleh lengah.

Dan di atas semua itu, jangan lupa bahwa perang selalu punya sisi kemanusiaan. Di balik radar dan rudal, ada nyawa yang dipertaruhkan. Setiap rudal yang lolos adalah pengingat bahwa dalam perang modern, tak ada tameng yang benar-benar tak tertembus. Mungkin pelajaran terbesar dari langit yang retak di atas Israel adalah ini: ketangguhan sejati lahir dari kemampuan untuk belajar, beradaptasi, dan tetap waspada dalam menghadapi ancaman yang tak pernah berhenti berevolusi.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *