Opini
Mengadu Nasib, Eropa ‘Berjudi’ Tarif dengan Trump

Di tengah gemuruh ketidakpastian global, Eropa berdiri di meja taruhan geopolitik yang genting. Ancaman tarif dari Donald Trump bukan sekadar wacana proteksionis biasa; ia bisa menjadi kartu truf yang menjungkalkan perekonomian Eropa secara dramatis. Laporan dari Institut Ekonomi Jerman (IW) memperkirakan kerugian Uni Eropa (UE) mencapai €1,1 triliun (sekitar Rp18.500 triliun) hingga 2028 jika tarif 20% pada barang UE dan 25% pada mobil diberlakukan. Jerman, jantung ekonomi Eropa, diprediksi kehilangan €180 miliar (sekitar Rp3.000 triliun).
Di bawah kepemimpinan Ursula von der Leyen dan Friedrich Merz, Eropa meletakkan taruhannya pada strategi “zero-for-zero” tariff agreement—sebuah kesepakatan penghapusan tarif timbal balik. Namun, langkah ini lebih menyerupai perjudian berisiko tinggi ketimbang strategi yang terukur. Mereka masuk ke arena negosiasi bukan dengan posisi kuat, melainkan dengan harapan bahwa Washington akan bermain adil. Tapi harapan, seperti dalam perjudian, kerap tak cukup.
Von der Leyen mengusulkan penghapusan tarif pada barang industri untuk meredakan ketegangan transatlantik. Merz mendukungnya, memproyeksikan Jerman sebagai mitra strategis AS. Tapi Trump menolak, menuntut UE membeli energi AS senilai $350 miliar (sekitar Rp5.600 triliun) sebagai syarat keringanan tarif. Tiga putaran pembicaraan antara Komisaris Perdagangan UE Maroš Šefčovič dan perwakilan AS berakhir tanpa terobosan. Ketidakpastian selama jeda tarif 90 hari justru mencekik perencanaan investasi global, menambah tekanan pada ekonomi Eropa yang sudah goyah akibat perang di Ukraina dan krisis energi.
Jerman menghadapi ancaman terbesar dari semua. Menurut IW, jika tarif diberlakukan, PDB Jerman akan turun 1,2% hingga 1,6% per tahun. Sektor otomotif dan farmasi—yang menopang ekspor ke AS senilai €253 miliar (sekitar Rp4.300 triliun) pada 2024—menjadi yang paling rentan. Dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi hanya 0,1% pada 2025 setelah dua tahun kontraksi, guncangan tarif bisa menjadi pukulan telak. Merz, yang diprediksi akan menjadi kanselir, mencoba mengimbangi risiko dengan investasi €1 triliun (sekitar Rp16.800 triliun) untuk infrastruktur dan pertahanan, tetapi itu ibarat menambal perahu bocor dengan kain basah.
Strategi Eropa yang tampak berakar pada idealisme perdagangan bebas, sejatinya kini terlihat seperti lembaran doa yang diharap mampu menahan badai proteksionisme global. Merz, yang sebelumnya mendukung perjanjian perdagangan bebas skala luas, kini malah memihak proposal sempit von der Leyen. Para analis seperti Laura von Daniels menyebut pendekatan ini tidak konsisten—terombang-ambing antara optimisme transatlantik dan keinginan untuk kemandirian Eropa. Claudia Major dari German Institute for International and Security Affairs bahkan menyebutnya sebagai “doa untuk masa lalu yang tak akan kembali.” Dunia perdagangan sudah berubah; mega-deal seperti TTIP tak lagi realistis.
Kelemahan paling kentara dari strategi ini adalah ketergantungan Eropa pada kemauan Trump untuk berkompromi. Trump melihat defisit perdagangan AS dengan UE sebagai ketidakadilan besar, menjadikan tarif sebagai senjata untuk memaksa konsesi. Tuntutan pembelian energi dari AS menggambarkan pendekatan transaksional khas Trump, yang jelas tidak sejalan dengan visi perdagangan bebas Eropa. Sementara itu, UE mempertimbangkan retaliasi dengan tarif 25% pada impor AS. Tapi ini seperti membalas ancaman dengan menyulut api yang lebih besar—perang dagang yang akan menambah beban pada ekonomi yang sudah ringkih.
Merz mencoba membangun solidaritas Eropa menghadapi taktik “pecah belah” Trump yang kemungkinan besar akan menawarkan kesepakatan bilateral kepada negara-negara UE secara individual. Kunjungannya ke Paris untuk bertemu Emmanuel Macron mencerminkan urgensi membangun front persatuan dengan Prancis. Namun, sikap proteksionis Prancis justru berpotensi menjadi penghambat. Di sisi lain, tantangan domestik Merz tak kalah besar. Koalisi CDU-SPD yang rapuh, di bawah bayang-bayang AfD yang terus menguat, menuntut hasil nyata demi menjaga kepercayaan publik. Ketergantungan Jerman pada ekspor—khususnya ke AS—membuatnya sangat rentan terhadap kegagalan negosiasi ini.
Eropa sebenarnya tidak datang ke meja taruhan tanpa rencana cadangan. Merz menyebutkan pentingnya diversifikasi mitra dagang seperti Kanada, Korea Selatan, dan India sebagai jalan keluar jika kesepakatan dengan AS gagal. Namun membangun kepercayaan dan kemitraan baru membutuhkan waktu, sementara kerugian akibat tarif Trump dapat dirasakan dalam hitungan bulan. Investasi dalam infrastruktur dan sektor domestik adalah langkah bijak untuk meningkatkan daya tahan internal, tetapi tidak cukup untuk menggantikan pasar ekspor yang begitu besar. Julian Hinz dari Kiel Institute menekankan bahwa kesepakatan sektoral yang fleksibel—bukan mega-deal—merupakan jalan yang lebih realistis saat ini.
Perjudian Eropa ini melampaui urusan ekonomi semata; ia mengandung bobot geopolitik yang dalam. Kegagalan negosiasi dengan AS dapat memperlebar jarak dalam hubungan transatlantik, sekaligus memperlemah posisi Eropa dalam NATO—yang sejak lama menjadi payung keamanan bersama. Dalam konteks Trump, NATO bahkan diragukan kelangsungannya. Maka Eropa harus bersiap tidak hanya menghadapi tarif, tetapi juga kemungkinan meningkatnya kebutuhan untuk kemandirian strategis—yang biayanya tidak kecil.
Von Daniels memperingatkan bahwa Merz harus mampu menjaga keseimbangan antara mempertahankan hubungan dengan AS dan mendorong otonomi Eropa. Ini bukan tugas ringan, apalagi di tengah tekanan politik dalam negeri dan ketidakstabilan global. Jika strategi “zero-for-zero” ini gagal, Eropa tidak hanya akan kehilangan keuntungan ekspor, tetapi juga posisi tawarnya dalam tatanan global yang makin mengarah pada blok-blok ekonomi tertutup.
Yang dipertaruhkan Eropa bukan sekadar angka-angka dalam laporan IW, melainkan masa depan stabilitas dan kedaulatannya dalam sistem internasional. Tarif Trump bisa mengguncang rantai pasok global, menghantam sektor-sektor vital, dan mempercepat krisis finansial di kawasan. Merz sudah memperingatkan potensi ini dalam wawancaranya dengan Handelsblatt—bahwa tanpa alternatif konkret dan respons cepat, Eropa akan terjebak dalam kerugian beruntun.
Uni Eropa harus segera bertindak. Mengandalkan negosiasi saja, apalagi dengan mitra sekeras Trump, adalah langkah naif. Retaliasi mungkin perlu diambil, bukan untuk menyerang, tetapi untuk menunjukkan ketegasan posisi. Diversifikasi pasar harus dipercepat, dan ketahanan domestik dibangun dengan sungguh-sungguh. Jika tidak, Eropa akan menyaksikan dirinya kalah dalam permainan yang ia masuki dengan tangan kosong.
Dalam permainan sebesar ini, keberuntungan bukan strategi. Dan Eropa tak bisa terus menggantungkan nasibnya pada kemurahan hati lawan yang selalu bermain keras.