Connect with us

Opini

Menelisik Tuduhan Sergey Lavrov: Amerika Serikat dan Kejatuhan Bashar Assad

Published

on

Oleh: Lutfi Awaludin Basori

Pernyataan Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov yang menuduh Amerika Serikat (AS) berkontribusi signifikan terhadap kejatuhan Bashar Assad memunculkan kembali perdebatan tentang peran Washington di Suriah. Lavrov secara tegas menyebut bahwa sanksi ekonomi dan kehadiran militer AS di wilayah kaya minyak Suriah telah memperparah situasi ekonomi negara tersebut, sehingga memicu keresahan rakyat yang akhirnya mengguncang stabilitas pemerintahan Assad. Namun, seberapa jauh kebenaran tuduhan ini, dan apakah Lavrov sepenuhnya objektif dalam pernyataannya?

Tidak dapat disangkal bahwa kebijakan AS terhadap Suriah memiliki dampak besar. Sejak 2014, Washington telah mempertahankan kehadiran militer di timur laut Suriah dengan dalih memerangi kelompok teroris ISIS. Namun, pemerintah Suriah dan sekutunya, termasuk Rusia, menuduh AS mengeksploitasi sumber daya minyak di wilayah tersebut. Laporan-laporan independen juga menunjukkan indikasi bahwa minyak dari wilayah yang dikuasai AS diperdagangkan secara ilegal, memperkuat narasi Lavrov tentang “pencurian sumber daya.”

Selain itu, sanksi ekonomi AS melalui Caesar Act memberikan tekanan besar pada pemerintah Assad. Kebijakan ini memperketat embargo dan melarang transaksi dengan individu atau entitas yang mendukung pemerintah Suriah. Akibatnya, impor barang-barang esensial seperti bahan bakar, obat-obatan, dan kebutuhan pokok lainnya menjadi sangat sulit, yang memperburuk krisis kemanusiaan di negara tersebut. Kondisi ini tentu saja berkontribusi pada meningkatnya ketidakpuasan rakyat.

Namun, menyalahkan AS secara eksklusif mengabaikan fakta bahwa kejatuhan Assad juga merupakan hasil dari kelemahan internal pemerintahannya. Korupsi, nepotisme, dan inefisiensi yang sudah lama menjadi ciri khas rezim Assad memperparah situasi ekonomi dan sosial di Suriah. Meski Lavrov menyebutkan “ketidakmampuan kepemimpinan sebelumnya dalam memenuhi kebutuhan dasar rakyat,” ia tidak menyoroti secara mendalam bagaimana kebijakan Assad sendiri turut memicu protes dan ketidakpuasan yang meluas.

Selain itu, ketidakmampuan Assad untuk menjalin dialog dengan oposisi dan negara-negara tetangga juga memainkan peran penting. Konflik berkepanjangan dan sikap keras kepala rezim Assad dalam menghadapi tuntutan perubahan telah menciptakan kebuntuan politik yang sulit diatasi, bahkan dengan dukungan penuh dari sekutu-sekutunya seperti Rusia dan Iran.

Suriah bukan hanya korban dari perseteruan internal, tetapi juga medan perang bagi kekuatan asing. Kehadiran AS di Suriah memang kontroversial, tetapi Rusia juga memiliki kepentingan strategis di wilayah tersebut. Dukungan militer Rusia terhadap Assad selama bertahun-tahun memperpanjang konflik, yang pada akhirnya memperburuk penderitaan rakyat Suriah.

Narasi Lavrov tentang peran destruktif AS juga berfungsi untuk mengalihkan perhatian dari tanggung jawab Rusia dalam mempertahankan rezim yang semakin kehilangan legitimasi. Selain itu, faktor regional turut memengaruhi dinamika Suriah. Negara-negara seperti Turki, Iran, dan sekutu-sekutu Teluk memiliki agenda masing-masing di Suriah, sering kali bertentangan dengan kepentingan rakyat Suriah sendiri. Dalam konteks ini, Lavrov—sebagai diplomat Rusia—tentu memiliki kepentingan untuk mempromosikan narasi yang menyudutkan AS demi mengukuhkan posisi Rusia sebagai aktor “penyeimbang” di kawasan tersebut.

Kejatuhan Bashar Assad memberikan pelajaran penting tentang kompleksitas konflik Suriah. Sanksi dan tekanan ekonomi eksternal memang memiliki dampak besar, tetapi masalah internal pemerintahan Assad tidak dapat diabaikan. Kombinasi antara tekanan eksternal dan kelemahan internal inilah yang pada akhirnya mengguncang fondasi rezim tersebut.

Lavrov mungkin benar dalam menyoroti peran AS sebagai salah satu faktor destabilisasi di Suriah, tetapi tuduhannya hanya mencerminkan sebagian dari kenyataan. Untuk memahami sepenuhnya apa yang terjadi, kita perlu melihat gambaran yang lebih luas, di mana konflik Suriah adalah hasil dari interaksi kompleks antara dinamika internal, intervensi asing, dan realitas geopolitik kawasan.

Ke depan, jika masyarakat internasional ingin membantu Suriah bangkit dari kehancuran, solusi yang komprehensif dan inklusif diperlukan. Ini berarti tidak hanya menghentikan campur tangan destruktif dari kekuatan asing, tetapi juga mendukung transformasi politik yang memungkinkan rakyat Suriah menentukan masa depan mereka sendiri.

 

*Sumber: Russian Today

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *