Connect with us

Opini

Meminta Hamas Letakkan Senjata? Itu Justru Langgar Aturan Internasional

Published

on

Pada tanggal 2 Agustus, Hamas merilis pernyataan tegas yang isinya mungkin membuat sebagian diplomat Barat tersedak kopi pagi mereka. Menanggapi pernyataan utusan AS, Steve Witkoff, yang mengklaim bahwa Hamas “siap melucuti senjata” demi mengakhiri perang, mereka membalas dengan kalimat yang seharusnya sudah sangat akrab di telinga siapa pun yang masih mengingat isi Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa: “Perlawanan dan senjata adalah hak nasional dan legal selama pendudukan masih berlangsung.” Sebuah kalimat yang sederhana, tapi terasa seperti peluru yang melesat ke dada kemunafikan diplomasi internasional.

Lucunya, yang membuat gaduh bukanlah senjatanya, melainkan keberanian untuk menyebut bahwa senjata itu sah. Dunia bereaksi seolah Hamas baru saja menyatakan akan menembakkan rudal ke bulan. Padahal yang mereka sampaikan hanyalah deklarasi akan tetap menggenggam senjata, selama tanah mereka masih dikuasai. Rasanya, tak perlu jadi pengacara internasional atau dosen hukum humaniter untuk paham bahwa ini bukan sikap radikal, tapi hak dasar yang dijamin oleh hukum internasional. Sayangnya, di dunia ini, siapa yang berhak bicara soal hak, seringkali ditentukan oleh siapa yang punya mikrofon paling besar—dan rudal paling banyak.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

AS, Eropa, Israel, bahkan sebagian negara Arab, tergopoh-gopoh menyusun narasi: bahwa pelucutan senjata adalah prasyarat damai. Bahwa rekonstruksi Gaza baru mungkin terjadi jika Hamas tidak lagi memegang senapan. Bahwa dunia akan lebih tenang jika mereka hanya melawan lewat puisi. Betapa damainya dunia tanpa peluru… dari pihak yang dijajah. Sebuah harapan yang begitu manis, tapi juga absurd. Seolah meyakini bahwa seorang yang rumahnya dibakar harus menunggu pelakunya memberikan ember, alih-alih meraih selang dan memadamkan sendiri apinya.

Mengapa Hamas tidak bisa begitu saja meletakkan senjata? Karena mereka bukan tentara bayaran, bukan tentara negara, bukan aktor formal yang bisa diperintah mundur dengan satu resolusi PBB. Mereka bukan bagian dari sistem negara-bangsa yang diatur oleh etiket diplomasi formal. Hamas adalah—suka atau tidak suka—wajah dari resistensi. Sebuah manifestasi dari luka yang tidak sembuh-sembuh. Dan senjata mereka bukan sekadar alat tempur, tapi simbol eksistensi. Ia mewakili satu hal sederhana yang terus diingkari oleh banyak elite global: bahwa ada rakyat yang tidak ingin tunduk pada penjajahan, tidak ingin hidup dengan kepala ditundukkan di bawah sepatu bot.

Pernyataan Hamas seharusnya tidak mengejutkan siapa pun yang mengaku pernah membaca Resolusi Majelis Umum PBB 37/43 (1982) yang menyatakan bahwa rakyat Palestina memiliki hak sah untuk berjuang melawan pendudukan dengan segala cara, termasuk perjuangan bersenjata. Tapi dunia sepertinya mengalami semacam amnesia selektif. Ketika Ukraina mengangkat senjata melawan Rusia, mereka dielu-elukan. Tapi ketika Hamas, atau kelompok manapun di bawah pendudukan, berusaha bertahan hidup dengan senjata, mereka dicap teroris. Dunia yang sama yang memuji-muji perlawanan rakyat Prancis terhadap Nazi, kini mengutuk pejuang Palestina dengan nada seolah mereka ancaman peradaban.

Apa ini bukan standar ganda? Atau mungkin kita butuh nama baru: standar ganda premium, karena hanya berlaku bagi mereka yang dianggap “tidak beradab.”

Mari kita lihat lebih dalam lagi: yang menekan Hamas untuk melucuti senjata bukan hanya Israel atau Amerika. Negara-negara Arab seperti Mesir, Turki, bahkan Liga Arab yang katanya solidaritas terhadap Palestina pun ikut menyuarakan desakan yang sama. Seolah mereka lupa bahwa kekuatan bersenjata itulah yang menjadi sandaran satu-satunya bagi rakyat Gaza di tengah reruntuhan rumah, rumah sakit, dan masjid. Ironisnya, negara-negara yang semestinya jadi pelindung malah sibuk memoles wacana damai yang bahkan tidak punya nyawa.

Bagaimana mungkin sebuah kelompok perlawanan diminta menyerah tanpa syarat, sementara penjajahnya terus memegang senjata, terus membangun permukiman ilegal, terus menolak kedaulatan Palestina? Ini bukan damai. Ini penaklukan versi sopan. Damai yang dipaksakan hanya kepada pihak yang tertindas, sementara yang menindas terus dibiarkan mengatur syaratnya. Kita tidak sedang menyusun perdamaian. Kita sedang menyusun naskah penyerahan.

Jika hukum internasional mengatakan bahwa rakyat terjajah berhak untuk melawan dengan senjata, maka setiap desakan untuk melucuti Hamas tanpa terlebih dahulu mengakhiri pendudukan, sesungguhnya adalah pelanggaran terhadap hukum itu sendiri. Jadi mari perjelas posisi: yang menolak hak Hamas untuk bersenjata selama pendudukan masih berlangsung, adalah pihak-pihak yang sedang melawan hukum internasional, bukan membelanya. Siapa pun yang mendesak pelucutan senjata tanpa akhir pendudukan, sesungguhnya sedang mencoret prinsip keadilan dengan tinta diplomasi kosong.

Lalu apa motif di balik desakan pelucutan itu? Apakah benar demi perdamaian? Atau sekadar ingin mencabut taring perlawanan agar tidak mengganggu bisnis senjata, stabilitas mitra dagang, dan perjanjian normalisasi yang dipoles dengan jargon “perdamaian Timur Tengah”?

Tak ada yang benar-benar netral dalam politik global hari ini. Bahkan PBB, dengan semua simbol dan jargon hak asasi, terlihat lebih sibuk membuat laporan “berimbang” daripada menyebut pelaku secara jelas. Seolah menyamakan penghancur dan yang dihancurkan adalah bentuk kebajikan. Dalam situasi seperti ini, siapa yang mempertahankan hak untuk melawan, justru seringkali tampil lebih manusiawi daripada mereka yang mengusung jargon keadilan tapi meminta rakyat menyerah begitu saja.

Dalam konteks ini, posisi Hamas justru lebih logis, lebih jujur, dan lebih sesuai dengan hukum internasional ketimbang para diplomat dan analis yang bicara tentang solusi dua negara tapi menutup mata terhadap pendudukan. Meminta Hamas meletakkan senjata tanpa mengakhiri pendudukan adalah seperti meminta seorang tahanan menggali kuburnya sendiri. Dan kita semua tahu, bahkan dalam drama paling kejam pun, ada batas antara naskah fiksi dan kekejaman nyata.

Mungkin dunia butuh diingatkan bahwa keadilan bukan datang dari konferensi pers, atau dari meja perundingan yang penuh bunga dan air mineral. Keadilan, kadang, datang dari seorang bocah yang berani melawan tank dengan batu. Atau dari satu kelompok yang, meskipun dibombardir setiap hari, masih berani berkata: “Kami tidak akan menyerah.” Dan selama dunia terus menutup mata terhadap pendudukan, selama hukum internasional hanya digunakan separuh-separuh, maka perjuangan bersenjata bukanlah kegilaan. Ia adalah akal sehat yang terakhir.

Jadi mari kita simpan baik-baik pertanyaan ini: siapa sebenarnya yang melawan hukum internasional—Hamas yang bertahan dengan senjata, atau mereka yang meminta senjata itu dijatuhkan tanpa menyentuh akar pendudukan? Sebab jawaban atas pertanyaan itu bukan hanya soal Gaza. Itu soal siapa yang masih percaya bahwa hukum dan keadilan bisa hidup berdampingan di dunia yang sudah terlalu lama memilih diam.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer