Opini
Meme SSS: Kritik AI atau Dosa Digital di Mata UU ITE?

Di tengah gemerlap layar ponsel yang tak pernah padam, sebuah meme lahir dari tangan seorang mahasiswi ITB, SSS, dan langsung mengguncang jagat maya. Gambar Presiden Prabowo Subianto berciuman dengan Joko Widodo, karya digital yang dibuat dengan sengaja provokatif, bukan sekadar leletan jari di kanvas virtual, melainkan jeritan kreatif tentang bahaya AI yang tak diatur. Namun, alih-alih memicu diskusi serius, meme itu malah mengantarkan SSS ke jeruji Bareskrim Polri, dijerat UU ITE dengan tuduhan melanggar kesusilaan. Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) menyuarakan keprihatinan, mendesak pembinaan ketimbang pemidanaan, tapi realitasnya? Seorang mahasiswi seni kini jadi tersangka karena berani bicara—atau lebih tepatnya, menggambar—tentang masa depan yang kita semua abaikan. Absurd, bukan? Di negeri yang sibuk mengatur moral, sebuah peringatan tentang teknologi malah dipandang sebagai dosa digital.
Bayangkan: seorang anak muda, duduk di kamar kos sederhana, mungkin sambil menyeruput kopi instan, merancang meme untuk menyentak kesadaran kita. SSS, mahasiswi Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB, bukan sembarang pelaku iseng. Ia, seperti disampaikan Muhammad Isnur di Kompas TV, sudah lama getol bicara soal ancaman AI. Meme itu, meski bagi sebagian tampak “keterlaluan”, adalah ilustrasi ekstrem: tanpa aturan, teknologi bisa memanipulasi gambar siapa saja, termasuk presiden, jadi bahan olok-olok atau bahkan fitnah. Tapi apa respons negara? Bukan dialog tentang AI, melainkan borgol dan tuduhan. Pasal 45 ayat (1) UU ITE, dengan ancaman 6 tahun penjara, jadi senjata untuk membungkam. Ironis, ketika dunia berlomba mengatur AI—lihat saja EU AI Act—kita malah sibuk mengadili sebuah meme.
Kemendiktisaintek, lewat Menteri Brian Yuliarto, coba meredam kegaduhan. Dalam pernyataan resminya pada 11 Mei 2025, mereka menyerukan pendekatan edukasi, bukan kriminalisasi. Kampus, kata mereka, harus jadi ruang aman untuk berekspresi, tempat menumbuhkan integritas dan literasi digital, bukan gelanggang adu hukum. Mereka sudah koordinasi dengan ITB, memastikan SSS dapat pendampingan hukum, psikologis, hingga akademik. Tapi, mari jujur, seberapa jauh pendampingan ini bisa melindungi SSS dari trauma dihajar sistem? Di negeri ini, hukum sering jadi palu godam, menghantam tanpa pandang konteks. SSS, yang cuma ingin bilang “atur AI sebelum terlambat”, kini jadi contoh bagaimana negara lebih peduli pada “kesusilaan” ketimbang visi masa depan.
Coba dengar apa yang dikatakan Isnur di Kompas TV. SSS, katanya, bukan penutur sembarang. Ia konsisten kampanye soal bahaya AI, dari timeline media sosialnya yang penuh kritik hingga meme yang kini jadi biang kerok. Meme itu bukan sekadar guyonan murahan, tapi peringatan: kalau AI dibiarkan liar, konten semacam ini—atau yang lebih parah—bakal membanjiri internet. Bayangkan deepfake yang membuat tokoh publik jadi bahan fitnah, atau video palsu yang memicu konflik. SSS, dengan kepekaan senimannya, coba gambarkan skenario itu. Tapi apa lacur? Polisi, dengan patroli siber mereka, malah melihatnya sebagai pelanggaran moral. Bukti permulaan cukup, kata Ito Sumardi, mantan Kabareskrim, untuk menangkap tanpa panggilan. Keren, bukan, betapa cepatnya negara bertindak kalau soal “kesusilaan”, tapi lamban kalau diminta bikin regulasi teknologi?
UU ITE, oh, UU ITE. Pasal 27 dan 45, yang konon melindungi kesusilaan, sudah jadi momok sejak lama. Isnur bilang DPR sendiri mengakui pasal-pasal ini rawan disalahgunakan. Multitafsir, subjektif, dan sering jadi alat untuk membungkam kritik. SSS dijerat karena meme-nya dianggap tak sopan, tapi siapa korbannya? Jokowi? Prabowo? Mereka tak lapor, tapi polisi tetap gaspol. Isnur bertanya, “Korbannya siapa?”. Pertanyaan retoris yang menggigit. Kalau tak ada yang merasa dirugikan, kenapa SSS ditahan? Ini bukan soal hukum, ini soal kontrol. Negara, sepertinya, lebih takut pada kebebasan berekspresi ketimbang ancaman AI yang SSS coba soroti.
Lalu, ada Ito Sumardi, yang dengan nada penuh wibawa bilang bahwa hukum harus ditegakkan. Ia menyebut peluang restorative justice, tapi dengan syarat: harus ada kesediaan pihak untuk memaafkan. Tapi, sekali lagi, siapa yang perlu memaafkan? Publik? Atau aparat yang tersinggung atas nama publik? Ito juga sarankan praperadilan kalau SSS merasa dikriminalisasi. Masuk akal, tapi coba bayangkan: seorang mahasiswi, yang cuma ingin kampanye soal AI, harus berhadapan dengan labirin hukum hanya untuk membuktikan niat baiknya. Ini bukan keadilan, ini drama birokrasi yang melelahkan. Dan sementara itu, isu AI yang SSS angkat tetap teronggok di pinggir jalan, tak tersentuh.
Kemendiktisaintek, untungnya, punya visi yang lebih terang. Brian Yuliarto bilang pendidikan tinggi harus jadi wadah pembinaan karakter, bukan ajang kriminalisasi. Ia ajak sivitas akademika refleksi: kebijaksanaan bermedia sosial itu penting, tapi kampus juga harus lindungi hak mahasiswa berekspresi. Tapi, di lapangan, realitasnya lain. SSS sudah di Bareskrim, diinterogasi, mungkin ketakutan, sementara temen-temennya di ITB cuma bisa berdoa atau nge-tweet solidaritas. Ini bukan cerita fiksi, ini Indonesia 2025, di mana seorang mahasiswi seni bisa jadi tersangka karena meme. Tersenyum miris, anyone?
Sekarang, mari kita ke intinya: SSS cuma ingin bilang bahwa tanpa regulasi AI, dunia digital bakal jadi hutan rimba. Meme-nya, ya, mungkin kelewat batas buat selera lokal—kita kan bangsa yang gampang tersinggung kalau soal “moral”. Tapi, bukankah itu poinnya? Ia sengaja bikin sesuatu yang menohok untuk menyentak kita dari mimpi indah teknologi. Tanpa aturan, AI bisa bikin deepfake yang jauh lebih jahat dari meme SSS. Bayangkan video palsu Jokowi ngomong sesuatu yang memicu kerusuhan, atau Prabowo “tertangkap” dalam skandal buatan. Ini bukan khayalan, ini sudah terjadi di belahan dunia lain. Tapi apa yang kita lakukan? Kita tangkap SSS, seolah ia musuh negara, bukan anak muda yang coba ngasih warning.
Isnur bilang seharusnya ada dialog, bukan penangkapan. Betul. Bayangkan kalau polisi, alih-alih buru-buru tangkap, duduk bareng SSS, dengar ceritanya, lalu ajak diskusi soal AI. Atau, kalau terlalu muluk, serahkan ke kampus untuk pembinaan, seperti saran Kemendiktisaintek. Tapi tidak, kita pilih jalan pintas: jerat hukum, tuduh pelanggar kesusilaan, selesai. Ini bukan cuma soal SSS, ini soal pola pikir kita sebagai bangsa. Kita lebih nyaman mengatur moral ketimbang menghadapi tantangan teknologi. Kita lebih suka membungkam ketimbang mendengar. Dan itu, teman-teman, adalah ironi yang bikin hati perih.
Jadi, apa yang bisa kita pelajari dari kegaduhan ini? Pertama, UU ITE harus direformasi. Pasal-pasal karetnya sudah terlalu lama jadi senjata pemukul kritik. Kedua, pemerintah harus buka mata: AI bukan cuma soal aplikasi keren, tapi juga ancaman nyata kalau tak diatur. SSS sudah coba teriak soal ini, tapi kita malah tutup telinga. Ketiga, kampus harus jadi benteng terakhir kebebasan berekspresi. ITB, dengan dukungan Kemendiktisaintek, bisa bikin program literasi digital yang bikin mahasiswa seperti SSS tetap kritis tanpa harus jadi martir. Dan terakhir, kita, ya kita semua, harus belajar bedain antara kritik dan kejahatan. SSS bukan kriminal, ia cuma mahasiswi yang pengen kita mikir.
Saat tulisan ini ditulis, SSS masih di Bareskrim, menanti nasibnya. Mungkin ia sedang menyesal, mungkin ia tetap teguh. Tapi satu hal pasti: ia sudah menyentak kita, meski dengan cara yang kita anggap “keterlaluan”. Meme-nya mungkin tak lagi beredar, tapi pesannya harusnya terus bergema: atur AI, atau kita semua yang bakal jadi korban teknologi. Jadi, mari kita berhenti sejenak, tarik napas, dan tanya diri sendiri: kapan kita mulai dengar anak muda, sebelum mereka jadi headline berita?