Opini
Membunuh Jurnalis, Mengubur Kebenaran di Gaza

Nasser Medical Complex di Khan Yunis, sebuah rumah sakit yang seharusnya menjadi tempat terakhir bagi orang-orang mencari perlindungan, luluh lantak oleh serangan udara Israel. Lantai atas, tempat para jurnalis bekerja, dihantam rudal pertama. Tak lama berselang, rudal kedua menghujam ke arah tim penyelamat yang bergegas menolong. Peristiwa itu bahkan tersiar langsung di televisi, memperlihatkan bagaimana serangan kedua diarahkan dengan dingin, tanpa keraguan sedikit pun. Bukan hanya pasien atau tenaga medis yang jatuh, melainkan pula mereka yang menulis, memotret, dan merekam kenyataan agar dunia tahu apa yang sesungguhnya terjadi di Gaza.
Di antara korban, ada nama-nama yang seharusnya mengguncang nurani global. Hossam al-Masri dari Reuters. Mohammad Salama dari Al Jazeera. Maryam Abu Daqqa dari Independent Arabia dan Associated Press. Muath Abu Taha dari NBC. Dan Ahmad Abu Aziz yang sempat bertahan hidup, sebelum akhirnya menyerah pada luka-luka akibat serangan yang sama. Mereka bukan sekadar pekerja media; mereka adalah saksi mata sejarah, yang membayar dengan nyawanya agar cerita tentang Gaza tidak hilang ditelan propaganda.
Tetapi ironinya justru di sini: sejak Oktober 2023, lebih dari 240 jurnalis di Gaza terbunuh. Angka yang bahkan untuk konflik paling brutal sekalipun jarang ditemukan. Bandingkan dengan perang di Ukraina, di mana jumlah jurnalis yang terbunuh tak sampai dua puluh orang. Di Gaza, angka itu melonjak tak terkendali, menjadikan tanah sempit itu salah satu lokasi paling mematikan di dunia bagi profesi wartawan. Pertanyaan sederhananya: di mana suara kolektif komunitas jurnalis global atas tragedi ini?
Lucunya, ketika seorang jurnalis di Eropa dilecehkan, dunia pers internasional segera berteriak soal kebebasan pers yang terancam. Ketika seorang wartawan Barat dipenjara di Asia, headline internasional penuh dengan seruan solidaritas. Tapi ketika ratusan jurnalis Palestina dibantai satu demi satu, di rumah sakit, di tenda media, di jalanan yang sudah penuh puing, apa yang terdengar? Sunyi. Sepi. Bahkan media-media arus utama lebih sibuk mengutip pernyataan militer Israel yang “menyesalkan korban sipil” ketimbang menyoroti sistematisnya pembantaian para jurnalis di Gaza.
Satirinya adalah: jurnalis di luar Gaza tampak lebih takut kehilangan akses berita ketimbang kehilangan rekan sejawatnya. Mereka menulis dengan hati-hati, seolah kematian Mariam Abu Daqqa dan rekan-rekannya hanyalah “risiko profesi.” Padahal, mereka tahu, ini bukan risiko. Ini target. Ada laporan dari jurnalis Israel sendiri, Yuval Abraham, yang menyebutkan keberadaan Legitimization Cell—satuan intelijen khusus yang dibentuk untuk mencari alasan, menempelkan label, dan menciptakan legitimasi atas pembunuhan, termasuk terhadap jurnalis. Dengan kata lain, serangan ini tidak terjadi secara kebetulan. Ia dirancang, dipikirkan, dan dilaksanakan dengan penuh kesadaran.
Namun entah mengapa, sebagian besar media internasional memilih bungkam. Mereka membiarkan narasi militer Israel beredar tanpa tandingan yang memadai. Mereka, yang sehari-hari mengklaim sebagai penjaga demokrasi dan pembela kebebasan pers, justru larut dalam keheningan yang memalukan. Lebih peduli pada akses liputan eksklusif, lebih takut kehilangan akreditasi, ketimbang bersuara lantang atas pembunuhan rekan sejawat mereka di Gaza. Saya rasa, inilah puncak ironi: jurnalis yang masih hidup di luar Gaza seakan-akan ikut menguburkan kebenaran dengan diamnya.
Di Indonesia, kita mengenal pepatah, “diam berarti setuju.” Maka, apakah diamnya jurnalis internasional bisa ditafsirkan sebagai persetujuan diam-diam? Atau sekadar ketidakberanian menghadapi konsekuensi? Kalau begitu, bukankah itu pengkhianatan terhadap profesi sendiri? Karena bukankah inti profesi wartawan adalah berbicara ketika orang lain bungkam, dan menulis ketika orang lain memilih diam? Tetapi kini, justru jurnalis Palestina yang mempertaruhkan nyawa untuk menyuarakan kebenaran, sementara kolega mereka di luar Gaza sibuk menjaga “netralitas.” Netralitas macam apa yang masih bisa dibanggakan di tengah genangan darah?
Rudal tidak hanya menghantam tubuh para jurnalis. Rudal itu juga menghantam kredibilitas dunia pers. Apa gunanya Dewan Pers internasional, apa gunanya penghargaan-penghargaan bergengsi untuk kebebasan pers, bila saat ratusan jurnalis tewas dibunuh secara terang-terangan, dunia hanya menjawab dengan pernyataan lunak penuh eufemisme? Pernyataan yang lebih mirip basa-basi diplomatis ketimbang teriakan kemarahan.
Lebih menyakitkan lagi, tuduhan bahwa jurnalis yang terbunuh adalah “operatif Hamas” nyaris tak pernah dilawan dengan keras oleh media internasional. Padahal, tuduhan itu absurd, tak berdasar, dan hanya trik murahan untuk menjustifikasi pembunuhan. Kamera diperlakukan seperti senjata. Laptop dianggap seperti roket. Pena dipandang lebih berbahaya daripada tank. Dan media internasional, alih-alih membongkar absurditas ini, sering kali justru mengulang tuduhan itu tanpa bantahan berarti.
Sekarang mari kita refleksikan sedikit. Bila tragedi seperti ini terjadi di Jakarta, New York, atau Paris—jurnalis dibom saat bekerja di rumah sakit—reaksi dunia tentu berbeda. Demo akan pecah di mana-mana, kecaman keras akan mengalir deras. Tapi karena ini Gaza, karena korbannya Palestina, semua reaksi itu menyusut menjadi sekadar kalimat formal: “kami prihatin,” “kami sesalkan,” “kami akan investigasi.” Kalimat dingin yang sama sekali tidak menghapus noda darah di lantai rumah sakit.
Serangan ke rumah sakit bukan hal baru. Al-Shifa sudah jadi korban. Kini giliran Nasser. Esok siapa lagi? Semua bisa jadi target, sebab standar moral telah diruntuhkan. Israel berulang kali berdalih bahwa Hamas bersembunyi di fasilitas sipil. Tapi, logika apa yang membenarkan penghancuran rumah sakit hanya karena kemungkinan ada satu orang bersenjata? Andai logika itu diterapkan di Indonesia, bukankah berarti pasar, sekolah, bahkan masjid bisa dibom hanya karena ada satu buronan di sana? Kita semua tahu jawabannya: barbar, tidak masuk akal.
Namun, dunia tampaknya sudah terbiasa. Biasa melihat rumah sakit runtuh. Biasa mendengar jurnalis dibunuh. Biasa membaca bahwa “serangan sedang diinvestigasi.” Ke-biasa-an itulah yang paling berbahaya, karena ia mengikis kepekaan kita. Membuat tragedi besar terasa seolah hanya peristiwa rutin.
Jurnalis Gaza telah membayar harga paling mahal untuk kebenaran. Mereka tetap menulis meski lapar. Mereka tetap merekam meski bom jatuh di sekitar rumah. Mereka tetap menyiarkan meski tahu nama mereka mungkin jadi headline esok hari. Dan di luar Gaza, sebagian jurnalis justru sibuk menjaga jarak, seakan profesi ini hanya soal menulis kata-kata indah tanpa risiko nyata. Padahal, tanpa keberanian jurnalis Gaza, dunia mungkin tak akan pernah tahu bahwa anak-anak mati kelaparan, bahwa rumah sakit jadi sasaran, bahwa kebenaran dikubur di balik jargon “keamanan.”
Pada akhirnya, yang mati bukan hanya ratusan jurnalis itu. Yang mati juga adalah wibawa profesi ini di mata publik. Bila jurnalis di luar Gaza terus bungkam, maka publik berhak bertanya: apakah wartawan hanya berani bersuara ketika yang mati bukan rekannya sendiri? Apakah kebebasan pers hanya berlaku untuk mereka yang punya paspor biru atau hijau, bukan untuk mereka yang kebetulan lahir di Gaza?
Di Nasser Medical Complex, rudal menghantam tubuh, menghancurkan bangunan, dan mengubur harapan. Tapi lebih dari itu, ia juga memperlihatkan betapa rapuhnya solidaritas profesi jurnalis global. Kita, yang masih hidup dan bisa menulis, hanya punya dua pilihan: terus membiarkan kebenaran dikubur, atau menggali lagi dengan pena, meski penuh darah. Karena kalau jurnalis sendiri memilih diam, maka sesungguhnya mereka sedang menulis berita paling singkat dalam sejarah: “Kebenaran sudah mati.”
Sumber:
Pingback: Panggilan Terakhir Jurnalis Gaza: Ujian Sejati Media Dunia