Connect with us

Opini

Membongkar Siasat Licik Arab Terhadap Gaza

Published

on

Di tengah puing-puing yang belum sempat dibersihkan, Gaza kembali dibekap oleh wacana baru. Bukan dari Tel Aviv, bukan dari Washington, melainkan dari Kairo—ibukota yang dulu dibayangkan sebagai penjaga peradaban Arab, kini lebih mirip meja operasional bagi skenario-skenario absurd yang dibungkus sebagai inisiatif damai. Dalam sebuah wawancara yang belum tayang penuh, Menteri Luar Negeri Mesir dengan bangga menyatakan bahwa negaranya sedang melatih ratusan warga Palestina untuk mengambil alih tanggung jawab keamanan di Gaza pascaperang. Sebuah kalimat yang terdengar seperti bantuan, tapi terasa seperti jebakan.

Skenario yang sedang dijalankan begitu rapi, halus, dan berlapis. Di permukaan, semua tampak seperti langkah “stabilisasi.” Namun di balik itu, tersimpan upaya sistematis untuk merekayasa ulang struktur kekuasaan di Gaza. Tujuannya bukan kemerdekaan, bukan keadilan, apalagi keberpihakan pada rakyat yang menderita. Tujuannya sederhana tapi jahat: menjaga stabilitas regional versi para penguasa Arab, dan menjamin keamanan zionis lewat tangan-tangan Arab sendiri.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Langkah pertama dalam skenario ini adalah menyingkirkan Hamas secara perlahan. Bukan dengan serangan langsung, tapi dengan merongrongnya dari dalam—melalui pembentukan aparat tandingan yang dilatih di luar Gaza, di luar legitimasi rakyat. Dengan menggambarkan Hamas sebagai penghalang perdamaian, sebagai batu sandungan pembangunan, dan sebagai kelompok yang membahayakan stabilitas, legitimasi mereka coba dikikis dengan narasi teknokratik. Seolah-olah penyebab utama penderitaan Gaza adalah mereka yang bertahan, bukan mereka yang menyerang.

Tentu saja, ketika dua kubu kekuasaan dipaksakan hadir di tempat yang sama—yang satu memiliki legitimasi perlawanan, yang satu membawa mandat dari luar—benturan bukan hanya mungkin, tapi nyaris pasti. Maka jangan heran jika arah skenario ini menyiapkan panggung untuk potensi konflik horizontal. Sebuah perang saudara kecil-kecilan, yang bisa disulut kapan saja. Dengan tentara PA yang dilatih Mesir masuk ke Gaza, dengan perintah yang tak boleh ditolak, siapa yang bisa menjamin tidak akan ada peluru yang mengarah pada sesama rakyat sendiri? Ironis, bukan? Gaza yang selama ini dipaksa bertahan melawan zionis, kini diancam untuk diseret ke jurang perpecahan oleh saudara sebahasa.

Tapi drama ini belum selesai. Peran utama berikutnya jatuh pada Otoritas Palestina, yang selama ini sudah kehilangan sebagian besar kredibilitas di mata rakyat. Mereka sekarang didandani kembali, disulap menjadi wajah baru dari “pemerintahan sah Gaza”—bukan karena dipilih, tapi karena direstui. Bukan karena mewakili rakyat, tapi karena diterima di meja-meja konferensi. Mereka datang bukan sebagai solusi, tapi sebagai boneka politik. Dan seperti semua boneka, mereka hanya bergerak jika ada tali yang ditarik.

Bersamaan dengan itu, proyek rekonstruksi sebesar $53 miliar diluncurkan dengan iringan tepuk tangan. Tapi jangan tertipu. Ini bukan dana kemanusiaan. Ini adalah alat tekanan. Gaza ditawari pembangunan, tapi dengan syarat: senjata harus diserahkan, perlawanan harus dibungkam, dan otoritas yang “tepat” harus diberi tempat. Lihat betapa eloknya kolonialisme gaya baru ini: bukan dengan invasi militer, tapi lewat proposal pembangunan dan pelatihan aparat.

Sementara itu, jalur bantuan yang nyata—seperti perbatasan Rafah—tetap ditutup, dibatasi, dikontrol. Mesir bisa saja membuka gerbang itu kapan saja untuk menyalurkan bantuan. Tapi mereka memilih menjadikannya alat tawar. Rakyat Gaza yang kelaparan dipaksa menunggu persetujuan politik agar bisa mendapatkan sebotol air dan sekantung tepung. Solidaritas Arab, katanya. Tapi lebih tepat disebut kolaborasi terselubung.

Dalam semua ini, tampak jelas bahwa Mesir dan negara-negara Arab lainnya tidak sedang netral. Mereka bukan penengah. Mereka adalah bagian aktif dari skenario. Permintaan untuk melucuti senjata perlawanan, pembentukan aparat baru, dan pembatasan logistik bukanlah aspirasi Palestina. Itu adalah daftar keinginan zionis—hanya saja kini disampaikan dengan lidah Arab. Inilah puncak kemunafikan: membantu penjajah menyusun peta pascaperang, tapi menyebutnya upaya perdamaian.

Tak hanya itu, skenario ini juga menyasar lebih dalam: memotong koneksi Gaza dengan poros perlawanan yang lebih luas. Iran, Hizbullah, dan faksi-faksi anti-zionis lainnya dianggap ancaman. Bukan oleh zionis saja, tapi oleh negara-negara Arab konservatif yang alergi terhadap segala bentuk perlawanan bersenjata. Maka, mengganti struktur kekuasaan Gaza adalah cara halus untuk mencabut jantung perlawanan dari akarnya.

Dan seperti biasa, para pelaksana skenario ini tetap ingin tampil baik di mata Barat. Dengan menjadi bagian dari “solusi,” mereka berharap tetap mendapatkan bantuan ekonomi, simpati politik, dan pujian media internasional. Tak peduli jika dalam proses itu, Gaza kehilangan hak menentukan nasib sendiri. Yang penting, stabilitas ala mereka tetap terjaga. Dunia tetap tertipu. Dan penjajah tetap merasa aman.

Skenario ini bukan solusi. Ini adalah pembiusan kolektif yang dirancang oleh mereka yang berpura-pura peduli. Jika berhasil, Gaza akan kehilangan kendali atas masa depannya. Jika gagal, yang akan disalahkan tetap rakyat Gaza—karena menolak diserahkan pada penguasa boneka, karena memilih tetap melawan ketidakadilan, karena menolak tunduk pada diktat “saudara-saudaranya” sendiri.

Maka kita harus menyebutnya sebagaimana mestinya: sebuah pengkhianatan Arab yang dibungkus manis dan dijual atas nama perdamaian. Dan pengkhianatan semacam ini jauh lebih berbahaya daripada peluru. Sebab ia membunuh bukan hanya tubuh, tapi juga harapan, semangat, dan kepercayaan.

Rakyat Gaza tidak butuh pelatihan aparat. Mereka butuh dibebaskan dari pendudukan. Mereka tidak butuh proposal rekonstruksi yang dipakai untuk mengontrol mereka. Mereka butuh hak untuk menentukan masa depannya sendiri. Dan mereka, di tengah kehancuran, masih menyimpan keberanian yang tak bisa dihancurkan oleh jebakan apa pun—apalagi yang datang dari saudara yang menusuk dari belakang.

1 Comment

1 Comment

  1. Pingback: Negara Arab: Marah di Mimbar, Membisu di Gaza - vichara.id

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer