Connect with us

Opini

Membentuk Tentara Eropa: Niat Ada, Nyali Masih Ragu

Published

on

Kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa, Kaja Kallas dengan penuh keyakinan menyatakan bahwa membentuk pasukan militer independen bagi Uni Eropa adalah langkah berbahaya. Alasannya sederhana: nanti NATO bisa kebingungan. Sebab, bagaimana mungkin sekelompok tentara Eropa bisa tahu harus tunduk pada siapa? Apakah harus menurut pada perintah Eropa sendiri atau tetap mengacu pada bos besar di seberang Atlantik? Dilema besar.

Gagasan tentang tentara Eropa telah berulang kali muncul, tetapi selalu berakhir dengan kesimpulan yang sama: NATO masih terlalu sakti untuk ditinggalkan. Meskipun UE mengklaim ingin lebih mandiri, nyatanya mereka tidak cukup percaya diri untuk benar-benar melepaskan diri dari Washington. Seperti remaja yang ingin mandiri tapi masih minta uang jajan ke orang tua.

Kallas dengan cermat menjelaskan bahwa menciptakan struktur militer terpisah bisa mengakibatkan kebingungan dalam rantai komando. Tentu saja, hal ini menjadi mimpi buruk bagi birokrat Brussels yang terbiasa dengan keputusan panjang dan rapat-rapat tanpa ujung. Tentara yang menunggu perintah dari dua kubu bisa-bisa bingung sendiri, tidak tahu apakah harus menembak atau menunggu hasil voting parlemen UE.

Sebagai solusi, Eropa lebih memilih opsi yang lebih elegan: memperkuat industri pertahanan mereka sendiri tanpa mengganggu NATO. Dengan kata lain, UE ingin membeli lebih banyak senjata, tetapi tetap berada di bawah komando aliansi militer yang dikendalikan Washington. Sungguh langkah strategis yang brilian, di mana kemandirian berarti membeli lebih banyak produk dari paman Sam.

Namun, ada faktor lain yang membuat Eropa berpikir dua kali untuk bersikap lebih mandiri: Donald Trump. Sang mantan (dan mungkin calon) presiden AS dengan penuh semangat menyatakan bahwa Uni Eropa dibentuk untuk “menyusahkan Amerika Serikat.” Pernyataan ini tentu saja menyentak jiwa Eropa, yang selama ini menganggap dirinya sebagai mitra setia AS dalam berbagai konflik dan perang dagang.

Trump bahkan mengancam akan menaikkan tarif impor mobil Eropa sebesar 25%. Ini seperti hukuman bagi sekutu yang terlalu banyak mengeluh. UE pun panik, tetapi bukannya membalas dengan ancaman militer, mereka memilih jalur diplomasi khas Eropa: mengancam akan merespons “dengan tegas” jika tarif itu benar-benar diberlakukan. “Tegas” dalam konteks Eropa biasanya berarti lebih banyak pertemuan dan diskusi.

Di tengah ketegangan ini, pertanyaan yang seharusnya diajukan adalah: apakah Eropa benar-benar ingin menjadi kekuatan militer mandiri, atau mereka hanya ingin terlihat keren di hadapan pemilih mereka? Karena jika benar-benar serius, UE harus siap menanggung konsekuensi penuh dari membangun tentara sendiri: mengurangi ketergantungan pada AS dan bertindak tanpa perlu izin dari Pentagon.

Sayangnya, sejarah menunjukkan bahwa UE lebih nyaman bermain aman. Gagasan tentang kemandirian militer selalu berujung pada pernyataan diplomatis yang berbunga-bunga, tetapi tanpa eksekusi nyata. Setiap kali ada ancaman, mereka kembali berlindung di bawah sayap NATO, berharap bahwa Washington tidak benar-benar muak dengan ketergantungan mereka.

Ironisnya, jika AS benar-benar meninggalkan NATO atau menarik pasukannya dari Eropa, mungkin saat itulah UE akan benar-benar memikirkan pasukan militer sendiri. Tetapi selama Washington masih ada, selama Paman Sam masih sudi membayar tagihan keamanan, Eropa akan terus menari dalam dilema yang sama. Mandiri, tapi tetap dalam pelukan yang nyaman.

Jadi, apakah UE akan benar-benar membentuk tentaranya sendiri? Mungkin suatu hari nanti, setelah mereka menyelesaikan rapat-rapat panjang, mendapatkan konsensus dari semua anggotanya, dan tentu saja—mendapatkan izin tidak resmi dari AS. Sampai saat itu tiba, tentara Eropa tetap akan menjadi legenda yang terus dibahas, tetapi tidak pernah benar-benar lahir ke dunia nyata.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *