Connect with us

Opini

Media Mainstream: Alat Propaganda Barat yang Licik?

Published

on

Beberapa jurnalis dari media ternama di Inggris akhirnya buka suara. Mereka mengungkap betapa ruang redaksi bukan lagi tempat mencari kebenaran, melainkan pabrik pencetak propaganda pro-Zionis. BBC, Sky News, The Guardian, hingga The Times, semua terlibat. Mereka mengubah tragedi menjadi narasi yang menguntungkan Barat, dengan Palestina sebagai korban yang hanya pantas menjadi angka di statistik.

Seorang jurnalis Sky News mengaku frustrasi karena mereka melihat rekaman langsung dari Gaza, melihat darah, tubuh hancur, anak-anak yang menangis. Tapi mereka tak boleh menyebutnya sebagai “pembantaian.” Sebaliknya, mereka harus memastikan kata-kata seperti “insiden tragis” atau “konflik yang kompleks” tetap dominan. Kebenaran ada di depan mata, tapi tidak boleh masuk ke layar kaca.

Di The Guardian, para jurnalis bahkan menyusun spreadsheet besar untuk mendokumentasikan bagaimana redaksi mereka menjadi corong propaganda Israel. Berita yang menampilkan Palestina harus melalui sensor ketat. Kata “genosida” dilarang. Pernyataan pejabat Israel yang jelas-jelas bohong malah diberi ruang istimewa, tanpa ada keberanian untuk mempertanyakannya.

Di The Times, seorang jurnalis bercerita bahwa setiap laporannya yang mencoba memberi sedikit keadilan bagi Palestina langsung dipermak habis oleh editor. Jika dia menyebut “sejak Oktober 2023,” itu akan diganti menjadi “sejak serangan Hamas.” Mengapa? Karena fakta harus diatur agar selaras dengan kepentingan Barat. Jurnalisme? Itu cuma dongeng.

Media-media ini tahu bagaimana menyusun berita agar perang terlihat adil, meskipun kenyataannya tidak. Saat seorang anak Palestina dibunuh, judulnya menjadi “Anak tewas dalam serangan.” Tidak ada subjek pelaku. Tapi saat seorang Israel terluka, judulnya berubah menjadi “Militan Hamas menyerang warga sipil tak bersalah.” Kematian bisa dipilah sesuai kepentingan.

Para jurnalis ini bukan hanya menghadapi tekanan dari luar, tapi juga dari dalam. Mereka yang mencoba melawan arus dianggap “terlalu emosional” atau “kurang profesional.” Jika terlalu keras menyuarakan ketidakadilan, siap-siap kehilangan pekerjaan. Satu-satunya cara untuk bertahan di industri ini adalah dengan menjilat kekuasaan, atau setidaknya diam dan menikmati gaji bulanan.

Sementara itu, para eksekutif media duduk manis di ruang rapat, menghirup kopi mahal, sambil mendiskusikan bagaimana berita bisa lebih “menarik” tanpa mengganggu kepentingan bisnis. Tragedi di Gaza hanya angka untuk meningkatkan klik. Rasa kemanusiaan? Itu hanya akan mengurangi nilai saham. Inilah jurnalisme versi kapitalisme.

Ketika perang Ukraina terjadi, media Barat langsung memilih kubu. Warga Ukraina adalah pahlawan, sementara Rusia adalah iblis. Tidak perlu verifikasi, klaim dari Ukraina langsung diterima sebagai fakta. Tapi saat Palestina mengatakan bahwa mereka dibombardir tanpa ampun, media sibuk mencari pembenaran untuk agresi Israel. Standar ganda adalah prinsip utama mereka.

Jika seorang pejabat Zionis bicara, media mendengarkan dengan penuh takzim, mencatat setiap kata seolah itu wahyu. Tapi jika seorang warga Gaza menangis menceritakan bagaimana keluarganya dibunuh, dia hanya akan dianggap “sumber yang tidak bisa diverifikasi.” Jurnalisme objektif sudah mati, digantikan oleh propaganda yang dibungkus dengan kata-kata manis.

Publik sebenarnya tahu ada yang tidak beres, tapi media terus-menerus memberi mereka ilusi keseimbangan. Mereka memberi sedikit porsi berita tentang penderitaan Palestina, lalu menenggelamkannya dengan gelombang narasi pro-Israel. Dengan begitu, opini publik tetap bisa dikendalikan. Empati masyarakat bisa diatur sesuai pesanan.

Media arus utama kini bukan sekadar alat informasi, tetapi senjata politik. Mereka bukan hanya melaporkan berita, tetapi membentuk realitas sesuai kepentingan tuannya. Jika Anda masih percaya media ini netral, mungkin Anda juga percaya bahwa unicorn itu nyata dan Santa Claus akan datang membawa perdamaian di Timur Tengah.

Ironinya, media yang selalu berbicara tentang kebebasan pers justru menjadi alat penjajahan opini. Mereka mengajarkan dunia bahwa ada kemanusiaan kelas satu dan kelas dua. Warga Israel adalah korban yang harus dikasihani, sementara warga Palestina hanya statistik yang bisa diabaikan. Dunia menonton, dan media memastikan kebohongan ini terus berjalan tanpa gangguan.

Jika Orwell masih hidup, dia akan menulis sekuel 1984 dengan para eksekutif media ini sebagai Big Brother. Mereka tidak menggunakan tank atau bom untuk menguasai dunia, tetapi berita yang sudah diatur sedemikian rupa. Narasi adalah senjata, dan media adalah lengan propaganda yang siap membentuk pikiran kita sesuai pesanan Barat. Selamat menikmati sandiwara ini.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *