Connect with us

Opini

Masa Depan Gencatan Senjata Gaza: Harapan atau Ilusi?

Published

on

Seorang mantan negosiator Israel menyatakan bahwa rezim Netanyahu telah melewatkan dua peluang tahun lalu untuk mengamankan gencatan senjata di Gaza dan mempercepat pembebasan para sandera. Oren Setter, yang mengundurkan diri dari tim negosiasi pada Oktober tahun lalu, mengungkapkan bahwa kesempatan untuk mencapai kesepakatan muncul pada Maret dan Juli, namun tidak dimanfaatkan secara maksimal. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ada peluang, harapan untuk perdamaian justru terabaikan.

Pernyataan Setter langsung dibantah oleh kantor Perdana Menteri Netanyahu, yang menyebut klaimnya tidak berdasar. Netanyahu sendiri menghadapi kritik keras dari oposisi dan keluarga para sandera yang menuduhnya lebih mementingkan kepentingan politiknya dibanding keselamatan warganya. Mereka menilai pemerintahannya sengaja menghambat negosiasi yang dimediasi oleh AS, Qatar, dan Mesir demi mempertahankan posisinya, menguatkan pandangan bahwa gencatan senjata lebih merupakan ilusi ketimbang kenyataan.

Dalam pernyataannya, kantor Netanyahu menegaskan bahwa tanpa sikap kerasnya, setidaknya setengah dari para sandera yang masih hidup tidak akan dibebaskan dalam fase pertama gencatan senjata saat ini. Mereka juga menuding Hamas sebagai penyebab utama keterlambatan negosiasi, mengklaim bahwa kelompok tersebut menolak terlibat dalam dialog selama berbulan-bulan. Namun, justifikasi ini semakin memperjelas bahwa kepentingan politik lebih diutamakan dibanding solusi nyata untuk perdamaian.

Namun, klaim tersebut dibantah oleh Hamas. Tiga minggu setelah serangan 7 Oktober, pemimpin Hamas di Gaza, Yahya Sinwar, telah menyatakan kesiapannya untuk pertukaran tahanan secara menyeluruh. Hamas menawarkan kesepakatan semua untuk semua, di mana seluruh tahanan Palestina dibebaskan sebagai imbalan bagi semua sandera yang ditahan oleh kelompok perlawanan. Ini menunjukkan bahwa ada celah untuk harapan, meskipun realitas politik tetap menjadi penghalang utama.

Selain itu, juru bicara militer Hamas, Abu Obeida, menyebutkan bahwa lebih dari lima puluh sandera telah tewas akibat serangan udara Israel. Ini mengindikasikan bahwa strategi militer yang diterapkan oleh rezim Netanyahu justru memperburuk keadaan dan semakin memperumit upaya diplomasi yang bisa mengakhiri konflik lebih cepat. Fakta ini memperlihatkan bagaimana gencatan senjata yang diharapkan hanya menjadi narasi semu di tengah kepentingan strategis.

Sementara itu, seorang pejabat Hamas mengatakan kepada Al Mayadeen bahwa zionis dengan sengaja menggagalkan kesepakatan gencatan senjata. Pejabat tersebut menilai bahwa pernyataan-pernyataan pemerintah Netanyahu menunjukkan kurangnya niat untuk berkomitmen pada perjanjian jangka panjang. Mereka percaya bahwa rezim Netanyahu hanya menggunakan gencatan senjata sebagai taktik sementara sebelum kembali meningkatkan agresi, yang menegaskan bahwa harapan perdamaian masih jauh dari kenyataan.

Media Israel juga melaporkan bahwa delegasi Israel yang dikirim ke Qatar tidak memiliki wewenang penuh dalam negosiasi, yang menegaskan bahwa Netanyahu tidak benar-benar berniat melanjutkan kesepakatan yang dapat mengarah pada gencatan senjata permanen. Hal ini semakin menguatkan dugaan bahwa pemimpin zionis hanya berupaya memperpanjang konflik dengan alasan keamanan, memperlihatkan bagaimana gencatan senjata lebih condong ke arah ilusi dibanding solusi nyata.

Gencatan senjata yang berlangsung saat ini berada dalam kondisi rapuh. Jika Netanyahu tetap mengedepankan kepentingan politik pribadinya, bukan tidak mungkin perang akan berkobar kembali dalam beberapa bulan ke depan. Sebaliknya, jika tekanan internasional semakin kuat, ada kemungkinan terbentuknya kesepakatan yang lebih kokoh meski dengan syarat yang sulit. Namun, apakah tekanan ini cukup untuk mengubah ilusi menjadi harapan?

AS, sebagai mediator utama, memegang peran penting dalam menentukan arah gencatan senjata ini. Jika Washington benar-benar ingin menciptakan perdamaian, mereka harus menekan Netanyahu untuk berkomitmen pada perundingan yang lebih serius. Tanpa tekanan nyata, negosiasi hanya akan menjadi formalitas yang tidak menghasilkan solusi konkret, semakin mempertegas bahwa harapan untuk gencatan senjata masih rapuh.

Ada kemungkinan besar bahwa jika situasi terus memburuk, kelompok perlawanan lain seperti Hizbullah atau Iran akan meningkatkan keterlibatan mereka dalam konflik ini. Hal ini bisa memicu perang yang lebih besar di kawasan, yang tentunya akan semakin memperburuk kondisi kemanusiaan di Gaza dan sekitarnya. Eskalasi semacam ini bukan hanya ancaman bagi Palestina tetapi juga bagi kestabilan Timur Tengah, memperlihatkan bahwa gencatan senjata yang berkelanjutan masih berada dalam bayang-bayang ilusi.

Gencatan senjata ini lebih menyerupai jeda daripada langkah menuju perdamaian yang sebenarnya. Ketika berbagai pihak masih saling menyalahkan dan menolak mengambil tanggung jawab, harapan untuk gencatan senjata yang berkelanjutan semakin menipis. Dunia internasional harus lebih tegas dalam menekan pihak-pihak yang menghambat perundingan agar tragedi kemanusiaan ini tidak terus berulang. Jika tidak, maka gencatan senjata ini hanyalah ilusi sesaat sebelum konflik kembali meletus.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *