Connect with us

Opini

Manual Pembelaan Israel: Hamas dan Antisemitisme

Published

on

Di sebuah ruangan ber-AC dengan lampu kamera menyala terang, seorang pejabat Israel berdiri penuh percaya diri. Dengan suara lantang ia menyebut laporan lembaga pangan dunia tentang kelaparan di Gaza sebagai “fabricated.” Katanya, laporan itu bohong, dibuat-buat, dan—tentu saja—dikerjakan atas perintah Hamas. Ironisnya, tuduhan itu terlontar di saat rumah sakit di Gaza melaporkan sepuluh kematian baru akibat kelaparan, termasuk dua anak kecil. Seolah-olah dunia diminta mempercayai retorika konferensi pers ketimbang tubuh kurus yang tinggal tulang belulang.

Sudah jadi pola baku. Sebuah textbook pembelaan yang siap digunakan kapan saja. Begitu ada tudingan kejahatan perang, tuduhan itu otomatis dijawab dengan dua kartu sakti: pertama, semua laporan kemanusiaan adalah propaganda Hamas; kedua, siapa pun yang berani bersuara kritis dianggap antisemit. Itu saja. Seperti template dalam komputer—klik sekali, langsung keluar respons standar. Masalahnya, template itu semakin terlihat absurd bagi mereka yang masih punya nalar jernih.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Mari kita lihat faktanya. Integrated Food Security Phase Classification (IPC), lembaga yang selama ini dianggap “gold standard” dalam analisis kerawanan pangan, menyebut ada 500.000 orang di Gaza sudah jatuh dalam kategori kelaparan. Angka itu diprediksi membengkak jadi 641.000 sebelum akhir September. Laporan lain mencatat 313 orang telah mati karena kelaparan, 119 di antaranya anak-anak. Dan di hari pejabat Israel berteriak “laporan bohong,” rumah sakit Gaza mengumumkan tambahan korban kelaparan baru. Bagaimana mungkin itu semua disapu bersih hanya dengan satu kalimat: “ini propaganda Hamas”?

Kalau benar semua lembaga internasional—PBB, WFP, IPC, WHO—adalah corong Hamas, maka Hamas seolah-olah punya kantor cabang di Roma, New York, Jenewa, bahkan di setiap organisasi kemanusiaan dunia. Ironi yang pahit, tapi juga lucu dalam absurditasnya. Sebab semua orang tahu, yang punya kekuatan melobi, mengancam pendanaan, bahkan menekan negara-negara Barat, jelas bukan Gaza yang terkepung.

Ada semacam keangkuhan yang menolak fakta. Israel menyebut mereka tidak punya “kebijakan kelaparan,” sambil menunjukkan angka truk bantuan yang katanya dibiarkan masuk. Angka itu pun dilempar tanpa konteks: truk memang ada, ribuan bahkan, tapi dibiarkan menumpuk di perbatasan. Dari 6.000 truk, hanya sebagian kecil yang diizinkan lewat. Itupun dengan daftar panjang barang yang dilarang masuk—daging, ikan, telur, susu, hingga vitamin untuk ibu hamil. Persis seperti menaruh sepotong roti di depan orang lapar, lalu berkata: lihat, kami sudah memberi makan.

Absurdnya lagi, ketika dunia internasional lewat Dewan Keamanan PBB menyatakan kelaparan di Gaza adalah “manmade crisis”—krisis buatan manusia—Israel justru menuntut IPC mencabut laporan. Seolah-olah pencabutan laporan bisa mengenyangkan perut anak-anak Gaza. Seolah-olah yang mati karena lapar akan hidup kembali hanya karena ada klarifikasi pers. Ini bukan sekadar pengingkaran fakta; ini manipulasi kenyataan.

Kita di Indonesia sebenarnya tak asing dengan pola ini. Kita tahu betapa mudahnya pejabat mengalihkan kritik dengan label-label ajaib. Si pengkritik disebut oposisi, kadrun, atau antek asing. Di sana, labelnya berbeda tapi logikanya sama: siapa pun yang membuka aib disebut “propaganda Hamas.” Bedanya, yang dipertaruhkan bukan sekadar citra politik, tapi hidup mati jutaan manusia yang terkepung.

Dan kartu kedua, antisemitisme, selalu diselipkan bila kritik datang dari Barat. Politisi, jurnalis, akademisi—semua harus ekstra hati-hati agar tidak dicap antisemit, meski yang mereka kritik adalah kebijakan rezim, bukan agama. Dengan begitu, perdebatan bergeser: dari soal kejahatan perang menjadi soal moralitas pengkritik. Hasilnya, banyak orang memilih diam ketimbang menghadapi stigma. Diam, padahal anak-anak Gaza mati bukan karena rudal, melainkan karena perut kosong.

Saya rasa inilah absurditas paling getir: fakta bisa ditutup-tutupi, tapi aroma busuk penyangkalan itu makin hari makin menusuk. Dunia sudah melihat anak-anak Gaza mencari sisa gandum di tanah, ibu-ibu memasak sup dari rumput, dan keluarga-keluarga yang kehilangan tenaga karena berhari-hari tak makan. Gambar itu tidak dibuat di studio Hamas, tapi direkam wartawan internasional, aktivis kemanusiaan, bahkan relawan yang tak punya afiliasi politik apa pun. Mustahil semua itu sekadar “propaganda.”

Kalau mau jujur, Israel sedang memainkan strategi yang sangat tua: membalik tuduhan. Orang Jawa menyebutnya “ngeles,” dalam bentuk paling ekstrem. Daripada menjawab substansi, mereka sibuk menyerang kredibilitas lawan. Dan anehnya, strategi ini sering berhasil—selama ada satu negara superpower yang siap memasang veto di PBB. Tapi kita semua tahu, legitimasi yang dipelihara dengan veto dan propaganda pada akhirnya rapuh.

Kelaparan di Gaza bukan bencana alam. Bukan gagal panen. Bukan badai atau gempa. Ia hasil kalkulasi politik yang sadar, terukur, dan disengaja. Ada keputusan untuk menutup perbatasan. Ada daftar panjang barang yang dilarang masuk. Ada strategi militer yang secara sistematis menghancurkan infrastruktur pangan. Dan ketika laporan internasional menuliskannya dengan jelas, jawabannya hanya dua: “Hamas” dan “antisemitisme.”

Saya tak tahu, apakah para pejabat Israel benar-benar percaya pada retorika mereka sendiri, atau sekadar menggunakannya sebagai tameng. Tapi bagi kita yang menyaksikan dari jauh, absurditas itu sudah terlalu telanjang untuk disembunyikan. Sama seperti orang yang memegang segelas air sambil berkata: “Saya tidak minum.” Kita hanya bisa tersenyum getir, sembari mengingat bahwa bagi rakyat Gaza, ini bukan lelucon. Ini soal hidup dan mati.

Dan mungkin, justru di situlah bahaya terbesar dari textbook pembelaan ini. Karena dengan mengulang pola “Hamas” dan “antisemitisme” tanpa henti, mereka berharap dunia akan bosan dan berhenti peduli. Padahal, setiap kali satu anak mati karena lapar, setiap kali satu keluarga terpaksa menggali tanah untuk mencari makanan, kebenaran justru semakin keras berteriak.

Kelaparan tidak bisa ditutupi dengan konferensi pers. Kematian tidak bisa dibantah dengan retorika. Dan absurditas textbook Israel itu, cepat atau lambat, akan runtuh di hadapan fakta yang tak terbantahkan. Sebab pada akhirnya, sejarah hanya punya dua kategori: mereka yang menutup mata di tengah penderitaan, dan mereka yang berani bersuara meski dilabeli macam-macam.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer