Opini
Manipulasi Geopolitik G7: Iran Disudutkan, Israel Dilindungi

Pada malam yang sunyi di akhir Juni 2025, pernyataan resmi G7 menyentak perhatian dunia. Mereka menyatakan dukungan penuh terhadap Israel dan mengafirmasi “hak membela diri” sambil menyebut Iran sebagai sumber utama ketidakstabilan di Timur Tengah. Dalam nada tegas, Iran disebut sebagai dalang teror dan potensi ancaman nuklir yang harus dihentikan. Tapi, benarkah tuduhan itu mencerminkan kenyataan?
Pernyataan itu terasa seperti tamparan—bukan hanya untuk Iran, tetapi juga bagi siapa pun yang masih mempercayai adanya keadilan dan objektivitas dalam tatanan dunia. Di balik deklarasi itu, muncul kegelisahan: mengapa narasi internasional sedemikian bias? Mengapa fakta yang lebih kompleks justru ditekan atau diabaikan, seolah kepentingan geopolitik lebih penting daripada kebenaran?
Sehari sebelum pernyataan G7, Rafael Grossi, Direktur Jenderal Badan Energi Atom Internasional (IAEA), menyampaikan pernyataan yang seolah berseberangan. Dalam wawancara dengan CNN, Grossi menyatakan bahwa tidak ada bukti bahwa Iran secara aktif mengembangkan senjata nuklir. Ucapan ini diperkuat dalam laporan The Cradle, yang menegaskan bahwa IAEA tidak menemukan tanda-tanda program bom nuklir aktif di Iran. Bahkan laporan intelijen AS pada Maret 2025 menyatakan bahwa Iran belum menunjukkan niat maupun kemampuan aktual menuju senjata nuklir.
Jika demikian, mengapa G7 tetap mengeluarkan pernyataan keras terhadap Iran? Mengapa serangan Israel pada Jumat pagi itu, yang menewaskan lebih dari 220 orang di Iran—sebagian besar dari mereka adalah warga sipil—tidak disebut sebagai eskalasi, melainkan sebagai “langkah preventif”? Sementara itu, korban sipil akibat serangan balasan Iran di Israel, yang dilaporkan berjumlah 24 orang, justru menjadi fokus sorotan.
Ketimpangan ini tidak bisa dipandang sebagai kekeliruan biasa. Ini adalah bagian dari pola framing global yang cenderung menyudutkan negara tertentu sembari menutupi agresi negara lain yang dianggap sekutu. Dalam hal ini, G7—dengan Amerika Serikat sebagai pemimpin informalnya—seolah melanggengkan narasi geopolitik yang selektif, di mana keadilan hanya berlaku bagi yang berada dalam lingkaran persekutuan.
Situasi ini mengingatkan kita pada tahun 2003, saat AS menuduh Irak memiliki senjata pemusnah massal. Tuduhan itu kemudian terbukti tidak berdasar, tetapi kerusakan telah terjadi: invasi dilancarkan, Irak hancur, dan jutaan nyawa melayang. Kini, pola serupa tampaknya berulang, kali ini dengan Iran sebagai sasaran.
Di Indonesia, kita merasakan imbas dari konflik Timur Tengah ini secara nyata, meskipun jauh dari lokasi kejadian. Sebagai negara pengimpor minyak, setiap eskalasi di wilayah Teluk selalu berdampak pada perekonomian domestik. Kenaikan harga minyak global memicu inflasi, dan rakyat kecil yang paling merasakan tekanannya. Dalam konteks ini, ketika G7 menyatakan ingin “menjaga stabilitas pasar energi,” pernyataan itu terdengar ironis. Bagaimana bisa stabilitas terjaga jika tindakan mereka justru memicu ketegangan?
Pada tahun 2019, saat hubungan AS dan Iran memanas, kita melihat langsung efeknya. Harga bahan bakar di Indonesia melonjak. Antrian panjang di SPBU, keluhan masyarakat, dan tekanan terhadap APBN menunjukkan betapa rapuhnya posisi negara berkembang di tengah turbulensi global. Kita seperti penonton dalam drama geopolitik, tapi ironisnya, kita juga harus membayar harga tiketnya.
Ada satu ironi yang lebih mencolok dalam konflik ini: Israel, satu-satunya negara di Timur Tengah yang diduga memiliki senjata nuklir, bukan anggota Traktat Non-Proliferasi Nuklir (NPT). Sementara itu, Iran yang menjadi anggota resmi NPT dan tunduk pada inspeksi berkala dari IAEA, justru disudutkan tanpa bukti konkret. Mengapa dunia internasional begitu diam terhadap Israel, tetapi begitu keras terhadap Iran?
Iran sendiri berulang kali menyatakan bahwa program nuklirnya ditujukan untuk kepentingan damai, terutama di bidang energi dan medis. Klaim ini, selama bertahun-tahun, terus diaudit dan diawasi oleh IAEA. Namun, narasi global tetap saja condong pada asumsi: bahwa Iran pasti punya niat buruk. Narasi seperti ini bukan hanya tidak adil, tapi juga berbahaya. Ia menjustifikasi serangan militer atas dasar ketakutan yang dibentuk, bukan fakta.
Di sisi lain, mantan Presiden AS Donald Trump kembali muncul dalam diskursus publik. Melalui media sosial, ia memuji serangan Israel sebagai “langkah luar biasa” dan bahkan menyerukan evakuasi warga Tehran. Ironisnya, di saat yang sama, ia juga menyebut perlunya “kembali ke meja perundingan” soal kesepakatan nuklir Iran. Pesan yang saling bertentangan ini memperlihatkan inkonsistensi bahkan di tingkat elit AS sendiri. Apakah yang diinginkan: damai atau perang?
Jajak pendapat terbaru yang dilakukan YouGov menunjukkan bahwa sekitar 60 persen warga AS menolak intervensi militer dalam konflik Iran-Israel. Ini menunjukkan bahwa masyarakat sipil masih memiliki kesadaran kritis dan trauma kolektif terhadap kebijakan luar negeri yang destruktif, seperti yang terjadi di Irak dan Afghanistan. Namun, suara rakyat tampaknya kalah oleh kepentingan lobi dan elite politik.
Dalam laporan The Cradle disebutkan pula bahwa terdapat spekulasi Israel mendorong AS untuk menyerang fasilitas nuklir Iran di Fordow, yang terletak jauh di bawah tanah dan sangat sulit ditembus. Jika serangan semacam ini benar-benar terjadi, konsekuensinya bisa sangat serius. Konflik besar akan meletus, jalur distribusi minyak terganggu, dan krisis ekonomi global berpotensi terjadi. Indonesia, yang sebagian besar kebutuhannya masih bergantung pada impor energi, akan kembali terpukul. Harga kebutuhan pokok bisa melonjak, dan stabilitas sosial bisa terganggu.
Namun yang paling menyakitkan adalah perasaan tak berdaya. Kita hanya bisa menyaksikan negara-negara besar memainkan catur geopolitik dengan nyawa manusia sebagai bidaknya. Negara-negara kecil seperti Indonesia hanya bisa berharap agar dampaknya tak terlalu parah. Tapi harapan tanpa posisi aktif hanyalah keputusasaan yang ditunda.
Situasi ini memanggil kita untuk berefleksi lebih dalam. Di manakah posisi keadilan dalam dunia yang dibentuk oleh kekuatan, bukan oleh prinsip? Mengapa lembaga-lembaga internasional seperti IAEA diabaikan ketika temuannya tidak sesuai dengan kepentingan negara-negara kuat? Dan sebagai bagian dari komunitas global, apa yang bisa kita lakukan?
Indonesia memiliki sejarah panjang dalam diplomasi yang independen dan bermartabat. Konferensi Asia-Afrika 1955 di Bandung adalah contoh konkret bahwa negara-negara nonblok bisa bersatu untuk menyerukan perdamaian dan keadilan. Di era modern, semangat Bandung itu masih relevan. Tapi relevansi hanya bisa hidup jika ditindaklanjuti dengan sikap politik yang jelas.
G7, dalam pernyataan yang sama, menyerukan de-eskalasi di Gaza dan mendorong gencatan senjata. Namun bagaimana mungkin seruan damai bisa dipercaya jika disertai dengan dukungan eksplisit terhadap serangan yang menewaskan ratusan warga sipil? Pernyataan mereka kehilangan makna, seperti menyalakan api lalu menyerukan padam.
Ini bukan sekadar kontradiksi. Ini adalah krisis moral. Dunia tidak sedang kekurangan wacana damai, tetapi kekurangan keberanian untuk berlaku adil. Kita melihat bagaimana kekuatan besar menentukan arah dunia, sering kali tanpa memperhitungkan nyawa, martabat, dan kepentingan negara-negara yang lebih lemah.
Sebagai warga dunia, kita tidak bisa terus menerus menjadi penonton. Di tengah manipulasi narasi dan arus informasi yang dikendalikan, kita masih punya satu kekuatan: mempertanyakan. Mempertanyakan narasi yang dipaksakan, mempertanyakan kebenaran yang dikaburkan, dan mempertanyakan keputusan-keputusan yang merenggut nyawa tanpa pertanggungjawaban.
Indonesia, dengan sejarah perjuangan dan semangat solidaritasnya, tidak selayaknya hanya menjadi korban pasif. Kita pernah berdiri untuk Palestina, kita pernah menolak ketidakadilan global. Kini saatnya kembali menemukan suara itu. Karena dunia yang lebih adil tidak akan datang dengan sendirinya. Ia hanya mungkin hadir jika kita bersedia menolak menjadi penonton dan mulai menjadi bagian dari perubahan.