Connect with us

Opini

Mahasiswa Guncang Hegemoni, Israel Panik!

Published

on

The University of Amsterdam dan University of Milan telah membuat keputusan yang mengejutkan bagi sebagian orang, tetapi sepenuhnya logis bagi mereka yang memiliki akal sehat: mereka menghentikan kerja sama akademik dengan institusi Israel. Tentu saja, ini bukan hasil dari tekanan belaka, melainkan buah dari kesadaran. Kesadaran bahwa institusi akademik Israel bukanlah sekadar tempat belajar, tetapi bagian dari sistem kolonial yang menindas Palestina.

Di Eropa dan Amerika Serikat, mahasiswa dan akademisi mulai menggoyahkan hegemoni narasi pro-Israel. Hegemoni yang selama ini dibangun dengan uang lobi, tekanan politik, dan dogma historis yang dipaksakan. Antonio Gramsci pasti tersenyum dari kuburnya. Kaum intelektual organik kini bangkit, melawan dominasi narasi kolonial yang selama ini dijaga oleh negara-negara Barat.

Tetapi seperti biasa, negara-negara pro-Israel seperti Jerman tak akan tinggal diam. Mereka akan menekan, membungkam, dan meneror siapa saja yang berani menyuarakan kebenaran tentang Gaza. Demonstrasi dilarang, aktivis dikriminalisasi, dan media dipaksa tunduk. Inilah contoh nyata bagaimana teori hegemoni Gramsci bekerja: kelas penguasa mempertahankan dominasinya dengan segala cara, bahkan dengan represi yang mencolok.

Namun, mahasiswa tidak bodoh. Mereka paham bahwa segala bentuk represi hanyalah tanda bahwa mereka berada di jalur yang benar. Teori gerakan sosial menjelaskan bagaimana kelompok-kelompok yang sadar akan ketidakadilan mampu membangun solidaritas, memobilisasi sumber daya, dan mengguncang status quo. Inilah yang sedang terjadi di berbagai kampus. Mahasiswa dan akademisi telah menyalakan api perlawanan yang tak akan mudah dipadamkan.

Universitas bukan lagi tempat yang nyaman bagi para penjilat kolonialisme. Mahasiswa membangun kamp-kamp protes, menguasai ruang publik, dan menjadikan institusi akademik sebagai medan pertempuran gagasan. Mereka adalah norm entrepreneurs, pencipta norma baru dalam politik global. Jika dulu mendukung Palestina dianggap kontroversial, kini sebaliknya: mendukung Israel justru menjadi aib.

Dan inilah yang ditakuti para penguasa. Perubahan norma adalah ancaman nyata bagi kepentingan mereka. Konstruktivisme dalam hubungan internasional mengajarkan bahwa realitas politik dibentuk oleh gagasan, bukan hanya kekuatan militer atau ekonomi. Ketika mahasiswa berhasil mengubah persepsi global tentang Palestina, maka legitimasi Israel akan runtuh. Itulah sebabnya mereka mencoba mencegah perubahan ini dengan segala cara.

Namun, semakin mereka menekan, semakin besar pula gelombang perlawanan. Para mahasiswa tidak akan mundur. Mereka memahami bahwa universitas-universitas Israel bukanlah institusi akademik netral, melainkan alat dari rezim pendudukan. Hebrew University memiliki hubungan erat dengan militer Israel, mendukung operasi yang menindas rakyat Palestina. Tidak ada alasan bagi institusi akademik yang beretika untuk tetap bekerja sama dengan mereka.

Jika universitas di Eropa mulai bergerak, bagaimana dengan Amerika Serikat? Negeri yang konon menjunjung kebebasan berpendapat itu kini harus menghadapi kenyataan bahwa gerakan mahasiswa yang mendukung Palestina semakin berkembang. Jika dulu kampus-kampus elite seperti Harvard dan Columbia dikuasai oleh lobi pro-Israel, kini mulai muncul perlawanan yang tak bisa diabaikan.

Tapi jangan salah, pemerintah AS tetap berusaha menekan gerakan ini. Mereka menggunakan segala cara, dari pencemaran nama baik hingga intimidasi akademik. Inilah bentuk nyata dari teori ketergantungan: negara-negara Barat, termasuk AS, terlalu bergantung pada Israel dalam berbagai aspek, mulai dari teknologi hingga strategi militer. Mereka tidak akan dengan mudah membiarkan gerakan mahasiswa mengguncang hubungan tersebut.

Namun, gerakan ini bukan sekadar perlawanan terhadap dominasi Israel. Ini adalah perlawanan terhadap neokolonialisme secara keseluruhan. Postkolonialisme menjelaskan bagaimana sisa-sisa kolonialisme masih mengakar dalam sistem global, dan Israel adalah salah satu contohnya. Keberadaannya sebagai negara kolonial modern didukung oleh negara-negara Barat yang masih ingin mempertahankan kontrol atas Timur Tengah.

Edward Said telah lama mengingatkan bahwa Barat selalu membingkai Palestina dalam narasi yang bias. Israel digambarkan sebagai korban, sementara Palestina selalu disebut sebagai ancaman. Tapi mahasiswa kini telah belajar membaca propaganda ini. Mereka membongkar mitos-mitos kolonial yang selama ini dijadikan alat untuk membenarkan penjajahan. Dengan media sosial dan jaringan global, mereka membangun kontra-narasi yang semakin kuat.

Dan hasilnya? Kepanikan di pihak pendukung Israel. Mereka mulai kehilangan kendali atas opini publik. Negara-negara seperti Jerman dan Prancis berusaha menekan gerakan ini dengan dalih antisemitisme, tapi tak lagi semudah dulu. Generasi muda telah melihat dengan mata kepala sendiri apa yang terjadi di Gaza. Mereka tahu bahwa yang terjadi bukan sekadar konflik, tapi genosida yang didukung oleh negara-negara Barat.

Akhirnya, apa yang dilakukan oleh University of Amsterdam dan University of Milan hanyalah permulaan. Ini bukan puncak dari perjuangan, melainkan langkah awal menuju perubahan besar. Boikot akademik terhadap Israel bukan hanya bentuk solidaritas terhadap Palestina, tapi juga simbol perlawanan terhadap sistem global yang korup dan tidak bermoral.

Dunia akademik seharusnya menjadi tempat bagi kebenaran, bukan alat bagi penjajahan. Jika universitas-universitas lain masih berdiam diri, itu hanya akan menunjukkan bahwa mereka tidak lebih dari perpanjangan tangan para kolonialis. Mahasiswa telah memberi contoh bahwa kesadaran moral lebih kuat daripada represi. Kini tinggal menunggu apakah para pemimpin akademik akan berpihak pada keadilan atau tetap menjadi budak sistem yang menindas.

Gerakan ini tidak akan berhenti di sini. Selama Israel masih menindas Palestina, selama kampus-kampus di Barat masih terlibat dalam sistem kolonialisme akademik, mahasiswa akan terus melawan. Mereka telah membuka jalan bagi perubahan, dan sejarah akan mencatat bahwa mereka ada di pihak yang benar.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *