Opini
Mafia Tanah dan Luka Kolektif Kita

Pernah dengar istilah “mafia tanah”? Ini bukan sekadar istilah dramatis dalam pemberitaan, melainkan kenyataan pahit yang merampas mimpi dan martabat masyarakat kecil. Ambil contoh Mbah Tupon di Bantul, Yogyakarta—seorang lansia buta huruf yang tiba-tiba kehilangan tanah warisan hidupnya. Tanah yang ia pijak seumur hidup dijadikan jaminan pinjaman Rp1,5 miliar, tanpa pernah merasa menjualnya. Tanda tangan diminta tanpa penjelasan, dan ia percaya karena yang meminta adalah tokoh masyarakat yang ia hormati. Kepercayaan itu berubah menjadi jerat.
Kisah Mbah Tupon bukan satu-satunya. Ini adalah potret dari luka kolektif yang menimpa masyarakat awam yang tak punya kuasa menghadapi sindikat terorganisir. Mafia tanah bukan pelaku iseng. Mereka paham celah hukum, lihai dalam manipulasi dokumen, dan kerap berkolusi dengan oknum pejabat. Ini bukan kejahatan biasa, ini pengkhianatan terhadap kepercayaan dan keadilan.
Pada 2020, Mbah Tupon menjual sebagian tanahnya secara sah. Namun, ketika pada 2024 ia ingin memecah sertifikat untuk anak-anaknya, ia mendapati sertifikatnya telah beralih nama ke orang lain: Inda Batmawati. PNM Modal Ventura, penerima tanah tersebut sebagai jaminan, bahkan sudah menjadwalkan lelang. Mbah Tupon dan keluarganya terpukul. Bagi mereka, tanah bukan sekadar aset, melainkan warisan identitas dan simbol harga diri.
Data memperlihatkan betapa masifnya praktik ini. Di Grobogan, seorang pengusaha berinisial DB memalsukan dokumen untuk menguasai tanah PT Alif, dengan nilai kerugian Rp3,41 triliun. Di Semarang, tanah kavel fiktif merugikan pembeli hingga Rp1,8 miliar. Di Bekasi, lima tersangka memalsukan akta jual beli untuk menipu korban senilai Rp4 miliar. Bahkan, satu surat tanah diduplikasi menjadi 39 sertifikat palsu, merugikan 37 korban hingga Rp3,9 triliun.
Kementerian ATR/BPN mencatat 392 kasus mafia tanah antara 2019 hingga 2024. Modusnya paling sering adalah pemalsuan dokumen (66,7%), penipuan (15,9%), dan pendudukan ilegal (11%). Angka-angka ini bukan sekadar statistik. Ini adalah cerita penderitaan yang menyasar kelompok paling rentan.
Laporan investigasi dari Metro TV dan Tempo.co mengungkap bagaimana mafia tanah bekerja. Mereka tidak hanya mencuri secara diam-diam, tetapi juga memanipulasi proses legal secara sistematis. Dalam kasus Mbah Tupon, tidak ada notaris yang hadir saat penandatanganan, tidak ada penjelasan tertulis, dan janji-janji kosong menjadi alat manipulasi. Hukum yang seharusnya melindungi justru memberi celah untuk penipuan terjadi.
Pemerintah sejatinya tidak tinggal diam. Satgas Anti Mafia Tanah dibentuk oleh Kementerian ATR/BPN bersama kepolisian dan kejaksaan. Pada 2023, 62 dari 86 target kasus diselesaikan, 159 tersangka ditangkap, dan kerugian Rp13,29 triliun berhasil dicegah. Digitalisasi lewat program PTSL dan Hak Tanggungan Elektronik (HTL) juga dijalankan. Dalam kasus Mbah Tupon, BPN DIY memblokir sertifikat untuk mencegah lelang.
Namun, pertanyaannya tetap: apakah ini cukup? Proses hukum kerap lambat, tersendat birokrasi, dan dalam banyak kasus, tersangkut di jaring kolusi. Pada 2021, BPN mengakui ada 125 pegawainya yang terlibat mafia tanah, dengan sanksi beragam. Jika aparat internal ikut bermain, kepercayaan publik pun terkikis.
Masalah utamanya adalah paradigma hukum kita yang terlalu formalistik. Seperti disoroti pengamat hukum Rian Nugroho, hukum kita cenderung mengutamakan dokumen formal tanpa mempertimbangkan konteks sosial. Mbah Tupon yang tidak bisa membaca dianggap sah menandatangani dokumen yang tidak ia pahami. Ini adalah paradoks kejam: korban penipuan harus membuktikan kejahatan yang terjadi di luar jangkauannya, sementara pelaku memegang kendali dokumen.
Fenomena mafia tanah menunjukkan bahwa sistem hukum belum berpihak pada keadilan substantif. Ini bukan soal administratif belaka, tapi soal hak hidup masyarakat. Tanah bagi petani dan warga desa adalah sumber penghidupan dan harga diri. Ketika tanah mereka direbut dengan cara licik, yang tercabut bukan cuma harta, tapi akar kehidupan.
Apa yang salah dengan sistem kita? Mengapa pelaku terus bebas bermain? Kasus Mbah Tupon hanyalah puncak gunung es. Di Bantul saja, tercatat empat kasus serupa dengan pelaku yang sama—inisial BR dan TR1. Sindikat ini bukan pemain baru. Mereka tahu cara mengatur akta jual beli palsu, menyiasati celah prosedural, dan bersekongkol dengan aparat desa.
Jika celah sistem ini tidak ditutup, maka seberapa banyak pun Satgas dibentuk, hasilnya akan setengah hati. Edukasi publik menjadi penting, namun saat ini masih minim. Masyarakat di pedesaan, lansia, atau warga yang tidak melek hukum harus dijangkau dengan cara yang sesuai—bukan sekadar lewat media sosial atau laman resmi. Perlu pendekatan langsung, melibatkan tokoh masyarakat, penyuluh hukum, dan perangkat desa.
Beberapa negara memberikan inspirasi. Australia dengan sistem Torrens-nya menjamin semua transaksi tanah terekam digital dan tidak mudah dimanipulasi. Singapura menjalankan kebijakan nol toleransi terhadap korupsi dalam sistem pertanahan. Estonia menggunakan blockchain untuk mencegah sertifikat ganda. Indonesia sudah mulai ke arah sana dengan digitalisasi, tapi itu tak akan cukup tanpa reformasi menyeluruh.
Kita juga bisa mencontoh pendekatan proaktif seperti penyitaan aset sejak tahap penyelidikan, sebagaimana diterapkan di Swiss. Ini akan memukul jaringan mafia dari sisi finansial. Tapi syarat utamanya adalah kemauan politik yang kuat dan keberanian membersihkan sistem dari dalam. Jika tidak, semua hanya menjadi upaya tambal sulam.
Yang paling mendesak adalah kehadiran negara yang benar-benar membela korban. Kasus seperti Mbah Tupon memerlukan respons cepat dan empatik. Hakim, jaksa, dan aparat bisa mengambil terobosan hukum untuk mengembalikan hak korban lebih cepat. Tidak semua hal harus menunggu proses panjang jika buktinya sudah jelas.
Mafia tanah adalah cermin dari kegagalan kita melindungi warga paling rentan. Ini bukan hanya tentang hak milik, tapi soal hak hidup. Bila kita terus membiarkan kasus seperti Mbah Tupon berulang, maka kita sedang membiarkan luka kolektif itu terus menganga. Saatnya negara hadir, bukan hanya dalam bentuk regulasi, tapi dalam wujud keadilan nyata.
Mbah Tupon dan ribuan korban lain tidak butuh simpati semata. Mereka menanti tindakan yang konkret. Kepercayaan mereka yang telah disalahgunakan tidak bisa kembali hanya dengan janji. Mereka butuh kepastian bahwa tanah yang mereka warisi tidak akan berubah menjadi sumber nestapa. Dan kita, sebagai bagian dari bangsa ini, bertanggung jawab memastikan itu.