Opini
Maduro dan Politik Ganda AS: Keadilan atau Kepentingan?

Baru-baru ini, Departemen Luar Negeri Amerika Serikat meningkatkan hadiah untuk informasi yang mengarah pada penangkapan atau vonis terhadap Presiden Venezuela Nicolás Maduro. Hadiah yang semula $15 juta kini melonjak menjadi $25 juta, seolah-olah ini adalah tindakan heroik dalam rangka menyelamatkan dunia dari kejahatan yang tak terkatakan. Ironisnya, kebijakan AS ini mengabaikan kenyataan bahwa Venezuela adalah negara berdaulat yang dipilih oleh rakyatnya sendiri. Tetapi, bukankah AS selalu tahu siapa yang layak mendapat hukuman, bahkan tanpa proses hukum yang jelas?
Di sisi lain, AS baru saja menghapuskan hadiah serupa terkait dengan pemimpin Hayat Tahrir al-Sham (HTS), Ahmed al-Sharaa, juga dikenal sebagai Abu Mohammad al-Jolani, setelah melakukan pertemuan dengan pejabat Suriah di Damaskus. Lalu, apakah ini menunjukkan perubahan hati? Apakah AS akhirnya mengakui bahwa mungkin tidak semua yang dianggap musuhnya sebelumnya layak dihukum, terutama jika mereka menunjukkan kesediaan untuk berdialog? Apa yang terjadi dengan konsistensi moral?
Kisah ini semakin menarik ketika kita beralih ke kasus Israel, di mana AS kembali menunjukkan ketidakselarasan prinsip yang mencolok. AS baru-baru ini meloloskan rancangan undang-undang yang akan memberikan sanksi kepada pejabat Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) yang mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, terkait dengan tuduhan kejahatan perang. Sebuah langkah yang bertentangan dengan klaim AS untuk mendukung keadilan internasional. Keputusan ini menimbulkan tanya besar: apakah keadilan hanya berlaku jika melibatkan pihak-pihak yang memiliki sekutu strategis?
Pernyataan AS yang mendukung Netanyahu sekaligus mengkritik ICC menunjukkan ketidakseriusan negara ini dalam menghormati hukum internasional. Sanksi terhadap pejabat ICC bukan hanya menunjukkan sikap melawan proses hukum internasional, tapi juga menunjukkan betapa selektifnya AS dalam menentukan siapa yang berhak diperiksa oleh pengadilan internasional. Apakah itu berarti kejahatan perang hanya berdampak pada negara-negara yang tidak memiliki hubungan baik dengan AS?
Saat AS mengutuk Maduro dan menawarkan hadiah untuk penangkapannya, mereka berdalih bahwa ini adalah bagian dari “solidaritas dengan rakyat Venezuela”. Namun, ketika datang ke Israel, AS memilih untuk melindungi seorang pemimpin yang telah divonis oleh ICC terkait kejahatan perang. Bukankah ini sebuah kontradiksi besar? Ke mana hilangnya solidaritas dengan rakyat Palestina yang menjadi korban dari kebijakan pemerintah Netanyahu?
Kita juga harus mengingat bagaimana AS pernah memilih untuk mendukung dan bahkan berkoordinasi dengan pihak-pihak yang sebelumnya dianggap sebagai musuh besar. Contoh terbaru adalah HTS, yang meskipun telah dianggap sebagai organisasi teroris oleh AS, kini bisa dibilang diberikan kesempatan untuk berubah, hanya karena mereka berani berbicara tentang perdamaian. Ini membawa kita pada pertanyaan mendalam: apakah yang dinilai oleh AS adalah kata-kata atau tindakan yang nyata?
Jika berbicara tentang kebijakan luar negeri AS, satu hal yang pasti: kebijakan ini dipenuhi dengan ketidakpastian dan perubahan yang tiba-tiba. Keputusan untuk memberikan hadiah besar bagi informasi yang mengarah pada penangkapan Maduro sambil merangkul pihak-pihak yang sebelumnya terlibat dalam tindakan kekerasan jelas memperlihatkan ketidakselarasan moral. Bukankah ini adalah gambaran nyata dari “double standard” yang selama ini mereka tuduhkan kepada negara-negara lain?
Tentu saja, tidak ada yang salah dengan menegakkan kepentingan nasional. Namun, jika AS ingin dianggap sebagai panutan dalam menegakkan hukum internasional, mereka harus belajar untuk konsisten. Melindungi Netanyahu dari tuntutan ICC sambil memburu Maduro yang terpilih oleh rakyat Venezuela hanya membuktikan satu hal: AS tidak memilih untuk mengikuti hukum internasional, melainkan memilih siapa yang seharusnya dihakimi sesuai dengan kepentingan mereka. Ini adalah kebijakan yang mengesampingkan keadilan demi keuntungan politik.
Pada akhirnya, apa yang kita saksikan adalah sebuah permainan politik internasional yang memperlihatkan betapa mudahnya negara besar memilih untuk mendefinisikan siapa yang baik dan siapa yang jahat sesuai dengan apa yang menguntungkan mereka. Kebijakan luar negeri AS tampaknya bukan tentang keadilan, melainkan tentang siapa yang bisa mereka kontrol dan siapa yang dapat mereka dukung sesuai dengan agenda mereka.