Opini
Macron, Nuklir, dan Eropa: Mimpi Besar, Risiko Besar

Emmanuel Macron tampaknya sedang memainkan peran Napoleon baru di abad ke-21. Dengan gagah berani, ia mengayunkan pedangnya ke langit, menantang bayangan yang mungkin tidak ada. Di saat Amerika Serikat dan Rusia mulai meraba jalan damai bagi Ukraina, Prancis dan sebagian Eropa malah menggeliat seperti tentara yang sudah lama haus darah. Mereka ingin perang, atau setidaknya, ingin dunia tahu bahwa mereka masih bisa menggertak.
Dunia mungkin berpikir bahwa setelah dua tahun perang di Ukraina, akal sehat akan menang. Namun, bagi Macron dan kolega-kolega Eropanya, akal sehat adalah barang mewah. Sementara Washington dan Moskow secara pragmatis melihat perang ini sebagai permainan catur yang perlu diakhiri dengan hasil seminimal mungkin, Eropa ingin bermain dengan api. Prancis menawarkan payung nuklirnya, bukan karena cinta damai, tapi karena ego dan obsesi lama: ingin relevan di panggung global.
Dalam kacamata realisme, tindakan Macron adalah manifestasi kepentingan nasional dalam bentuknya yang paling mentah. Prancis tidak peduli dengan Ukraina, tidak peduli dengan rakyat yang menderita, dan tentu tidak peduli dengan stabilitas global. Yang mereka inginkan adalah eksistensi geopolitik. Macron tahu bahwa jika Eropa terlalu bergantung pada AS, maka Prancis hanyalah pemain figuran di panggung yang dikendalikan Pentagon. Oleh karena itu, ia menawarkan diri sebagai ksatria penyelamat, meskipun yang ia selamatkan hanyalah harga dirinya sendiri.
Dilema keamanan klasik kembali terulang. Prancis merasa terancam oleh Rusia, sehingga mereka memperkuat militernya. Rusia melihat ini sebagai provokasi, sehingga mereka meningkatkan persenjataan nuklir dan memperketat pertahanan. Eropa ketakutan, lalu meminta lebih banyak senjata dari AS dan NATO. Siklus ini terus berputar, menciptakan ilusi keamanan yang pada akhirnya hanya mempercepat perang. Alih-alih menciptakan perdamaian, Macron dan Eropa Timur malah memastikan bahwa Rusia tidak akan pernah merasa aman untuk berdamai.
Prancis dan sekutunya di Eropa Timur tidak memahami satu prinsip dasar dalam teori keseimbangan kekuatan. Jika satu pihak mencoba terlalu keras untuk mendominasi, pihak lain akan merespons dengan kekuatan yang sama atau lebih besar. Rusia bukan negara kecil yang bisa diintimidasi dengan pidato atau sanksi ekonomi. Mereka telah bertahan dari runtuhnya Uni Soviet, menghadapi embargo, dan kini telah beradaptasi dengan realitas perang modern. Jika Eropa terus menekan, maka perang ini bisa berubah dari Rusia versus Ukraina menjadi Rusia versus Eropa.
Sementara itu, Amerika Serikat duduk tenang di kursinya, menyaksikan Eropa melangkah ke jurang dengan penuh semangat. Bagi Washington, ini adalah situasi yang ideal. Mereka bisa mempertahankan hegemoni global tanpa harus mengorbankan terlalu banyak sumber daya. Jika Prancis dan Eropa Timur ingin berperang dengan Rusia, itu adalah bonus bagi AS. Konflik semacam ini akan memastikan bahwa Eropa tetap lemah dan tetap bergantung pada Amerika dalam segala hal, mulai dari energi hingga teknologi militer.
Macron mungkin berpikir bahwa Prancis sedang memimpin Eropa, tetapi kenyataannya, mereka hanyalah bidak dalam permainan yang lebih besar. Jerman, dengan pragmatismenya, lebih memilih menjaga stabilitas ekonomi daripada meladeni ambisi Macron yang berbau Napoleonisme modern. Inggris, meski secara tradisional hawkish, tahu betul bahwa konfrontasi langsung dengan Rusia adalah ide buruk. Tapi Prancis? Mereka sibuk memainkan orkestra perang, berharap mendapat tepuk tangan dari audiens yang bahkan tidak peduli.
Keputusan Macron untuk membuka diskusi tentang payung nuklir bagi Eropa adalah mimpi buruk strategis. Jika Eropa mulai mengandalkan nuklir sebagai alat pertahanan utama, maka Rusia akan dipaksa untuk meningkatkan kapasitas nuklirnya. Ini bukan lagi soal Ukraina, tapi soal seluruh benua yang duduk di atas barel mesiu. Jika ada satu kesalahan kecil, satu manuver yang salah, maka Eropa bisa menjadi medan perang nuklir yang menghancurkan peradaban dalam hitungan menit.
Ironinya, rakyat Eropa sendiri tidak meminta ini. Mereka ingin harga energi stabil, inflasi terkendali, dan hidup yang normal. Tapi para pemimpin mereka, didorong oleh ambisi pribadi dan ilusi kekuatan, justru memilih jalur yang berbahaya. Sejarah telah mengajarkan bahwa perang yang didorong oleh ego para pemimpin biasanya berakhir dengan kehancuran yang tidak perlu. Namun, seperti biasa, para pemimpin lebih suka membaca buku sejarah sebagai novel fiksi, bukan sebagai pelajaran hidup.
Jika Prancis dan Eropa terus melangkah ke arah ini, maka mereka tidak hanya mempertaruhkan perdamaian, tetapi juga eksistensi mereka sendiri. Rusia tidak akan tinggal diam jika mereka merasa terancam. Mereka telah menunjukkan dalam sejarah bahwa mereka bersedia membakar dunia jika itu diperlukan untuk bertahan. Jadi, pertanyaannya sekarang bukan lagi apakah Rusia dan Ukraina akan berdamai, tetapi apakah Eropa siap menghadapi perang yang lebih besar dan lebih menghancurkan.
Macron mungkin mengira dirinya sebagai pemimpin visioner yang membawa Eropa ke era baru. Namun, jika dilihat dari perspektif realisme, dilema keamanan, dan keseimbangan kekuatan, ia tidak lebih dari seorang pemimpin yang bermain api di gudang mesiu. Eropa butuh pemimpin yang memahami strategi, bukan seorang narsisis yang ingin dikenang dalam sejarah sebagai penggerak konflik terbesar abad ini.