Opini
Macron Mengancam Trump, Tapi Mampukah Prancis Melawan?

Emmanuel Macron tampaknya telah menemukan mainan baru: gagasan bahwa Prancis bisa mengancam Amerika Serikat. Dalam sebuah langkah yang begitu spektakuler hingga hampir menyentuh batas-batas fantasi politik, Macron memperingatkan bahwa jika Donald Trump menerapkan kebijakan ekonomi isolasionisnya, maka Prancis akan melawan. Kata-kata itu diucapkan dengan serius, seolah-olah Prancis adalah kekuatan ekonomi dunia yang mampu menggoyahkan Washington. Kita hampir bisa membayangkan Trump mengangkat alisnya sambil tersenyum kecil, menganggap peringatan itu sebagai angin lalu.
Dengan nada yang hampir seperti Napoleon modern, Macron mencoba menggalang kekuatan di antara negara-negara Eropa untuk menyiapkan respons terhadap proteksionisme AS. Ini adalah perlawanan yang terdengar gagah, tetapi dalam praktiknya lebih mirip seorang bocah yang mengancam akan mengambil mainannya dari taman bermain jika tak mendapatkan apa yang diinginkan. Uni Eropa mungkin akan menggelar diskusi serius, mungkin akan ada pertemuan-pertemuan puncak, tetapi pada akhirnya, mereka akan melakukan apa? Menggelar konferensi pers yang penuh dengan kata-kata tegas namun kosong? Mengeluarkan kebijakan yang hanya berdampak pada kantong warganya sendiri?
Bukan rahasia bahwa Prancis dan Eropa secara keseluruhan memiliki kebiasaan yang unik dalam menghadapi tantangan global: mereka berbicara dengan suara keras, tetapi tindakan mereka sering kali sebatas gestur simbolis. Jika Trump kembali dan mengeluarkan kebijakan yang benar-benar mengisolasi ekonomi Amerika, maka Uni Eropa, termasuk Prancis, akan meratap dan mengeluh, tetapi tetap akan tunduk pada realitas geopolitik. Ketergantungan mereka pada ekonomi Amerika sudah terlalu dalam. Maka, ancaman Macron ini lebih menyerupai drama panggung ketimbang strategi diplomatik.
Macron mungkin berharap bahwa dengan mengambil sikap keras ini, ia bisa mendapatkan simpati dari rakyatnya yang sedang dilanda berbagai persoalan domestik. Ekonomi Prancis sendiri tidak dalam kondisi prima, dengan tingkat pengangguran yang tetap menjadi masalah dan protes sosial yang tak pernah surut. Namun, dalam dunia politik modern, lebih mudah untuk menyalahkan faktor eksternal ketimbang mengakui ketidakmampuan sendiri. Trump menjadi musuh yang nyaman untuk Macron—sosok antagonis sempurna yang bisa dijadikan kambing hitam atas segala kegagalan kebijakan domestik.
Yang lebih menarik adalah betapa Prancis seolah-olah masih hidup dalam fantasi kejayaan masa lalu. Ada kesan bahwa Macron ingin mengembalikan Prancis ke era di mana negara itu memiliki pengaruh global yang besar. Tetapi ini bukan abad ke-19. Ini adalah dunia yang dikuasai oleh kekuatan ekonomi raksasa seperti AS dan Tiongkok, sementara Eropa semakin kehilangan daya saingnya. Perlawanan terhadap proteksionisme AS bukan hanya sulit, tetapi hampir mustahil dilakukan tanpa konsekuensi yang lebih buruk bagi ekonomi mereka sendiri.
Sementara Macron berkoar tentang kemungkinan perlawanan, perusahaan-perusahaan besar Prancis diam-diam mungkin sudah mulai menyusun rencana darurat untuk tetap bisa masuk ke pasar AS, apa pun yang terjadi. Kapitalisme tidak mengenal nasionalisme atau kebanggaan negara; ia hanya mengenal keuntungan. Jika Trump benar-benar menerapkan kebijakan yang membatasi perdagangan dengan Eropa, para pemimpin bisnis akan menemukan cara untuk menyesuaikan diri—bahkan jika itu berarti mengabaikan pidato heroik presiden mereka.
Uni Eropa sendiri dikenal sebagai entitas politik yang lebih banyak berbicara ketimbang bertindak. Mereka punya sejarah panjang dalam mengeluarkan resolusi, kecaman, dan peringatan yang pada akhirnya tidak berpengaruh pada kebijakan global yang sebenarnya. Dalam kasus ini, jika AS benar-benar melangkah ke arah proteksionisme ekstrem, negara-negara Eropa kemungkinan besar akan bernegosiasi diam-diam dengan Washington sambil secara terbuka berpura-pura tetap bersatu melawan kebijakan tersebut. Diplomasi hipokrit seperti ini bukan barang baru bagi mereka.
Ada ironi dalam seluruh sandiwara ini. Macron, yang berbicara tentang kemandirian Eropa dan perlawanan terhadap dominasi Amerika, tetap saja harus bergantung pada keberadaan NATO yang didominasi AS untuk keamanan negaranya. Ia juga tahu bahwa dalam krisis global, dolar tetap menjadi mata uang yang menentukan. Jadi, ancamannya terhadap Trump bukan hanya terdengar lemah, tetapi juga paradoksal. Prancis tidak berada dalam posisi untuk mendikte kebijakan ekonomi Amerika, dan ancaman yang mereka lontarkan hanyalah retorika kosong yang ditujukan lebih kepada rakyatnya sendiri ketimbang kepada Washington.
Di sisi lain, Trump tentu menikmati drama ini. Ia tidak asing dengan pemimpin-pemimpin dunia yang berusaha menantangnya hanya untuk kemudian berkompromi begitu kenyataan ekonomi dan politik menampar mereka. Jika ia kembali ke Gedung Putih, ia mungkin akan membalas ancaman Macron dengan satu atau dua cuitan sarkastik yang akan membuat media di Eropa sibuk selama berminggu-minggu. Sementara itu, bisnis tetap berjalan seperti biasa, dan Prancis akan kembali menghadapi kenyataan bahwa mereka bukan pemain utama dalam dinamika ekonomi global.
Yang menyedihkan adalah bagaimana politisi seperti Macron masih berpikir bahwa dunia bisa diubah hanya dengan pernyataan dan deklarasi moral. Mereka tidak belajar dari sejarah bahwa kekuatan ekonomi dan militer yang nyata jauh lebih menentukan ketimbang diplomasi teatrikal. Prancis mungkin bisa memainkan peran moral di panggung global, tetapi dalam praktiknya, mereka tetap harus mengikuti aturan yang ditetapkan oleh kekuatan ekonomi yang lebih besar.
Pada akhirnya, ancaman Macron terhadap kebijakan Trump bukanlah sesuatu yang harus ditanggapi serius. Ini adalah bagian dari permainan politik domestik yang bertujuan untuk menciptakan ilusi kekuatan dan ketegasan. Tetapi ilusi tetaplah ilusi. Ketika kebijakan ekonomi nyata mulai diterapkan, Prancis dan Uni Eropa akan melakukan apa yang selalu mereka lakukan: meratap, mengeluh, lalu beradaptasi dalam diam. Sementara itu, dunia akan terus bergerak maju tanpa terlalu peduli pada retorika kosong dari Paris.