Opini
Macron di Ujung Tanduk: Krisis Politik Prancis Meningkat

Di jalanan Paris, aroma kopi pagi bercampur dengan bisik-bisik ketidakpuasan. Orang-orang menatap poster dan layar televisi, mencoba memahami absurditas realitas: seorang presiden yang dulunya dianggap modern dan visioner kini tampak seperti aktor yang kehilangan naskah. François Bayrou, perdana menteri keenam sejak 2017, jatuh oleh suara parlemen, tersapu oleh gelombang kemarahan yang menyatukan kiri dan kanan. Paket austerity €44 miliar yang seharusnya menyehatkan anggaran justru menghancurkan kepercayaan publik. Kita semua tahu, krisis politik Prancis ini bukan sekadar angka dan politikus, tapi cermin dari kegagalan kepemimpinan.
Langkah Macron menunjuk perdana menteri baru terasa seperti menambal kapal bocor dengan lakban. Bayrou dipaksa mundur karena keberaniannya mengambil risiko—mengajukan mosi percaya sebelum anggaran 2026. Alih-alih dihargai, ia dikalahkan oleh logika parlemen dan kemarahan publik. Menarik: di Prancis, pengambilan risiko dianggap lebih berbahaya daripada ketidakmampuan. Data survei Odoxa-Backbone dan Ifop tidak bohong. Dengan 64% warga yang ingin presiden mundur dan 77% tidak puas, Macron menghadapi sesuatu yang lebih berbahaya daripada oposisi politik: kehilangan legitimasi total.
Ironi terbesar adalah konsensus lintas partai untuk menentang pemerintah. Kiri dan kanan, yang biasanya beradu sengit, sekarang bersatu menertawakan paket austerity yang absurd itu. Dua hari libur nasional hendak dihapus, pajak naik, pengeluaran dipangkas—seolah rakyat Prancis adalah mesin kas tanpa hati nurani. Bayangkan kita di Indonesia, tiba-tiba pemerintah memutuskan menghapus cuti Lebaran dan Natal, sambil menaikkan pajak bensin. Reaksi publik pasti serupa: marah, bingung, dan siap turun ke jalan.
Ketidakpastian ini bukan hanya soal Bayrou. Macron menghadapi dilema struktural. Tanpa mayoritas parlementer, kebijakan apapun terancam gagal. Bahkan jika Partai Sosialis mendukung, faksi kiri lain mungkin menolak. Pilihan Macron hanya tiga: membentuk koalisi yang rapuh, menghadapi kebuntuan yang berlarut, atau merelakan pemilu dini. Dan pemilu dini? Itu bisa menguatkan ekstrem kanan, membalikkan semua rencana politik yang dibangunnya sejak 2017. Krisis politik Prancis kini menjadi permainan catur yang sangat berisiko, di mana setiap langkah bisa menjadi jebakan sendiri.
Di sisi publik, tekanan jalanan semakin terasa. Gerakan Bloquons tout menyerukan aksi nasional 10 September, serikat pekerja memanggil mogok 18 September. Macron tidak hanya menghadapi parlemen, tapi juga massa yang bergerak dengan ritme spontan dan emosi yang sulit dikendalikan. Ada kesan bahwa pemerintah seperti kapal yang diterjang badai, dengan kru yang setengah takut dan setengah ingin menyalamatkan diri sendiri. Krisis politik Prancis tidak lagi abstrak; ia hidup di jalan, di wajah-wajah yang marah, di poster-poster yang menuntut perubahan.
Saya rasa ada pelajaran bagi kita semua. Ketika rakyat kehilangan kepercayaan, simbol legitimasi—dalam hal ini presiden—tidak lagi cukup. Macron mungkin bisa menunjuk perdana menteri ketujuh, tapi itu hanya sementara. Publik dan parlemen akan menunggu langkah berikutnya, siap menilai dengan standar yang jauh lebih tinggi. Setiap kebijakan yang dianggap “tidak sensitif” bisa menjadi pemicu kerusuhan sosial. Bayrou hanyalah contoh terkini dari ketidakmampuan sistem untuk menahan tekanan publik yang semakin kritis.
Krisis politik Prancis ini juga menyisakan ironi tajam: Macron, presiden yang sering dikagumi sebagai inovator, kini harus mempertimbangkan kompromi dengan oposisi yang dulu ia kritik. Olivier Faure dari Partai Sosialis bahkan siap menjadi perdana menteri dan menawarkan rancangan anggaran sendiri. Macron, yang biasanya dominan, kini seperti pemain catur yang dipaksa mengikuti strategi lawan. Semua ini memperlihatkan satu hal jelas: kekuasaan tanpa dukungan masyarakat dan legislatif hanyalah ilusi.
Lebih jauh, situasi ini menimbulkan refleksi: apa arti kepemimpinan dalam demokrasi modern jika presiden tidak bisa menjembatani kepentingan rakyat dan parlemen? Paket austerity mungkin logis secara ekonomi, tapi gagal secara politik dan sosial. Rakyat bukan sekadar angka statistik untuk menyeimbangkan anggaran; mereka adalah aktor yang menentukan keberlangsungan pemerintahan. Krisis politik Prancis ini mengajarkan kita bahwa ketidakmampuan membaca gelombang publik bisa mengikis fondasi demokrasi lebih cepat daripada musuh politik sekalipun.
Macron bisa saja bertahan, menunjuk perdana menteri baru, atau membentuk koalisi rapuh. Tapi apakah itu akan menyelesaikan krisis politik Prancis? Saya ragu. Jalan ke depan tampak gelap dan berliku. Dengan protes yang terus berkembang dan kepercayaan publik yang hancur, setiap manuver politik bisa berakhir dengan kegagalan. Bahkan jika ia selamat dari parlemen, publik akan terus menuntut pertanggungjawaban, dan citra kepemimpinannya akan terus menurun.
Fenomena ini juga menyoroti dilema lebih luas: demokrasi modern sering kali dipaksa berhadapan dengan realitas ekonomi yang keras. Paket austerity bisa masuk akal dari sisi angka, tapi ketika diterapkan tanpa komunikasi yang bijak dan perhitungan politik matang, itu menjadi bom waktu. Bayangkan seorang kepala keluarga memotong pengeluaran rumah tangga secara drastis tanpa memberi tahu anggota keluarga, lalu kaget ketika semua orang marah dan menolak keputusan itu. Nah, Prancis sedang berada di momen serupa, hanya dengan skala nasional dan konsekuensi politik yang jauh lebih besar.
Krisis politik Prancis ini juga menyadarkan kita bahwa jalan menuju stabilitas bukan hanya soal kepemimpinan individu. Macron bisa menunjuk perdana menteri baru atau bahkan melakukan reformasi simbolik, tapi jika fondasi parlemen rapuh dan publik terus kehilangan kepercayaan, semua itu hanyalah tameng sementara di tengah badai. Hal ini mengingatkan kita: legitimasi publik adalah mata uang paling berharga bagi pemimpin modern, dan kehilangan mata uang itu bisa membuat seseorang jatuh lebih cepat daripada politikus paling tajam sekalipun.
Kita bisa tersenyum getir saat melihat drama ini. Ada pelajaran bagi dunia, termasuk Indonesia: pemerintahan tanpa legitimasi publik dan konsensus politik sangat rapuh. Ketika rakyat bersatu menolak kebijakan yang dianggap merugikan, bahkan presiden yang paling berkuasa pun bisa berada di ujung tanduk. Krisis politik Prancis bukan sekadar berita internasional; ia adalah refleksi bagaimana demokrasi, ekonomi, dan politik sosial saling berkelindan dalam tekanan nyata.
Akhirnya, narasi ini harus jelas: Macron menghadapi krisis politik Prancis yang serius. Bayrou hanyalah gejala; masyarakat, parlemen, dan tekanan sosial adalah penyebab utama. Masa depan pemerintahannya penuh ketidakpastian, dan setiap langkah harus ditempuh dengan kalkulasi yang tepat. Apakah dia akan bertahan? Mungkin. Tapi selamat secara politik kali ini belum tentu berarti aman dalam jangka panjang. Dunia menyaksikan, rakyat menilai, dan jalan menuju stabilitas tetap penuh duri.