Connect with us

Opini

Lush Tutup Toko Demi Bela Palestina

Published

on

Hari itu berjalan seperti hari yang lain, tampak biasa saja di Inggris. Jalanan sibuk, pusat perbelanjaan ramai, dan orang-orang berlalu-lalang membawa kantong belanjaan. Namun ada satu pemandangan yang lain: toko Lush yang biasanya penuh warna dan wangi khas sabun mandi itu, mendadak gelap. Pintu terkunci. Tak ada pegawai. Tak ada pelanggan. Di laman situs resminya, alih-alih produk kosmetik, yang terpampang justru pesan sederhana dalam warna bendera Palestina: “Stop starving Gaza. We are closed in solidarity.” Dalam sekejap, ruang yang biasanya penuh dengan aroma sabun berubah menjadi panggung perlawanan moral.

Tindakan ini bukan sekadar aksi iseng atau strategi pemasaran. Lush benar-benar menutup lebih dari 100 toko di seluruh Inggris, menghentikan produksi di pabriknya, bahkan mematikan situs web yang setiap hari menjadi salah satu sumber pemasukan utama. Mereka mengorbankan pendapatan sehari penuh. Dalam dunia bisnis yang terobsesi pada grafik pertumbuhan, laba bersih, dan kepuasan investor, keputusan ini ibarat menyalakan lilin di tengah ruangan gelap yang penuh mesin pencetak uang. Sebuah kontras yang memaksa kita berhenti sejenak, lalu bertanya: siapa yang lebih penting, manusia yang lapar atau angka di laporan keuangan?

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Lush tahu benar risiko yang mereka ambil. Mereka bukan perusahaan kecil. Setiap hari penutupan berarti kerugian yang nyata. Ada target penjualan yang tak tercapai, ada pajak yang berkurang, ada pelanggan yang kecewa. Di tengah persaingan bisnis global, langkah ini bisa dianggap bunuh diri. Namun mereka tetap melakukannya, dan justru di sanalah letak keberanian moralnya. Lush memutuskan bahwa solidaritas kepada rakyat Palestina lebih bernilai daripada profit jangka pendek.

Sebagian orang tergesa-gesa menyebut ini tindakan politis. Seolah-olah, karena mereka mengkritik Israel atau menekan pemerintah Inggris, maka motivasinya bukan lagi kemanusiaan. Ini logika yang keliru. Bukankah kelaparan di Gaza adalah tragedi kemanusiaan murni? Bukankah menutup akses bantuan makanan dan obat-obatan adalah kejahatan terhadap manusia, bukan sekadar isu politik? Menyebut aksi Lush sebagai “politik” hanyalah cara untuk mereduksi pesan mereka, untuk menutupi fakta pahit bahwa ada bangsa yang sengaja dibuat kelaparan di abad ke-21.

Justru yang menarik, Lush tidak berhenti pada slogan kosong. Mereka memutuskan untuk bertindak nyata. Dengan menutup toko dan situsnya, mereka tidak hanya menyampaikan pesan moral, tetapi juga menolak menyumbang pajak pada hari itu. Ya, nilai ekonominya mungkin kecil bagi pemerintah Inggris. Namun simboliknya besar: ini adalah protes terhadap kebijakan negara yang membiarkan penderitaan di Gaza berlangsung. Tindakan ini mengingatkan kita pada sejarah boikot dan aksi sipil di berbagai belahan dunia, dari gerakan anti-apartheid di Afrika Selatan hingga aksi mogok buruh di Indonesia.

Bayangkan betapa jarangnya perusahaan modern yang mau berkorban seperti itu. Sebagian besar brand besar justru memilih diam. Mereka takut kehilangan konsumen, takut diserang media, takut laba menurun. Bahkan banyak perusahaan raksasa yang secara terang-terangan tetap berbisnis dengan Israel, menikmati keuntungan dari situasi perang, sambil berpura-pura netral di hadapan publik. Di tengah kenyataan seperti itu, langkah Lush terasa segar, berani, dan jujur. Mereka tahu, reputasi jangka panjang dibangun bukan hanya dengan iklan, tetapi dengan integritas moral.

Saya jadi teringat bagaimana di Indonesia, warung-warung kecil kadang menutup dagangan mereka seharian untuk ikut mogok sebagai tanda protes atau solidaritas. Tindakan sederhana, tapi penuh makna. Lush, meski sebuah perusahaan multinasional, justru kembali ke akar solidaritas itu. Mereka menunjukkan bahwa bisnis tidak harus buta hati. Bahwa profit bisa dikorbankan demi menyuarakan kemanusiaan. Bahwa pelanggan tidak hanya dipandang sebagai pembeli, tetapi juga sebagai manusia yang bisa diajak peduli.

Tentu saja, tak semua orang setuju. Kritik berdatangan, terutama dari pihak-pihak yang pro-Israel atau mereka yang sinis terhadap bentuk aktivisme korporasi. Ada yang menuduh Lush hanya mencari publisitas murah. Ada pula yang menuding mereka munafik, karena tetap berbisnis di tempat lain. Tapi tuduhan-tuduhan itu terasa lemah ketika kita melihat tindakan nyata: toko ditutup, produksi berhenti, situs web dimatikan. Itu bukan simbol kosong, itu kerugian nyata. Dan jarang sekali perusahaan mau sengaja merugi hanya untuk “pencitraan”.

Di titik ini, kita patut bertanya: mengapa sulit sekali bagi banyak orang menerima bahwa sebuah perusahaan bisa tulus mengambil sikap? Mengapa setiap upaya solidaritas harus segera dilabeli politik, pencitraan, atau kepentingan tersembunyi? Saya rasa, ini lebih mencerminkan ketidakpercayaan kita sendiri. Kita sudah terbiasa hidup dalam budaya sinis, sehingga sulit percaya bahwa masih ada entitas yang berani bertindak demi nurani.

Padahal pesan Lush sederhana: hentikan kelaparan di Gaza. Mereka tidak sedang mengkampanyekan partai politik, tidak sedang melobi kursi kekuasaan, tidak sedang menawarkan solusi geopolitik. Mereka hanya berteriak: ada manusia yang sedang dibuat kelaparan, dan itu tidak boleh dibiarkan. Jika pesan sesederhana ini pun kita sebut “politik”, berarti kita sudah kehilangan kemampuan membedakan mana kepentingan manusia, mana kepentingan kekuasaan.

Dalam konteks Indonesia, aksi Lush memberi cermin penting. Kita hidup di negeri yang bangga menyebut diri sebagai bangsa berperikemanusiaan, bangsa yang punya tradisi gotong royong. Namun berapa banyak perusahaan besar di sini yang benar-benar berani mengambil sikap dalam isu kemanusiaan global, apalagi Palestina? Sebagian memang ikut berdonasi, tapi jarang yang berani menutup bisnisnya walau hanya sehari untuk mengirim pesan. Di sinilah kita bisa belajar: solidaritas kadang butuh risiko nyata, bukan hanya doa dan kata-kata manis.

Saya percaya, tindakan Lush akan meninggalkan jejak panjang dalam dunia bisnis. Bukan soal seberapa besar pengaruhnya terhadap kebijakan Inggris, tapi soal bagaimana ia menginspirasi konsumen dan perusahaan lain. Ia menunjukkan bahwa di tengah dunia yang gila laba, masih ada ruang untuk suara nurani. Bahwa perusahaan bisa menjadi agen moral, bukan sekadar mesin uang. Dan bahwa keberanian moral sering kali dimulai dari keputusan sederhana: menutup toko demi membuka mata.

Pada akhirnya, kita bisa saja berbeda pendapat soal efektivitas langkah ini. Tapi satu hal pasti: Lush telah menegaskan bahwa isu Gaza bukan sekadar wacana politik. Ini tentang manusia, tentang hak dasar untuk tidak kelaparan, tentang martabat yang diinjak oleh blokade. Mereka memilih berpihak pada yang lemah, meski harus menanggung rugi. Dan bagi saya, itu lebih mulia daripada ribuan pernyataan politik yang hanya berhenti di kata-kata.

Jika ada yang masih menganggap ini sekadar aksi politik, biarlah. Yang penting, ada satu perusahaan yang berani berteriak, meski dengan cara paling sederhana: menutup pintu tokonya. Sebuah pintu yang tertutup, justru membuka mata dunia.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer