Connect with us

Opini

Luka, Trauma, dan Runtuhnya Tentara Israel

Published

on

Sejak 7 Oktober 2023, lebih dari 18.500 tentara Israel dilaporkan terluka. Ribuan di antaranya bukan sekadar memar dan robek di kulit, tapi patah di dalam—jiwa mereka remuk oleh trauma yang tak bisa dibalut perban. Mereka kembali ke rumah, bukan sebagai pahlawan gagah berani, tapi sebagai bayang-bayang manusia yang dulu mereka kenal di cermin. Dan menurut laporan Yedioth Ahronoth, angka itu belum akan berhenti.

Justru melonjak.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Bayangkan ini: menjelang 2028, jumlah korban luka diproyeksikan menembus angka 100.000. Dari angka itu, nyaris separuhnya diprediksi akan mengalami gangguan jiwa, mayoritas PTSD. Bukan hanya kerugian militer, tapi juga sosial—karena para mantan serdadu ini tak hanya keluar dari barak, tapi juga dari dunia kerja. Tubuh mereka mungkin pulang, tapi pikiran mereka tertinggal di reruntuhan Khan Younis, di lorong-lorong sempit Gaza, di tiap tikungan yang berpotensi ledak.

Tak perlu jadi psikiater untuk tahu: ini akan menjadi krisis nasional.

Dan, ironisnya, bukan bangsa tertindas yang mengalami ini—melainkan bangsa penjajah yang selama ini menjual narasi “paling menderita di dunia”. Kini mereka ditelan oleh mesin perang mereka sendiri. Dan kita bertanya-tanya: bagaimana bisa, kekuatan militer paling canggih di kawasan, yang katanya “tak terkalahkan”, justru menanggung beban mental kolektif yang membuatnya nyaris lumpuh dari dalam?

Kita tahu jawabannya, tentu saja.

Apa yang terjadi ketika seseorang menyerbu rumah orang lain, membakar isinya, membunuh penghuninya, lalu pulang membawa luka? Mereka bisa mencoba membenarkan itu dengan retorika suci, dengan slogan nasionalis, dengan propaganda “perang mempertahankan diri”—tapi luka itu tetap tinggal. Dan tubuh tahu. Jiwa tahu. Tak ada sensor militer yang bisa menutup suara-suara di kepala yang terus berbisik: “Kau bukan penyelamat. Kau perampas.”

Laporan Yedioth hanyalah satu dari banyak retakan kecil yang kini membentuk patahan besar di tubuh militer Israel. Retakan ini membelah ke segala arah: dari dapur rumah tangga di Tel Aviv hingga meja kerja birokrasi Kementerian Keamanan. Ketika para tentara tak lagi bisa bekerja, beban sosial pun menggelinding ke bawah. Ekonomi tak menunggu trauma sembuh.

Dan negara pun panik.

Yang tadinya dirancang untuk 2030, kini dimajukan ke 2028. Semua sistem harus direvisi: anggaran kesehatan mental, sistem rehabilitasi, rumah sakit jiwa, bahkan pelatihan tentara baru. Negara harus bersiap bukan hanya untuk berperang, tapi untuk mengurusi hasil dari perang yang gagal dimenangkan.

Ah, betapa cepat roda sejarah berputar.

Dulu, mereka tampil penuh percaya diri, menggempur Gaza seolah sedang memainkan video game. Tapi kini, mereka bermain dengan nyawa dan dipaksa menghadapi mode real life. Bom yang mereka jatuhkan tak hanya meretakkan rumah warga Palestina, tapi juga memecahkan isi kepala mereka sendiri.

Laporan ini bahkan diselingi kabar baru: seorang tentara Israel tewas, sembilan lainnya terluka dalam operasi di Khan Younis. Sebagian besar dari Unit Pengintai Gurun. Ada yang kritis, ada yang “parah”, dan kita tahu, dalam dunia militer, kata “parah” biasanya tak perlu dijelaskan. Satu hari sebelumnya, dua tentara lain gugur. Dari unit elit, dari pasukan terlatih. Tapi elit dan terlatih ternyata tak menjamin pulang hidup-hidup.

Kita bisa bertanya: sampai kapan?

Sampai kapan negara yang mendaku “demokrasi satu-satunya di Timur Tengah” ini terus menempatkan generasi mudanya ke dalam mesin giling trauma? Sampai kapan mereka terus menelan kebohongan bahwa pembantaian demi keamanan akan membuahkan kedamaian? Dan sampai kapan dunia membiarkan absurditas ini tampil sebagai “upaya mempertahankan diri”?

Jujur saja, ada momen di mana ironi ini terlalu telanjang untuk diabaikan. Negara yang begitu canggih dalam membuat senjata, begitu kaya akan sistem pengawasan, begitu bangga dengan Iron Dome—ternyata tidak punya pelindung untuk pikirannya sendiri. Tak ada Iron Mind bagi mereka yang dihantui oleh jeritan anak-anak yang terkubur hidup-hidup, atau rumah yang hancur karena roket mereka sendiri.

Dan kita pun, dari jauh, bisa melihat retakan itu makin menganga.

Bagi sebagian masyarakat Indonesia yang mungkin masih bingung membedakan antara “Yahudi” dan “zionis”, laporan ini bisa menjadi kaca pembesar. Ini bukan tentang agama. Ini tentang kekuasaan yang menyaru sebagai korban. Tentang penjajahan yang disulap jadi pertahanan diri. Tentang trauma yang tak bisa diselesaikan dengan terapi karena sumbernya bukan di dalam diri, tapi dalam sistem negara yang menjajah.

Israel sedang mengalami apa yang disebut burnout empire—sebuah kelelahan kolektif akibat terus-menerus menjadi agresor. Dan seperti semua kekaisaran yang membusuk dari dalam, tanda-tandanya muncul bukan hanya dari statistik ekonomi atau hasil pemilu, tapi dari jiwa-jiwa yang pecah dalam sunyi.

Boleh jadi, para tentara itu pernah percaya mereka sedang membela negara. Tapi kini, banyak di antara mereka yang sadar: mereka tak sedang membela, melainkan menyerang. Dan konsekuensinya bukan hanya luka di tubuh, tapi lubang dalam batin.

Dalam satu dekade ke depan, jika tren ini terus berlangsung, Israel tak hanya akan kehilangan ribuan tentara. Ia akan kehilangan imajinasi tentang dirinya sendiri—sebagai negara yang kuat, sebagai negara yang menang, sebagai negara yang tahu arah. Ia akan menjadi negara yang dikelilingi musuh di luar dan dibayangi trauma di dalam.

Dan trauma, sebagaimana kita tahu, lebih sulit dilawan daripada roket.

Akhirnya, laporan seperti ini tak hanya penting untuk dibaca, tapi juga direnungkan. Dunia sudah lama tahu bahwa penjajahan itu buruk bagi yang dijajah. Tapi laporan ini menunjukkan bahwa penjajahan juga merusak si penjajah. Tidak ada kemenangan sejati dalam perang yang tak adil. Hanya ada luka, baik yang tampak maupun yang tersembunyi—dan terkadang, luka tersembunyi itulah yang paling cepat membunuh.

Begitu juga Israel. Mereka mungkin masih berdiri, masih menggempur, masih menyombongkan teknologi. Tapi jika 100.000 tentaranya akan jatuh ke dalam jurang trauma pada 2028, maka yang runtuh bukan hanya tubuh, tapi makna keberadaan mereka sebagai sebuah negara.

Dan dari tanah jauh bernama Indonesia, kita hanya bisa berkata: inilah harga yang harus dibayar oleh bangsa yang menukar nurani dengan peluru.

1 Comment

1 Comment

  1. Pingback: Kemenangan yang Membunuh: Dilema Tentara Israel - vichara.id

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer