Opini
Logika Trump: Ledakan Jadi Bahasa Perdamaian?

Laporan terbaru tentang Presiden AS Donald Trump yang menyetujui pengiriman bom seberat 2.000 pon ke Israel setelah sebelumnya dihentikan oleh pemerintahan Biden membuka babak baru dalam logika diplomasi. Trump tampaknya telah menemukan formula baru: lebih banyak ledakan, lebih sedikit pembicaraan. Logika ini, meski terlihat aneh, tampaknya cukup konsisten dengan pendekatan khasnya.
Bom-bom tersebut, yang disebut ‘bunker busters,’ sebelumnya dihentikan pengirimannya karena kekhawatiran penggunaannya di daerah padat penduduk seperti Gaza. Tetapi dengan Trump di kursi kemudi, kekhawatiran itu tampaknya dianggap sebagai detail kecil yang bisa diabaikan. Apa pentingnya nyawa warga sipil ketika yang dipertaruhkan adalah “keamanan” sekutu strategis?
Keputusan ini dikomunikasikan hanya beberapa saat sebelum Hamas melepaskan empat tentara wanita Israel dalam pertukaran tahanan. Sementara langkah ini bisa saja dipandang sebagai upaya Trump untuk “memperkuat perdamaian,” kesan yang ditinggalkan justru sebaliknya: bahwa perdamaian hanya bisa dicapai dengan memberi satu pihak alat untuk menghancurkan pihak lainnya.
Langkah Trump ini menyoroti betapa pendekatan diplomasi berbasis kekerasan masih sangat hidup dan populer di beberapa kalangan. Jika di masa lalu negosiasi melibatkan meja bundar dan dialog, kini meja tersebut tampaknya sudah digantikan oleh gudang senjata berat. Israel, yang sudah menjadi penerima terbesar bantuan militer AS, kini memiliki arsenal yang lebih besar untuk menegaskan posisinya.
Namun, apa yang terjadi pada mereka yang berada di sisi lain bom tersebut? Di Gaza, tempat di mana ledakan tidak hanya menghancurkan bangunan tetapi juga memecah kehidupan, dampak dari kebijakan ini tidak dapat diremehkan. Sejumlah laporan mencatat bahwa lebih dari 13.000 anak-anak Palestina telah menjadi korban konflik, sebagian besar akibat serangan udara yang tak kenal ampun.
Ironisnya, Israel secara konsisten menyangkal sengaja menargetkan warga sipil, sering kali menyalahkan Hamas atas tingginya jumlah korban di Gaza. Dalam narasi ini, bom seberat 2.000 pon bukanlah alat penghancur, melainkan simbol dari “komitmen terhadap keamanan nasional.” Logika ini, meski absurd, tampaknya cukup efektif untuk membungkam kritik internasional.
Trump, dalam gaya khasnya, tidak hanya memperlakukan kebijakan ini sebagai langkah strategis, tetapi juga sebagai pernyataan politik. Dengan mencabut larangan pengiriman senjata berat, ia memperkuat posisinya di antara para pendukung pro-Israel di dalam negeri. Langkah ini jelas menunjukkan bahwa diplomasi, bagi Trump, adalah permainan zero-sum, di mana satu pihak menang dengan membuat pihak lain kehilangan segalanya.
Keputusan ini juga membawa implikasi yang lebih luas bagi kawasan Timur Tengah. Dengan mengirimkan senjata yang semakin destruktif, AS tidak hanya memperumit konflik, tetapi juga mempersulit upaya-upaya diplomasi yang sesungguhnya. Kesenjangan kekuatan antara Israel dan Palestina semakin melebar, menciptakan siklus kekerasan yang tampaknya tidak akan pernah berakhir.
Selain itu, langkah ini mengirimkan pesan kepada dunia bahwa AS, di bawah Trump, tidak lagi peduli dengan aturan main internasional atau tanggung jawab moral. Prinsip-prinsip seperti perlindungan terhadap warga sipil atau hak asasi manusia tampaknya telah menjadi semacam catatan kaki dalam kebijakan luar negeri Washington.
Bagi Palestina, pengiriman bom ini menandakan babak baru dalam perjuangan mereka. Setiap kali bom dijatuhkan, narasi tentang ketidakadilan semakin diperkuat. Dan meskipun suara mereka sering kali tenggelam di tengah propaganda yang lebih besar, tragedi yang mereka alami menjadi bukti nyata kegagalan diplomasi berbasis kekerasan.
Langkah Trump ini bukan hanya soal Israel dan Palestina; ini juga tentang bagaimana dunia memandang kekuatan dan diplomasi. Ketika bom menjadi alat negosiasi, apa yang tersisa dari ide perdamaian? Jika perdamaian hanya berarti memenangkan perang, maka dunia kita sedang menuju jalan tanpa akhir.
Mungkin, dalam logika Trump, ledakan adalah bahasa universal yang lebih mudah dimengerti daripada kata-kata. Tetapi bagi mereka yang hidup di bawah ancaman bom tersebut, ledakan bukanlah bahasa; itu adalah kehancuran. Dan tidak ada yang lebih jauh dari perdamaian daripada kehancuran yang tak terkendali.