Connect with us

Opini

Literasi Merosot, Apa yang Salah?

Published

on

Hampir sepertiga penduduk Austria—negara yang terletak di jantung Eropa dan dikenal kaya akan budaya, sejarah, serta warisan intelektual—ternyata bergulat dengan keterampilan membaca yang lemah. Angka dari Statistics Austria ini mencengangkan: 29% atau sekitar 2,6 juta dari 9 juta jiwa menghadapi kesulitan memahami bacaan dasar. Di tengah gemerlap Wina, kota musik dan filsafat, jutaan orang dewasa kesulitan memahami petunjuk sehari-hari, informasi kesehatan, atau bahkan berita yang seharusnya membentuk wawasan mereka.

Data yang dirilis awal 2025 ini bukan sekadar statistik kering—ia mengetuk pintu kesadaran kita. Dalam rentang 2012 hingga 2023, jumlah penduduk Austria yang mengalami masalah membaca melonjak 11,9%. Kenaikan ini menimbulkan kegelisahan kolektif. Bagaimana bisa, di era ketika informasi begitu melimpah, keterampilan dasar seperti membaca justru mengalami kemunduran? Ini bukan hanya persoalan Eropa. Ini adalah cermin yang memantulkan kegamangan global, termasuk kita di Indonesia.

Laporan itu secara terang menunjuk kelompok yang paling terdampak: pekerja dengan kualifikasi menengah dan rendah—mereka yang sejatinya menjadi tulang punggung kehidupan sehari-hari. Mereka yang menjaga kebersihan kota, mengantar barang, atau bekerja di pabrik—justru paling rentan tersisih dari akses terhadap informasi tertulis yang semakin kompleks.

Rata-rata kemampuan literasi di Austria berada pada angka 254 poin (usia 16–65 tahun), tertinggal dari standar OECD yang berada di 260 poin. Sekilas tampak tipis, tetapi dalam kebijakan publik dan dunia kerja, selisih kecil ini bisa berujung pada ketimpangan besar. Meski generasi muda Austria (usia 16–24 tahun) masih melampaui rerata OECD, gambaran umum tetap suram. Generasi yang lebih tua, terutama di atas usia 45, berada jauh di bawah harapan.

Direktur Jenderal Statistics Austria, Tobias Thomas, mengatakan, “Perbedaan keterampilan membaca di kalangan dewasa sangat besar, dan jurang ini terus melebar.” Pernyataan itu bukan sekadar catatan teknis, tapi lonceng peringatan yang pantas menggema jauh melampaui perbatasan Austria. Ada sesuatu yang salah dalam sistem pendidikan, dalam cara masyarakat mengelola akses terhadap pengetahuan.

Salah satu penyebabnya adalah perubahan drastis dalam kebiasaan membaca. Konsumsi bacaan panjang seperti koran dan majalah menurun tajam. Warga Austria kini lebih banyak mengakses informasi melalui pesan singkat, email, atau media sosial—tren global yang tak asing juga bagi kita di Indonesia. Masalahnya, bacaan-bacaan instan semacam ini jarang menuntut daya pikir mendalam. Padahal, teks panjang mengasah nalar, menghubungkan ide, dan melatih kesabaran intelektual.

Di Indonesia, situasinya bahkan lebih mengkhawatirkan. Laporan UNESCO pada 2017 menyebut minat baca kita sangat rendah—hanya 0,001 buku per orang per tahun. Itu berarti, dari seribu orang, hanya satu yang membaca satu buku dalam setahun. Ironisnya, ini terjadi di saat ponsel pintar begitu mudah dijangkau, tapi akses terhadap bahan bacaan bermutu—terutama di daerah terpencil—masih sangat timpang.

Bukan hanya keterampilan membaca yang melemah. Kemampuan matematika dasar juga mengalami penurunan mencolok. Data Statistics Austria mencatat, 22,6% penduduknya kini mengalami kesulitan dalam hitungan sehari-hari—kenaikan 6,7% dibandingkan tahun 2012. Ini berarti lebih dari seperlima populasi tidak percaya diri menghitung anggaran, memahami diskon, atau mengelola keuangan pribadi. Jika membaca adalah fondasi pemahaman, maka berhitung adalah fondasi bertindak. Ketika keduanya rapuh, daya hidup warga negara pun terancam.

Kita di Indonesia pun tidak lebih baik. Survei PISA 2022 menunjukkan skor matematika pelajar Indonesia berada di angka 366—jauh di bawah rata-rata OECD, yang mencapai 476. Kondisi ini diperburuk oleh pandemi COVID-19. Sekolah daring yang dijalankan dalam situasi darurat menghadirkan banyak kendala: akses internet yang tak merata, guru yang belum siap, dan siswa yang belajar dalam keterbatasan ruang dan perhatian.

Pandemi memang membawa pukulan telak terhadap dunia pendidikan, bukan hanya di negara berkembang, tetapi juga di negara-negara maju. Di Eropa, penurunan kemampuan literasi terlihat nyata. PISA 2022 mencatat penurunan skor literasi di Jerman dan Belanda. Anak-anak kehilangan interaksi langsung, bimbingan guru, dan akses ke sumber bacaan fisik. Di Indonesia, cerita serupa terulang: jutaan siswa tak punya gawai, sinyal, atau bahkan lingkungan belajar yang mendukung.

Dan bukan cuma anak-anak yang terdampak. Banyak orang dewasa, terutama kelompok lanjut usia atau migran, tersingkir dari gelombang digitalisasi. Mereka tidak tersentuh program pelatihan ulang. Tak sedikit pula yang merasa teknologi bukan wilayah mereka. Di sinilah terlihat jelas kesenjangan antar generasi. Di Austria, seperti juga di Indonesia, kesenjangan ini kian mencolok.

Namun menariknya, tidak semua negara mengalami penurunan yang sama. Di Rusia, misalnya, lembaga jajak pendapat VTSIOM melaporkan bahwa pada November 2024, sebanyak 87% responden menyatakan mereka membaca sesuatu dalam sepekan terakhir. Yang mengejutkan, bacaan fiksi menempati posisi tertinggi (40%), mengalahkan berita dan media sosial (37%). Meski media visual mendominasi zaman, membaca tetap dianggap sebagai jalan mencari pengetahuan. Apa yang dilakukan Rusia, yang mungkin luput dilakukan Austria dan negara lain?

Kita bisa bertanya lebih jauh: apakah budaya baca itu semata dibentuk oleh sistem pendidikan? Ataukah oleh tradisi keluarga dan nilai yang ditanamkan sejak kecil? Di Indonesia, kita punya kekayaan tradisi lisan—cerita rakyat, dongeng, hikayat. Tapi mengapa buku tidak menjadi bagian dari keseharian kita? Apakah layar ponsel telah mencuri pesona lembaran kertas?

Konsekuensinya sangat nyata dan serius. Individu yang lemah literasi dan numerasi akan kesulitan memahami petunjuk obat, kontrak kerja, atau berita politik. Mereka menjadi lebih rentan terhadap informasi palsu dan manipulasi. Dalam demokrasi, ini berbahaya. Jika seseorang tidak mampu membedakan fakta dari hoaks, bagaimana ia bisa membuat pilihan politik yang bijak?

Lebih jauh, rendahnya keterampilan dasar ini membebani ekonomi. Produktivitas pekerja menurun, biaya pelatihan meningkat, dan daya saing nasional terancam. Di Austria, literasi yang berada di bawah standar OECD dapat menjadi batu sandungan besar dalam menghadapi tantangan abad ke-21. Indonesia pun tak luput. Skor PISA kita yang rendah terus menjadi pengingat bahwa kita masih tertinggal di jalur inovasi dan teknologi.

Kesenjangan pun meluas. Anak-anak yang lahir dari orang tua dengan kemampuan literasi rendah cenderung mengulangi pola yang sama. Di desa-desa Indonesia, perpustakaan sekolah masih jarang ditemukan. Menurut data Kemendikbud 2023, hanya 27% sekolah dasar memiliki perpustakaan yang layak. Bagaimana anak-anak akan mencintai membaca, jika akses terhadap buku saja begitu terbatas?

Dan orang dewasa—para pekerja, migran, dan lansia—sering kali diabaikan. Mereka jarang menjadi sasaran program pelatihan literasi ulang. Di Austria, fenomena ini terlihat jelas. Di Indonesia, dampaknya justru lebih luas, karena populasi usia kerja kita sangat besar. Ketika fondasi ini rapuh, apa yang bisa kita bangun di atasnya?

Refleksi ini membawa kita pada satu kesimpulan besar: literasi bukan semata keterampilan teknis membaca huruf dan angka. Ia adalah kemampuan memahami dunia, menjalin gagasan, menimbang informasi, dan membentuk keputusan. Ketika Austria, negara yang dikenal cemerlang di bidang budaya dan pendidikan, menemukan 2,6 juta warganya terhambat oleh masalah literasi, kita patut menyadari bahwa tak ada negara yang benar-benar kebal.

Indonesia menghadapi tantangan serupa, bahkan mungkin lebih berat. Minat baca yang rendah, akses yang timpang, dan ketergantungan pada informasi instan menjadi kombinasi yang mengkhawatirkan. Teknologi bisa menjadi jembatan, tapi juga jurang. Pandemi telah berlalu, tetapi luka yang ditinggalkan masih dalam.

Apa yang bisa kita lakukan sekarang?

Pemerintah dapat menggencarkan program pelatihan literasi untuk dewasa, membangun perpustakaan komunitas, dan memperkuat kurikulum yang menekankan pemahaman, bukan sekadar hafalan. Sekolah perlu menciptakan budaya baca yang hidup—bukan hanya lewat tugas, tapi lewat kegiatan yang menggugah rasa ingin tahu. Orang tua bisa memulai dari hal sederhana: membacakan cerita, mencontohkan kebiasaan membaca.

Dan kita, sebagai individu, bisa memulai dari satu halaman buku. Kecil, tapi bermakna.

Laporan Statistics Austria dan survei PISA bukan hanya sekadar angka. Mereka adalah peringatan yang harus kita dengar. Jika kita terus membiarkan literasi merosot, maka masa depan pun akan ikut meredup.

Pertanyaannya kini: apa langkah kita selanjutnya?

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *