Opini
Lima Target Baru Israel di Gaza: Misi Mustahil Jilid Dua

Kabinet keamanan Israel akhirnya memberi lampu hijau pada rencana Benjamin Netanyahu untuk menguasai Gaza, bukan sekadar lewat serangan militer, tapi dengan lima target ambisius yang terdengar seperti daftar belanja politik. Perlucutan senjata Hamas, pembebasan semua tawanan, demiliterisasi total Gaza, penguasaan penuh keamanan bahkan setelah perang usai, dan penyerahan wilayah kepada “pemerintahan alternatif” yang bukan Hamas maupun Otoritas Palestina. Di atas kertas, tujuan itu tampak rapi. Di lapangan, ia terdengar seperti mimpi siang bolong—apalagi bila kita ingat bahwa tiga tujuan perang sebelumnya sudah hampir dua tahun terseret tanpa hasil berarti: membebaskan sandera, menumpas Hamas, dan memastikan keamanan permanen. Kalau begitu, kalau lima target baru ini juga gagal, apakah nanti akan ada “Operasi Gaza: Season 3” dengan naskah baru dan musuh yang diperbarui?
Masalahnya bukan sekadar soal muluk-muluknya target, tapi betapa logika di baliknya kerap berdiri di atas lumpur. Demiliterisasi total Gaza, misalnya, terdengar indah bagi siapa pun yang tidak mau lagi mendengar bunyi roket atau ledakan. Tapi dalam kenyataan, itu berarti mencabut hak masyarakat untuk membela diri dari pendudukan yang terus berlanjut. Dunia sudah punya banyak contoh: tidak ada demiliterisasi yang netral ketika satu pihak tetap menguasai udara, darat, dan laut. Kalau pun Hamas dilucuti, siapa yang menjamin warga sipil Gaza tak akan hidup di bawah todongan senjata tentara Israel selamanya?
Perlucutan senjata Hamas sebagai tujuan resmi pun mengundang tanya besar. Israel telah melancarkan operasi militer besar-besaran selama hampir dua tahun dengan dalih membasmi kelompok itu. Namun Hamas tetap ada, bahkan tetap mampu melancarkan serangan meski fasilitas mereka hancur berkali-kali. Ini bukan hanya soal kegagalan taktis, tapi juga kegagalan memahami bahwa perlawanan bukan sekadar soal gudang senjata, melainkan soal keberanian dan kemarahan yang dipupuk dari ketidakadilan. Mengira Hamas akan hilang hanya karena senjatanya disita sama saja seperti berpikir api akan padam hanya karena embernya diambil.
Tujuan ketiga—membebaskan semua tawanan—mengingatkan kita pada janji lama yang tak kunjung ditepati. Sejak awal perang, pembebasan sandera selalu jadi salah satu alasan moral yang dikibarkan. Tapi hingga kini, negosiasi kerap buntu, operasi penyelamatan berujung korban tambahan, dan keluarga para tawanan mulai mempertanyakan sendiri strategi pemerintahnya. Ironisnya, operasi yang mengklaim ingin “menyelamatkan” kadang justru memperbesar risiko bagi mereka yang disandera.
Lalu ada target “penguasaan penuh keamanan” bahkan setelah perang berakhir. Frasa ini terdengar seperti eufemisme untuk “pendudukan permanen”. Bagaimana mungkin sebuah wilayah bisa disebut “bebas” atau “didemiliterisasi” kalau pihak luar masih memegang kendali penuh atas siapa yang boleh keluar-masuk, apa yang boleh dibangun, dan siapa yang boleh memegang senjata? Dalam bahasa sederhana, ini seperti seseorang mengaku sudah keluar dari rumah Anda, tapi tetap membawa kunci, duduk di teras, dan mengawasi semua yang Anda lakukan.
Yang paling absurd mungkin adalah rencana menyerahkan Gaza kepada “pemerintahan alternatif” yang bukan Hamas maupun Otoritas Palestina. Siapa tepatnya yang dimaksud? Pihak ketiga netral? Sebuah pemerintahan boneka? Atau lembaga donor internasional yang harus bekerja sambil menuruti perintah keamanan Israel? Dalam sejarah kolonialisme, ini trik lama: membentuk entitas lokal yang tampak mandiri tapi sejatinya bergantung penuh pada sang penjajah. Bedanya, kini kemasannya diberi label “alternatif” agar terdengar inovatif di telinga diplomat.
Ini semua bukan pertama kalinya Israel mengubah tujuan operasi mereka di Gaza. Dari perang ke perang, narasinya bergeser, tapi benang merahnya tetap: tujuan awal gagal, lalu diganti dengan target baru yang dikemas lebih “strategis” agar terlihat seperti rencana segar. Seolah kegagalan sebelumnya bisa dihapus hanya dengan mengganti slide presentasi. Mungkin, kalau kegagalan ini berlanjut, kita akan mendengar target yang lebih absurd: mengubah iklim Gaza agar tidak cocok untuk perang, atau membuat perjanjian damai dengan syarat warga Gaza pindah ke planet lain.
Bagi masyarakat internasional, lima tujuan baru ini menambah daftar panjang kontradiksi yang sulit dicerna. Secara hukum internasional, pendudukan yang dikemas dengan jargon keamanan tetaplah pendudukan. Tapi di forum global, suara kecaman sering berhenti di level retorika. Pernyataan “kami prihatin” atau “kami mengecam” sudah menjadi semacam mantra diplomatik yang diucapkan dengan intonasi pas tapi tanpa niat mengubah realitas. Dunia tampak puas dengan perannya sebagai komentator, sementara di lapangan, Gaza terus menjadi laboratorium eksperimen kekuasaan.
Bagi kita di Indonesia, yang punya sejarah dijajah berabad-abad, skenario ini seharusnya terasa akrab. Dulu, kolonialisme datang dengan bendera dan kapal perang; sekarang, ia datang dengan konferensi pers, target operasi, dan bahasa manis tentang “keamanan” dan “pemerintahan alternatif”. Bedanya, kali ini dunia bisa menonton semuanya secara langsung di ponsel masing-masing, namun tetap merasa tidak berdaya. Mungkin inilah kolonialisme gaya abad 21: bukan hanya menaklukkan wilayah, tapi juga mengendalikan narasi.
Netanyahu mungkin percaya bahwa lima tujuan ini akan membuatnya dikenang sebagai pemimpin yang menuntaskan “masalah Gaza” sekali untuk semua. Tapi sejarah punya kebiasaan buruk terhadap pemimpin yang terlalu percaya pada rencananya sendiri. Tujuan yang terlihat megah di meja rapat bisa runtuh di medan tempur. Dan ketika itu terjadi, bukan tidak mungkin kita akan kembali mendengar pengumuman baru, lengkap dengan daftar target segar yang, sekali lagi, terdengar seperti solusi final—sampai gagal berikutnya tiba.
Pada akhirnya, yang paling mengenaskan bukanlah kegagalan Israel mencapai tujuan-tujuannya, tapi kenyataan bahwa kegagalan itu dibayar dengan nyawa warga Gaza, sebagian besar perempuan dan anak-anak. Bagi mereka, pergantian target hanyalah pergantian alasan untuk terus membombardir rumah, sekolah, dan rumah sakit. Dan bagi dunia, semua ini mungkin hanya bab baru dalam buku tebal konflik Timur Tengah, yang dibaca sambil menyeruput kopi pagi. Kita hanya bisa berharap, suatu hari, daftar target itu diganti dengan satu tujuan sederhana yang selama ini diabaikan: meninggalkan tanah Palestina untuk selamanya.