Opini
Lima Dari Enam Korban Gaza Adalah Warga Sipil

Angka bisa menipu, tapi kadang justru angka yang paling jujur membongkar kebohongan. Lima dari enam orang Palestina yang terbunuh di Gaza ternyata bukanlah pejuang bersenjata, melainkan warga sipil biasa. Anak-anak yang berlari di lorong sempit kamp pengungsi, perempuan yang sedang menyiapkan roti, atau lansia yang hanya menunggu waktu di rumah reyotnya. Rasio sederhana ini menyingkap betapa murahnya nyawa orang Palestina di hadapan mesin perang Israel.
Ketika laporan investigasi The Guardian, +972 Magazine, dan Local Call membongkar data bocoran dari militer Israel sendiri, seketika semua propaganda runtuh. Dari 53.000 orang yang sudah meninggal, hanya 8.900 yang bisa dikategorikan pejuang. Sisanya, lebih dari 80 persen, adalah manusia-manusia yang tidak pernah mengangkat senjata. Ironi besar, karena Israel kerap menyebut operasi militernya “presisi tinggi” dengan target yang “terukur.” Jika ini yang mereka sebut presisi, saya tak bisa membayangkan apa arti kebrutalan.
Dalam logika perang modern, ada ambang batas yang masih sering dijadikan pembenaran: collateral damage. Tapi apa jadinya jika “kerusakan tambahan” justru menjadi inti dari strategi? Saya rasa, di Gaza, bukan pejuang yang dikejar, melainkan kehidupan itu sendiri. Rumah hancur, sekolah rata, rumah sakit lumpuh. Apa yang bisa dijelaskan dari fakta bahwa satu keluarga bisa hilang seketika dalam serangan udara, hanya karena rumahnya berada di dekat titik yang dituduh menyembunyikan senjata? Seolah-olah menjadi warga Gaza adalah kejahatan itu sendiri.
Saya teringat analogi sederhana: membasmi tikus di sawah dengan cara membakar seluruh padi. Mungkin memang tikusnya mati, tapi yang lenyap jauh lebih banyak adalah hasil panen yang menjadi sumber hidup orang banyak. Cara berpikir inilah yang kini dipraktikkan Israel, lalu dengan enteng dibungkus kata “hak membela diri.” Dunia digiring untuk percaya bahwa ini normal, wajar, bahkan sah menurut hukum internasional. Padahal, semua tahu, membunuh delapan orang tak bersalah demi menyingkirkan satu musuh bukanlah pembelaan diri, melainkan penghancuran massal.
Lucunya, ketika media internasional menanyakan soal data ini, militer Israel buru-buru meralat, bukan dengan membantah substansi, melainkan sekadar mengganti kalimat. Mereka berkata “angka itu tidak akurat” tanpa menjelaskan bagian mana yang salah. Seperti murid nakal yang ketahuan menyontek tapi justru menuduh catatan guru tidak jelas. Ketergesaan ini menyingkap sesuatu: mereka tahu kebenaran itu sudah bocor, hanya saja belum siap menghadapinya di ruang publik.
Tetapi mari kita jujur: seberapa jauh laporan semacam ini akan mengguncang dunia? Kita hidup di era ketika foto bayi tertimbun reruntuhan bisa viral semalam, tapi esoknya tenggelam oleh isu artis yang ribut di televisi. Dunia internasional, yang katanya menjunjung tinggi hak asasi manusia, justru banyak diam. Amerika Serikat tetap mengirim bantuan militer miliaran dolar, Eropa sibuk berbasa-basi dengan “keprihatinan” yang kosong, dan sebagian besar negara Arab memilih menyembunyikan wajah di balik tirai normalisasi. Pada akhirnya, kita bertanya: apakah laporan ini akan menjadi peluru moral untuk menghentikan kebiadaban, atau sekadar catatan kaki yang tenggelam di bawah orkestrasi propaganda Israel?
Saya rasa, jawabannya tidak sederhana. Di satu sisi, laporan ini jelas mempermalukan Israel, karena membongkar kebohongan narasi mereka sendiri. Gerakan rakyat internasional, dari kampus hingga jalanan, akan menjadikannya bahan bakar baru untuk menekan pemerintah. Tapi di sisi lain, elite politik dunia seakan terikat pada “nyanyian” Israel, sebuah melodi sumbang yang dimainkan berulang-ulang dengan lirik tentang “melawan terorisme.” Nyanyian itu, anehnya, tetap membuat kaki para penguasa menari, meski lantainya sudah penuh darah.
Bagi kita di Indonesia, data ini seharusnya menggugah nurani. Kita tahu rasanya dijajah, kita hafal bagaimana hidup di bawah bayang-bayang kekuatan asing. Bukankah absurd jika kita justru ikut-ikutan bungkam, seolah nyawa ribuan anak Palestina hanyalah angka statistik? Saya membayangkan, andai data semacam ini muncul di masa penjajahan Belanda, mungkin dunia akan menyebut pembantaian itu sebagai “operasi pembersihan.” Dan rakyat kita waktu itu hanya bisa menatap langit, menahan lapar, sambil bertanya: apakah dunia peduli?
Ironi itu kini berulang di Gaza. Bedanya, kali ini kita adalah saksi nyata. Tidak ada alasan untuk berpura-pura tidak tahu. Kita melihat angka-angka, kita menyaksikan gambar, kita mendengar jeritan yang menembus layar. Semua bukti sudah di depan mata. Pertanyaannya tinggal satu: apakah kita berani melawan narasi resmi yang terus-menerus memoles kekejaman menjadi normalitas?
Kita semua tahu, perang bukan sekadar pertempuran senjata, tapi juga pertempuran makna. Israel paham betul bahwa selama narasi mereka diterima, dunia akan tetap menutup mata. Maka setiap kali ada laporan seperti ini, mereka akan buru-buru menutupinya dengan propaganda baru, atau memaksa sekutunya untuk kembali bernyanyi dalam paduan suara lama: “ini soal terorisme, bukan genosida.” Saya rasa, justru di sinilah peran kita: memastikan bahwa suara korban lebih nyaring daripada orkestrasi kebohongan itu.
Dan ketika data ini menunjukkan 83 persen korban adalah warga sipil, mari kita berhenti menyebutnya “perang.” Perang setidaknya mengandaikan adanya dua pihak yang berhadapan di medan yang sama. Yang terjadi di Gaza lebih mirip pemusnahan. Senjata paling canggih ditembakkan ke kota padat penduduk yang terkepung, tanpa jalan keluar, tanpa tempat aman. Itu bukan perang; itu eksekusi massal dengan dalih yang dibungkus hukum.
Akhirnya, saya rasa kita tidak bisa lagi hanya menunggu dunia bergerak. Dunia internasional, dengan segala kepentingannya, mungkin akan tetap menari di bawah “nyanyian” Israel. Tapi kita, sebagai bagian dari umat manusia, bisa memilih untuk tidak ikut menari. Kita bisa memilih untuk bersuara, meski kecil, meski serak, meski sering diabaikan. Sebab, diam adalah bagian dari nyanyian itu sendiri. Dan saya tidak ingin menjadi bagian dari paduan suara yang merayakan pembantaian dengan nada manis.