Connect with us

Opini

Liga Korupsi Indonesia: Sirkus Penjarahan yang Tak Pernah Tutup Panggung

Published

on

Selamat datang di Indonesia, negeri tropis dengan pemandangan memesona: gunung menjulang, laut membiru, dan korupsi yang tak pernah kehilangan panggung. Di sini, Liga Korupsi Indonesia (LKI) bukan sekadar wacana, melainkan kompetisi nasional yang lebih seru daripada Piala Dunia—dengan peserta eksklusif dari kelas atas, aturan main fleksibel, dan hadiah yang tak terbatas. Sayangnya, yang mereka perebutkan bukan trofi, tapi uang rakyat.

Musim Terbaru: Drama Tanpa Akhir

Musim baru LKI dibuka dengan skandal spektakuler: dugaan korupsi di PT Pertamina Patra Niaga. Berapa angkanya? Resminya belum ada, tapi kalau gosip warung kopi benar, cukup untuk beli pulau pribadi, jet mewah, dan mungkin sekalian sewa suaka di negara tanpa ekstradisi. Tak heran, para atlet LKI ini bukan pemain sembarangan. Mereka lebih jago dari pesulap terbaik—satu detik uang rakyat ada di kas negara, detik berikutnya sudah berubah jadi vila mewah di Bali atau kapal pesiar di Mediterania. Sementara rakyat? Masih antre LPG 3 kg, menggenggam doa agar hari ini regulator tak kosong.

Tapi ini bukan sekadar pertunjukan sulap. Ini strategi kelas dunia. Setiap lembar dokumen yang raib, setiap jejak digital yang dihapus, setiap kesaksian yang mendadak amnesia, semua adalah bagian dari seni mencuri tingkat tinggi. Jika sepak bola punya tiki-taka, LKI punya ‘tiki-raib’, strategi oper-operan uang yang begitu cepat dan licin hingga tak ada yang bisa melacaknya.

Klasemen LKI: Dari Pemula Hingga Legenda

Dalam dunia korupsi, ada kasta dan peringkat. Yang di puncak, kita sebut saja “271T Elite”—sekelompok dewa korupsi yang sukses mengubah uang negara menjadi angka yang sulit dibaca. Di bawahnya, ada “193T Pro”—level bagi mereka yang sedikit lebih hemat, tapi tetap cukup untuk bikin Elon Musk iri. Lalu ada divisi “50T” dan “10T”, bagi mereka yang baru belajar cara menyembunyikan aset. Ini bukan sekadar kompetisi individu; ini ekosistem yang dipelihara dengan telaten oleh oligarki, solidaritas elit, dan hukum yang bisa dinegosiasi.

Tapi jangan salah, di luar kasta elit ini, ada juga ‘rookie’—para pejabat lokal yang baru belajar cara main. Mereka mungkin belum bisa mencuri triliunan, tapi setidaknya sudah bisa membobol anggaran bansos, proyek desa, atau sekadar mark-up pengadaan seragam sekolah. Dari kecil dulu, dari lokal ke nasional. Sebuah karir yang menjanjikan bagi mereka yang tahu caranya.

Keahlian Para Atlet LKI

Para pemain di LKI punya keterampilan khusus yang tak diajarkan di Harvard. Ada yang jago akting—muka polos, tangan di dada, bersumpah “saya cuma pegawai kecil,” padahal rumahnya lebih megah dari istana negara. Ada spesialis sulap—dalam laporan ada proyek jalan tol, tapi di lapangan cuma jalan setapak berlubang. Dan tentu saja, ada ahli strategi: uang negara “diinvestasikan” ke sana-sini, lalu dicairkan ke rekening pribadi. Bukti paling epik datang dari seorang legenda LKI: rumah mewahnya diklaim “hanya kontrakan.” Kontrakan di mana, Pak? Dubai?

Ada juga spesialis ‘lari estafet’—mereka yang ketika kasus mulai terendus, langsung pindah partai atau jabatan baru. Seolah-olah dengan berganti baju, mereka bisa lepas dari bayang-bayang kejahatan lama. Hebatnya lagi, ada yang bukan cuma pindah partai, tapi juga pindah citra: dari pejabat rakus jadi influencer inspiratif. Sekali tepuk, dua lalat mati: nama bersih, pengikut bertambah.

Wasit Buta, Hukum yang Bisa Tawar-Menawar

LKI bukan hanya soal individu, tapi juga tim yang solid. Ada wasit yang pura-pura buta, hakim yang mendadak amnesia, dan jaksa yang lebih takut pada telepon tengah malam daripada pada hati nurani. Kalau di sepak bola ada kartu kuning, di sini ada amplop cokelat—senjata ampuh untuk menunda sidang, memotong hukuman, atau menghapus kasus dari berita utama. Dua tahun penjara untuk kerugian triliunan? Sudah biasa. Bebas karena “berkelakuan baik”? Standar. Malah ada yang keluar dari bui langsung jadi motivator, ceramah soal “hidup penuh peluang.” Peluang buat siapa? Ya, yang punya kunci brankas tentunya.

Lucunya lagi, ada tradisi menarik di LKI: ‘musim remisi’. Setiap kali hari besar nasional, ratusan koruptor dapat diskon hukuman. Alasannya? “Demi kemanusiaan.” Kemanusiaan siapa? Rakyat yang mereka rampok? Ah, itu urusan lain.

Rakyat: Penonton yang Tak Diundang

Sementara para koruptor bersulang dalam pesta kemenangan, rakyat cuma bisa menonton dari jauh, sambil berjuang bertahan hidup. Ibu-ibu antre minyak dari subuh, bapak-bapak kehilangan motor karena kredit macet, dan anak-anak belajar di sekolah dengan atap nyaris roboh. Mereka bukan peserta LKI—hanya penonton yang tak pernah diundang. “Kapan giliran kita menang?” tanya seorang pedagang kaki lima. Jawabannya pedih: ini liga eksklusif, tiket masuknya bukan keringat, tapi jabatan dan muka tembok setebal beton.

Tapi bukan berarti rakyat tak berusaha melawan. Setiap tahun ada demonstrasi, setiap hari ada laporan di media, setiap detik ada cuitan kritik di media sosial. Tapi seberapa besar dampaknya? Bagi peserta LKI, ini cuma suara bising di latar belakang. Mereka tahu, ujung-ujungnya, semua akan lupa. Kasus baru akan muncul, skandal lama akan tenggelam.

Musim Depan: Babak Baru Penjarahan

Drama LKI tak pernah berakhir. Ada dokumen yang “terbakar” di gudang tua, saksi yang tiba-tiba lupa nama sendiri, dan penyidik yang mendadak dipindah ke pelosok tanpa alasan jelas. Kabarnya, musim depan lebih ambisius—dengan target baru di proyek infrastruktur dan sektor swasta. “Kami butuh inovasi,” kata salah satu “pelatih” liga—maksudnya, inovasi cara menyedot uang rakyat tanpa ketahuan.

Mahasiswa boleh turun ke jalan, aktivis boleh berteriak di media sosial, tapi LKI tetap berjalan. Panggungnya megah, lampunya terang, dan penontonnya semakin apatis. Dan kita? Dipaksa terbiasa. Dipaksa menerima. Sampai akhirnya, korupsi bukan lagi kejahatan, tapi sekadar budaya.

Selamat bertanding, para pencuri berdasi. Liga ini tak akan bubar. Selama sistemnya busuk, panggungnya akan terus menyala. Dan kita, para rakyat biasa, hanya bisa gigit jari sambil berharap, entah kapan, ada yang benar-benar meniup peluit akhir untuk sirkus ini.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *