Connect with us

Opini

Liga Arab Bicara Palestina, Tanpa Palestina!

Published

on

Pertemuan besar itu akhirnya diumumkan. Liga Arab, dengan segala kebesaran dan otoritasnya yang suci, berkumpul untuk membahas nasib Palestina. Namun, ada satu detail kecil—sungguh kecil—yang terlewatkan: Gaza, tempat lebih dari dua juta orang Palestina bertahan hidup di bawah hujan bom, tidak memiliki suara dalam ruangan mewah itu. Hamas? Ah, terlalu merepotkan.

Tentu saja, tidak ada yang benar-benar terkejut. Liga Arab telah lama menjadi panggung sandiwara, di mana para pemimpin bersidang dalam gedung-gedung ber-AC sambil menyeruput kopi mahal. Mereka membahas Palestina dengan wajah penuh keprihatinan, sesekali menggelengkan kepala dengan dramatis. Tapi kali ini, mereka melangkah lebih jauh—mereka memutuskan berbicara soal Palestina tanpa Palestina.

Otoritas Palestina (PA) hadir, tentu saja. Mahmoud Abbas dan kroni-kroninya duduk manis, menikmati status istimewa sebagai satu-satunya ‘perwakilan sah’ Palestina. Ini menarik, mengingat PA hanya berkuasa di Tepi Barat, sementara Gaza, tempat perlawanan sesungguhnya, dibiarkan terisolasi. Namun, aturan main telah ditetapkan: mereka yang menolak tunduk, mereka yang melawan, tak berhak bersuara.

Para pemimpin Arab kemudian berdiskusi panjang lebar tentang bagaimana mereka menolak pemindahan paksa warga Gaza. Kata-kata mengalir deras, seperti puisi-puisi melankolis yang dibacakan di festival sastra. Mereka mengecam, mengutuk, dan menyampaikan solidaritas. Namun, seperti biasa, semua berhenti di kata-kata. Tak ada sanksi, tak ada tekanan nyata. Hanya deklarasi dan janji kosong.

Ironisnya, pertemuan ini justru memperlihatkan betapa mandulnya Liga Arab dalam menangani krisis Palestina. Mereka menolak pemindahan paksa, tetapi tidak menawarkan solusi nyata untuk menghentikan genosida yang sedang berlangsung. Seperti seorang penjaga toko yang dengan santai menyaksikan perampokan besar-besaran sambil berkata, “Saya tidak setuju dengan ini, tetapi saya juga tidak akan melakukan apa pun.”

Lebih lucu lagi, pertemuan ini digelar sebagai respons atas pernyataan Donald Trump tentang ‘pengambilalihan Gaza’. Mantan presiden AS yang terkenal spontan dan sembrono itu menyebut akan “mengubah Gaza menjadi Riviera Timur Tengah.” Sebuah fantasi ala kolonialis yang, anehnya, masih memiliki pendukung di antara beberapa negara Arab yang bermimpi melihat Palestina menjadi taman hiburan wisata Barat.

Bahrain, yang kini menjabat sebagai presiden Liga Arab, dengan sigap memimpin seruan untuk menggelar pertemuan darurat. Ya, Bahrain—negara yang telah menormalisasi hubungan dengan zionis dan kini ingin menegaskan posisinya sebagai ‘pembela Palestina’. Sebuah ironi yang lebih tajam dari pedang Damaskus. Dengan kepemimpinan seperti ini, siapa butuh musuh?

Tentu, beberapa pemimpin Arab, seperti Mesir dan Yordania, mengeluarkan pernyataan keras menolak pemindahan paksa warga Gaza. Tapi itu tak lebih dari pengulangan narasi lama. Mereka tahu, dan semua orang tahu, bahwa jika zionis memutuskan untuk mengosongkan Gaza besok, mereka tidak akan mengerahkan tentara untuk menghentikannya. Mereka hanya akan mengutuk, menggelar pertemuan lain, lalu kembali tidur nyenyak di istana mereka.

Dan Hamas? Hamas tetap menjadi elemen yang dilarang dalam pertemuan-pertemuan seperti ini. Mengapa? Karena mereka tidak mengenakan jas mahal atau bicara dalam bahasa diplomasi yang santun. Mereka menolak duduk manis di meja perundingan yang sudah dikontrol sepenuhnya oleh musuh mereka. Mereka memilih bertempur, dan karena itu, mereka dianggap tidak layak menjadi bagian dari ‘solusi’. Sebuah solusi yang, ironisnya, justru ingin mengatur masa depan Gaza tanpa melibatkan mereka yang menguasainya.

Pertemuan ini sebenarnya tidak lebih dari sekadar sesi terapi kelompok bagi para pemimpin Arab. Mereka datang, mengeluh tentang betapa buruknya situasi di Palestina, menyalahkan zionis, menyalahkan Amerika, mungkin juga menyalahkan cuaca panas di Kairo. Lalu, mereka kembali ke negara masing-masing dengan perasaan lega bahwa mereka telah ‘melakukan sesuatu’.

Jika ini adalah upaya untuk menyelamatkan Palestina, maka dunia harus mulai mendefinisikan ulang arti kata ‘menyelamatkan’. Sebab, bagi rakyat Palestina, terutama mereka yang bertahan di reruntuhan Gaza, pertemuan ini tidak lebih dari sandiwara murahan yang bahkan tidak layak ditonton. Tak ada yang berubah, tak ada yang terselesaikan. Liga Arab, sekali lagi, membuktikan bahwa mereka hanya ada untuk menjaga ilusi kepedulian, bukan untuk membawa perubahan nyata.

Jadi, apa kesimpulan dari semua ini? Mudah. Liga Arab telah kehilangan legitimasi mereka dalam membahas Palestina. Mereka berbicara atas nama rakyat yang mereka abaikan, menyusun resolusi yang tak akan ditegakkan, dan mengecam kebrutalan tanpa menawarkan perlawanan. Ini bukan lagi soal diplomasi, ini soal mempertahankan status quo yang menguntungkan mereka sendiri.

Palestina bukan lagi hanya masalah bagi rakyatnya sendiri. Palestina adalah cermin yang menunjukkan betapa bobroknya politik dunia Arab. Jika ada yang masih berharap pada Liga Arab untuk membebaskan Palestina, mungkin saatnya mereka mencari harapan di tempat lain. Sebab, seperti yang telah terbukti berulang kali, Liga Arab bukanlah tempat untuk revolusi. Mereka hanya sebuah klub eksklusif untuk para penguasa yang ingin terlihat peduli tanpa benar-benar peduli.

1 Comment

1 Comment

  1. Pingback: Negara Teluk dan Skandal Pengkhianatan Palestina - vichara.id

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *