Opini
Lelucon Akhir Tahun: Suriah Tuntut Iran 300 Miliar Dolar

Oleh: Lutfi Awaludin Basori
Ada lelucon baru dari Timur Tengah, dan kali ini bukan dari panggung komedi. Pemerintah baru Suriah di bawah kendali Hayat Tahrir al-Sham (HTS) mengumumkan niatnya untuk menuntut Iran sebesar $300 miliar sebagai kompensasi atas kerusakan yang terjadi selama perang. Sebuah klaim fantastis yang terasa seperti adegan film satir, di mana logika diparkir di depan pintu dan absurditas menjadi sajian utama.
Bayangkan seorang pria yang rumahnya dibakar oleh tetangganya yang agresif. Tapi alih-alih menuntut si pembakar, dia justru menuding teman lamanya yang pernah memberinya paku untuk memperbaiki pagar sebagai pelaku utamanya. Begitulah kira-kira logika HTS: menyerang Iran yang sebelumnya menopang Suriah di masa-masa sulit, sementara membiarkan Israel terus mengobrak-abrik negeri mereka tanpa perlawanan berarti.
Ironi ini semakin pahit ketika melihat angka-angka di lapangan. Dalam sepekan terakhir saja, Israel melancarkan lebih dari 800 serangan udara ke Suriah. Kota-kota seperti Damaskus, Homs, dan Deraa dihujani bom yang menghancurkan depot amunisi, sistem pertahanan udara, hingga infrastruktur vital seperti jaringan listrik dan air bersih. Bahkan tank-tank Israel dengan santainya melintasi Golan Heights yang diduduki secara ilegal, melanggar perjanjian internasional. Tapi apa yang dilakukan HTS? Tidak ada. Nol besar. Mereka memilih bungkam, seolah semua itu hanyalah angin malam yang dingin dan berlalu begitu saja.
Sebaliknya, Iran justru diposisikan sebagai kambing hitam. Mereka menyebut dukungan Iran terhadap Bashar al-Assad sebagai tindakan “kriminal dan arbitrer,” tanpa mau mengakui bahwa dukungan tersebut adalah upaya untuk menjaga Suriah dari kehancuran total di tangan kelompok ekstremis. HTS seperti lupa bahwa tanpa intervensi tersebut, mungkin Suriah sudah terpecah belah atau dikuasai sepenuhnya oleh faksi-faksi radikal.
Hukum internasional? HTS tampaknya hanya mengambil bagian yang cocok dengan narasi mereka. Pasal 2 Piagam PBB dengan tegas melarang agresi militer, tetapi Israel yang terang-terangan melanggar kedaulatan Suriah dibiarkan melenggang tanpa tantangan. Sementara itu, tuntutan terhadap Iran—yang sejatinya lebih kompleks dan multi-dimensi—dipublikasikan dengan retorika bombastis. Ini seperti memarahi penjaga toko yang terlambat mengantarkan barang, tetapi memuji perampok yang menghancurkan etalase toko tersebut.
Lebih lucunya lagi, HTS kini mencoba tampil sebagai pahlawan moral, menyerukan pembentukan pemerintahan yang inklusif dan menuduh Iran merusak Suriah. Pernyataan ini lebih cocok menjadi materi meme politik daripada diperlakukan serius. Bagaimana mungkin sebuah kelompok yang memiliki sejarah panjang pelanggaran hak asasi manusia tiba-tiba berbicara soal inklusi dan keadilan?
Tuntutan ini bukan hanya konyol, tetapi juga provokatif. Ini bukan tentang keadilan untuk rakyat Suriah, melainkan bagian dari agenda geopolitik yang dirancang untuk memukul Iran. Jika HTS benar-benar peduli pada rakyat, mereka seharusnya menuntut Israel di pengadilan internasional atas kerusakan nyata yang terjadi, dari penghancuran infrastruktur hingga pelanggaran disengagement line. Tetapi tidak, itu tidak sejalan dengan skrip yang telah mereka siapkan.
Akhirnya, ini hanyalah lelucon pahit dari panggung politik yang semakin absurd. HTS telah menunjukkan prioritasnya: bukan melindungi kedaulatan Suriah, melainkan memainkan peran dalam sandiwara besar yang dirancang untuk menyenangkan para pendukung mereka di luar negeri. Bagi rakyat Suriah, ini bukan hanya penghinaan, tetapi pengkhianatan terang-terangan. Dan bagi kita yang menyaksikan, ini adalah pengingat betapa jauh absurditas bisa berjalan ketika kebenaran diletakkan di kursi belakang.
*Sumber: Turkiyetoday, PressTv