Opini
Legitimasi Suriah: Boneka Geopolitik atau Kedaulatan?

Dunia kembali menunjukkan standar gandanya dalam mengelola kekuasaan dan menentukan siapa yang layak berdaulat. Pemerintah sementara Suriah, yang keberadaannya lebih mirip proyek geopolitik ketimbang representasi sejati dari rakyatnya, kini mendapat berkah legitimasi dari Barat. Bantuan finansial mengalir, sanksi dicabut, dan pernyataan mendayu-dayu tentang kebebasan serta demokrasi kembali menghiasi konferensi internasional. Namun, ada satu elemen yang hilang dari semua ini: persetujuan rakyat Suriah sendiri.
Max Weber, dalam analisisnya tentang legitimasi, menyebutkan bahwa sebuah pemerintahan hanya bisa bertahan jika memiliki dasar yang sah dalam pandangan rakyatnya. Weber membagi legitimasi ke dalam tiga jenis: tradisional, kharismatik, dan legal-rasional. Pemerintah sementara Suriah tampaknya tidak memiliki salah satu dari ketiganya. Mereka bukan kelanjutan dari tradisi yang diakui rakyat, tidak memiliki pemimpin kharismatik yang bisa menggalang dukungan, dan legitimasi legal-rasional mereka juga diragukan karena tak pernah melalui proses demokrasi yang jelas.
Namun, ada bentuk lain dari kekuasaan yang berusaha mereka gunakan, yaitu hegemoni. Di sinilah Gramsci berbicara. Bagi Gramsci, kekuasaan tidak hanya ditentukan oleh paksaan tetapi juga oleh kendali atas wacana. Barat paham betul akan hal ini. Dengan menguasai narasi di media, mereka mencoba menciptakan persepsi bahwa pemerintah sementara Suriah adalah satu-satunya harapan bagi negeri yang terkoyak perang ini. Retorika seperti “demokrasi,” “kebebasan,” dan “hak asasi manusia” dipakai sebagai alat untuk membangun hegemoni, sekalipun realitas di lapangan justru menunjukkan bahwa banyak fraksi bersenjata di Suriah masih menolak tunduk.
Pelonggaran sanksi oleh Swiss, Inggris, Kanada, dan Uni Eropa semakin mempertegas permainan ini. Mereka beralasan bahwa kebijakan ini untuk mendukung transisi politik yang damai. Namun, siapa yang percaya bahwa uang dan kebijakan ekonomi semacam ini akan benar-benar membawa kedamaian? Dalam sejarahnya, intervensi ekonomi justru lebih sering menjadi alat untuk menundukkan pemerintahan baru agar tetap dalam kendali kekuatan global. Yang terjadi bukanlah transisi yang alami, melainkan dominasi ekonomi yang disamarkan dengan dalih bantuan.
Ironinya, Jerman bahkan dengan bangga mengumumkan bantuan 300 juta euro untuk rakyat Suriah dan pengungsi di negara-negara tetangga. Separuh dari dana itu langsung masuk ke Suriah, dengan syarat pemerintah sementara yang baru tidak memiliki kendali penuh atas penggunaannya. Dengan kata lain, pemerintah ini diberi dana tetapi tetap harus mengikuti aturan donatur asing. Ini bukanlah kedaulatan, ini adalah bentuk kolonialisme baru yang dibungkus dengan jargon kemanusiaan.
Jika kita lihat lebih dalam, kebijakan seperti ini bukan sekadar bantuan ekonomi atau dukungan moral, melainkan bentuk rekayasa sosial yang lebih luas. Dengan memastikan pemerintah sementara Suriah mendapatkan suntikan dana dan pencitraan positif di media, Barat mencoba mempercepat proses hegemoninya. Mereka berharap bahwa seiring waktu, kelompok-kelompok bersenjata yang masih menolak pemerintah baru akan kehilangan daya tawar dan akhirnya menyerah pada struktur politik yang telah mereka bentuk.
Tetapi ada satu masalah besar dalam skenario ini: realitas di lapangan tidak bisa dipoles hanya dengan retorika manis dan kucuran dana. Masyarakat Suriah masih terpecah. Fraksi-fraksi bersenjata yang menolak pemerintah sementara bukan hanya masalah teknis, melainkan cerminan dari ketidakpercayaan rakyat terhadap entitas yang mereka anggap sebagai boneka asing. Ini menunjukkan bahwa pemerintah sementara Suriah belum mencapai hegemoni yang stabil, seperti yang diimpikan oleh Gramsci.
Hegemoni yang gagal ini juga disebabkan oleh ketidakmampuan pemerintah sementara untuk memonopoli alat kekerasan, seperti yang dijelaskan Weber dalam konsep negara modern. Negara yang sah adalah negara yang mampu mengendalikan penggunaan kekerasan dalam wilayahnya. Namun, di Suriah, banyak kelompok yang masih memiliki senjata dan menolak tunduk. Dengan kata lain, pemerintah sementara hanya diakui oleh dunia internasional tetapi tidak memiliki kontrol penuh atas negaranya sendiri.
Lebih jauh lagi, jika kita melihat pengalaman sejarah, proyek semacam ini tidak jarang berakhir dengan kegagalan total. Afghanistan adalah contoh yang paling segar. Amerika dan sekutunya mencoba menciptakan pemerintahan yang mereka anggap demokratis dan sah, tetapi pada akhirnya Taliban kembali mengambil alih karena mereka memiliki legitimasi berbasis realitas sosial yang lebih kuat dibandingkan boneka politik yang dipasang Barat. Apakah Suriah akan mengalami nasib yang sama? Kemungkinan itu sangat besar.
Narasi yang dibangun untuk mendukung pemerintah sementara Suriah mungkin akan bertahan dalam konferensi internasional dan pernyataan pers, tetapi di jalanan Aleppo, Idlib, atau Damaskus, kenyataannya jauh berbeda. Rakyat Suriah yang telah bertahun-tahun hidup dalam perang dan penderitaan tahu betul bahwa perubahan politik sejati tidak datang dari luar. Kedaulatan tidak bisa dibeli dengan euro atau dolar. Dan setiap usaha untuk memaksakan pemerintah yang tidak memiliki akar kuat dalam masyarakat hanya akan menghasilkan ketidakstabilan yang lebih panjang.
Pada akhirnya, apa yang kita lihat di Suriah saat ini bukanlah upaya membangun demokrasi, melainkan sebuah eksperimen geopolitik yang bertumpu pada ilusi legitimasi. Pemerintah sementara mungkin mendapat restu dari Berlin, London, dan Ottawa, tetapi di mata rakyatnya sendiri, mereka masih harus berjuang untuk membuktikan bahwa mereka lebih dari sekadar boneka kekuatan asing. Sejarah menunjukkan bahwa legitimasi sejati tidak bisa dipaksakan dari luar—dan jika pemerintah ini tidak segera menemukan jalannya sendiri, masa depan mereka akan sama seperti proyek-proyek serupa yang pernah gagal sebelumnya.
Lebih buruk lagi, dalam konteks global yang semakin tidak stabil, Suriah menjadi lahan pertarungan berbagai kepentingan besar. Rusia dan Iran yang mendukung rezim lama tidak akan tinggal diam, sementara AS dan sekutunya terus memainkan peran bayangan. Alih-alih mencapai stabilitas, Suriah justru menjadi panggung persaingan yang tidak akan berakhir dalam waktu dekat. Sementara itu, rakyatnya tetap menjadi korban dari skenario besar yang dimainkan oleh kekuatan yang bahkan tidak tinggal di tanah mereka sendiri.
*Referensi: