Opini
Lebanon: Negara atau Terminal Cabang Tel Aviv?

Para pengunjuk rasa di Lebanon memblokir jalan menuju Bandara Internasional Beirut-Rafic Hariri pada Kamis malam sebagai respons terhadap penolakan mendaratnya pesawat Iran, yang menyebabkan penumpangnya yang berasal dari Lebanon terlantar di Teheran.
Sebuah pemandangan yang indah, bukan? Sebuah negara berdaulat yang harus meminta izin kepada rezim apartheid sebelum menerima pesawat sipil di bandara sendiri. Seolah-olah Lebanon bukan negara merdeka, melainkan terminal cabang dari maskapai yang izinnya dipegang oleh Tel Aviv.
Sungguh sebuah dunia yang menarik ketika sebuah negara bisa mengancam menghancurkan pesawat sipil dan seluruh isinya hanya karena paranoia terhadap koper-koper berisi manisan dan pakaian. Para penumpang di Tehran mungkin terjebak dalam adegan surealis, bertanya-tanya apakah mereka adalah manusia biasa atau sekadar bidak dalam catur geopolitik yang dimainkan oleh kekuatan asing yang tidak mereka pilih.
Hebatnya lagi, ancaman ini datang dari entitas yang rajin melanggar hukum internasional dan menduduki tanah orang lain selama puluhan tahun. Ya, rezim yang terus mengeluh tentang “keamanan” bandara Beirut adalah rezim yang hampir setiap hari membombardir Gaza, menyerang Suriah, dan mengancam Lebanon tanpa konsekuensi. Sebuah komedi tingkat tinggi yang diproduksi oleh komunitas internasional yang pura-pura tuli.
Lebih menarik lagi, pemerintah Lebanon yang seharusnya menjaga kedaulatan malah memilih tunduk begitu saja. Mereka memutuskan untuk menolak masuknya pesawat Iran bukan karena alasan teknis atau hukum, tapi karena ancaman langsung dari Tel Aviv. Sepertinya pemerintah lebih takut kepada drone zionis dibandingkan dengan kemarahan rakyatnya sendiri yang turun ke jalan membakar ban.
Kemudian datanglah diamnya Amerika Serikat, sang penjaga demokrasi global yang selalu menepuk dada sebagai pembela hak asasi manusia dan kebebasan. Tetapi anehnya, ketika sebuah negara mengancam menembak pesawat sipil, mereka justru memilih menutup mulut. Tentu saja, karena yang melakukan itu adalah sekutu kesayangan mereka. Moralitas hanya berlaku jika sesuai dengan kepentingan mereka.
Jika Iran yang melarang pesawat Lebanon mendarat di Tehran, dunia akan berteriak histeris. Media-media Barat akan menulis tajuk berita tentang “Iran Melanggar Hak Asasi Manusia” atau “Rezim Teheran Kembali Menyandera Warga Sipil”. Tapi ketika zionis yang melakukannya? Tidak ada konferensi pers, tidak ada kecaman, hanya keheningan penuh makna dari para pemimpin dunia.
Lebanon kini bukan hanya negara tanpa stabilitas politik dan ekonomi, tapi juga tanpa kedaulatan. Mereka harus bertanya kepada musuh bebuyutan mereka apakah boleh menerima pesawat di wilayahnya sendiri. Barangkali, dalam waktu dekat, Lebanon juga harus meminta izin apakah mereka boleh mengatur lalu lintas di Beirut atau perlu persetujuan dari kementerian transportasi di Tel Aviv.
Sementara itu, para politisi Lebanon yang sibuk berbicara tentang martabat dan kemerdekaan justru tak mampu berbuat apa-apa selain menyalahkan satu sama lain di televisi. Rakyat turun ke jalan, tapi pejabat sibuk mencari celah bagaimana bisa tetap bertahan dalam sistem korup yang semakin hari semakin tidak relevan. Semua berjalan sesuai skenario, seperti yang selalu terjadi.
Yang lebih menyedihkan, dunia Arab dan Muslim yang selalu berbicara tentang persatuan dan solidaritas pun hanya bisa berkomentar di media sosial. Tidak ada negara yang berani secara terbuka menantang rezim zionis atau mengambil tindakan nyata untuk menekan mereka. Semua puas dengan sekadar pernyataan kecaman, sementara Lebanon dibiarkan menerima penghinaan ini sendirian.
Inilah dunia yang kita tinggali: di mana negara yang seharusnya melindungi rakyatnya malah tunduk pada ancaman, di mana pesawat sipil bisa dianggap sebagai ancaman hanya karena berasal dari negara yang tidak disukai oleh rezim tertentu, dan di mana keadilan hanya ada bagi mereka yang punya kekuatan. Selamat datang di era absurd yang dikendalikan oleh ketakutan dan kepentingan.
Lebanon seharusnya bertanya pada dirinya sendiri: apakah mereka masih memiliki harga diri? Ataukah mereka akan terus bermain dalam skenario yang sudah ditulis oleh mereka yang tidak peduli pada kedaulatan dan kesejahteraan mereka? Jika mereka memilih yang kedua, maka tidak perlu repot-repot menyalakan ban di jalanan. Lebih baik kirimkan saja surat resmi ke Tel Aviv dan tanyakan: “Hari ini, bolehkah kami menjadi negara?