Connect with us

Opini

Lebanon, Dipaksa Lepas Perisai di Tengah Badai

Published

on

Di sebuah negeri kecil di tepi Laut Tengah, rakyatnya sudah lama hidup di bawah bayang-bayang suara pesawat tempur yang melintas tanpa undangan, dentum artileri yang datang tanpa salam, dan ancaman tetangga yang menganggap kedaulatan orang lain hanyalah formalitas di atas kertas. Negeri itu bernama Lebanon, dan sekali lagi, ia sedang dipaksa memilih antara dua hal yang sama-sama pahit: tunduk pada desakan asing untuk melucuti senjata barisan yang dianggap sebagai tameng terakhir, atau mempertahankan kekuatan itu sambil terus dicap sebagai penghalang perdamaian. Ironisnya, pilihan pertama justru bisa membuka pintu bagi perang yang katanya ingin dihindari.

Sebuah jajak pendapat terbaru mengungkapkan wajah jujur rakyat Lebanon. Dilakukan oleh Lebanon’s Consultative Center for Studies and Documentation, survei ini melibatkan 600 responden dari berbagai latar agama dan wilayah. Hasilnya? Lebih dari 71 persen percaya bahwa tentaranya sendiri tak sanggup menahan gempuran zionis sendirian. Sekitar 76 persen bahkan menilai diplomasi tidak cukup untuk menghentikan serangan. Bayangkan, diplomasi yang katanya ujung tombak politik luar negeri, di mata rakyat justru tumpul menghadapi peluru yang melesat dari seberang perbatasan.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Lebih menarik lagi, 58 persen menolak ide melucuti senjata Hizbullah jika tidak ada strategi pertahanan nasional yang jelas. Dan penolakan ini bukan hanya milik satu kelompok. Memang, angka tertinggi datang dari komunitas Syiah dengan 96 persen, tetapi setengah dari warga Druze, hampir setengah warga Sunni, dan sepertiga warga Kristen juga punya nada yang sama. Mereka tidak bicara soal cinta buta pada Hizbullah, tapi pada logika sederhana: jangan membuang pelampung saat kapal masih bocor.

Bahkan soal ancaman dari Suriah, mayoritas warga menunjukkan rasa waspada yang tinggi. Lebih dari 73 persen melihat situasi di sana sebagai ancaman eksistensial, dan 68 persen khawatir bahwa kelompok bersenjata dari Suriah suatu hari akan menyeberang dan menyalakan bara perang di tanah mereka. Di tengah kecemasan ini, AS—dengan kepiawaian khasnya—memberikan “solusi”: suruh Lebanon melucuti senjata Hizbullah, secepatnya, sebelum akhir tahun. Sungguh resep yang aneh, seperti menyuruh pasien berhenti minum obat sebelum penyakitnya sembuh, dengan alasan obat itu bisa bikin ketagihan.

Pada 5 Agustus, kabinet Lebanon, entah karena keyakinan atau tekanan, memutuskan untuk mengikuti resep itu. Keputusan melucuti Hizbullah ini bukan lahir dari dialog panjang, apalagi musyawarah lintas kelompok. Tidak ada ruang bagi diskusi serius soal strategi pertahanan. Yang ada hanyalah eksekusi cepat sesuai skenario yang tampaknya ditulis di luar negeri. Washington meminta, Beirut mengabulkan. Rakyat? Hanya bisa menghela napas, sambil bertanya-tanya apakah pemerintahnya masih mendengar suara mereka atau sudah terlalu sibuk mendengar gema dari gedung-gedung ber-AC di luar benua.

Hizbullah sendiri menanggapi keputusan ini dengan satu kalimat tegas: “Kami akan memperlakukan keputusan ini seolah tidak pernah ada.” Kalimat itu bukan sekadar gertakan; ia adalah pengingat bahwa di Lebanon, kekuatan politik dan militer tidak sepenuhnya berada di tangan negara. Hizbullah, suka atau tidak, telah menjadi bagian dari sistem keamanan tak resmi negara itu sejak lama. Mereka yang ingin melucutinya tanpa strategi yang matang ibarat hendak membongkar fondasi rumah sambil berharap atapnya tetap utuh.

Ada ironi yang menyesakkan di sini. Lebanon selama puluhan tahun jadi saksi bagaimana serangan zionis bisa datang kapan saja, bahkan tanpa alasan yang bisa dipertanggungjawabkan di forum internasional. Setiap kali itu terjadi, tentara Lebanon memang ikut bergerak, tetapi sejarah membuktikan bahwa perlawanan paling efektif justru datang dari kelompok yang sekarang diminta untuk menaruh senjatanya. Jadi, ketika rakyat bilang “jangan dulu” atau “tunggu sampai ada strategi,” itu bukan paranoia. Itu pengalaman yang berbicara.

Bagi sebagian orang di luar Lebanon, mudah sekali menganggap bahwa melucuti kelompok bersenjata akan otomatis membawa damai. Mereka lupa, di kawasan ini, damai bukan hasil dari satu pihak meletakkan senjata, melainkan dari kedua pihak menyadari bahwa serangan akan dibalas setimpal. Inilah yang disebut deterrence—penangkalan. Tanpa itu, Lebanon hanya akan punya papan nama negara, tapi tidak punya alat untuk melindunginya.

Dan yang membuat situasi ini makin absurd adalah kenyataan bahwa diplomasi, yang katanya akan menggantikan peran senjata, justru sudah dinilai mayoritas rakyat sebagai jalur yang tidak memadai. Hubungan baik dengan negara-negara besar? Rakyat tahu, ketika rudal jatuh di Beirut, hubungan itu tidak akan menghentikannya. Pernyataan kutukan di sidang PBB tidak akan memadamkan api di rumah-rumah yang terbakar.

Kita juga tidak boleh lupa bahwa tekanan untuk melucuti Hizbullah datang di saat ancaman dari Suriah dan zionis justru meningkat. Bahkan utusan AS, Tom Barrack, dengan nada seperti guru yang menegur murid nakal, memperingatkan bahwa Lebanon bisa saja “diinvasi” oleh pasukan Suriah jika tidak segera patuh pada perintah untuk melucuti senjata. Ancaman ini terdengar seperti paradoks: demi mencegah invasi, Lebanon harus melepaskan alat yang bisa menghalanginya.

Bagi rakyat Lebanon, terutama yang hidup di selatan dekat perbatasan, ini bukan soal ideologi, tetapi soal hidup atau mati. Banyak dari mereka menyaksikan sendiri bagaimana kehadiran Hizbullah menjadi faktor yang membuat serangan musuh lebih terukur, atau setidaknya tidak berlangsung tanpa perlawanan. Mungkin sebagian warga tidak suka pada gaya politik Hizbullah, tetapi di hadapan ancaman eksternal, mereka tahu siapa yang akan berdiri di garis depan.

Ketika kita melihat semua data ini, sulit untuk tidak melihat jurang besar antara keinginan rakyat dan arah kebijakan pemerintah. Pemerintah berbicara tentang “monopoli negara atas senjata,” konsep yang indah di atas kertas. Tapi di Lebanon hari ini, itu terdengar seperti mimpi idealis yang mengabaikan realitas bahwa negara sendiri belum mampu membangun kekuatan militer yang memadai. Monopoli senjata oleh negara tanpa kekuatan yang sebanding hanya akan menghasilkan monopoli kelemahan.

Mungkin yang paling tragis dari semua ini adalah betapa Lebanon terus dipaksa menari mengikuti irama yang dimainkan orang lain. Setiap ketukan musiknya diatur dari luar, setiap gerakan harus sesuai dengan koreografi yang ditulis bukan oleh rakyatnya sendiri. Dan ketika rakyat mencoba bersuara, suaranya kalah keras dibandingkan desakan para sponsor politik yang datang membawa ancaman bantuan diputus atau sanksi diberlakukan.

Pada akhirnya, jajak pendapat ini bukan hanya statistik. Ia adalah cermin yang menunjukkan wajah Lebanon hari ini: lelah, penuh luka, tetapi masih sadar bahwa satu-satunya jalan untuk bertahan adalah dengan tidak melepaskan perisai sebelum ada ganti yang setara. Seperti orang tua yang berkata kepada anaknya, “Jangan buang jas hujan sebelum badai reda,” rakyat Lebanon sedang mencoba memberi nasihat yang sederhana namun sangat rasional. Sayangnya, di ruang-ruang rapat pemerintah, rasionalitas sering kali kalah oleh politik.

Jika kita melihatnya dalam bingkai yang lebih luas, kisah Lebanon ini hanyalah satu bab dari buku tebal berjudul “Politik Luar Negeri Amerika di Timur Tengah.” Polanya hampir selalu sama: temukan satu aktor non-negara yang kuat, cap sebagai ancaman terhadap stabilitas, lalu desak pemerintah setempat untuk melucuti atau menyingkirkannya. Janjikan bantuan atau keamanan sebagai imbalan, tapi jarang sekali bantuan itu cukup untuk mengganti kehilangan kekuatan yang sudah ada.

Iraq pernah mengalaminya ketika AS membubarkan tentara Saddam Hussein tanpa menyiapkan pengganti yang solid, membuka jalan bagi kekacauan yang memakan waktu bertahun-tahun untuk sedikit terkendali. Libya pun dibebaskan dari Gaddafi hanya untuk jatuh ke dalam kekosongan kekuasaan yang sampai hari ini belum terisi penuh. Di Suriah, upaya memotong pengaruh pemerintah dengan mempersenjatai kelompok lawan malah menciptakan lanskap konflik berkepanjangan. Dan kini, di Lebanon, naskah yang sama kembali dipentaskan.

Kebijakan ini bekerja dengan asumsi bahwa kekuatan negara formal akan otomatis menggantikan peran kelompok bersenjata non-negara. Namun, di Timur Tengah, asumsi itu sering kali naif—bahkan berbahaya—karena negara yang dimaksud tidak selalu punya sumber daya, stabilitas politik, atau dukungan rakyat untuk menjalankan peran itu. Dalam konteks Lebanon, melucuti Hizbullah tanpa membangun kekuatan militer negara yang setara ibarat menutup pintu depan sambil membiarkan tembok belakang roboh.

Tekanan AS terhadap Lebanon untuk melucuti Hizbullah juga punya dimensi strategis yang lebih besar: mengurangi kapasitas Iran di kawasan melalui penghapusan sekutu militernya. Di mata Washington, ini bagian dari permainan catur yang lebih luas, di mana Lebanon hanyalah salah satu petak papan, dan rakyatnya adalah bidak yang harus bergerak sesuai strategi pemain besar. Masalahnya, dalam permainan ini, kalau bidak hancur, papan tetap utuh—tapi bagi Lebanon, papan itu adalah rumah mereka sendiri.

Dengan latar seperti ini, survei yang menunjukkan mayoritas rakyat menolak pelucutan senjata tanpa strategi pertahanan menjadi lebih dari sekadar ekspresi opini publik. Ia adalah peringatan dini, sinyal bahwa kebijakan yang terlalu menuruti tekanan eksternal bisa memicu destabilisasi internal dan memperlemah posisi Lebanon di hadapan ancaman nyata. Sayangnya, di dunia politik internasional, peringatan dari rakyat jarang dihiraukan—setidaknya sampai krisis benar-benar pecah, dan semua pihak berpura-pura terkejut.

Mungkin, jika sejarah di kawasan ini mengajarkan sesuatu, pelajarannya sederhana: di Timur Tengah, damai tidak lahir dari ketundukan sepihak. Damai lahir ketika semua pihak sadar bahwa serangan akan dibalas dan ancaman akan dihadapi dengan kekuatan yang setimpal. Melepaskan kekuatan itu sebelum waktunya bukan hanya kesalahan strategis, tapi undangan terbuka bagi bencana berikutnya. Dan entah kenapa, undangan seperti itu justru yang kini sedang ditulis oleh pemerintah Lebanon, dengan pena yang tintanya disediakan Washington.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer