Connect with us

Opini

Lebanon: Antara Tunduk Atau Melawan Keras

Published

on

Di selatan Lebanon, debu dan asap menyelimuti jalanan. Rumah-rumah yang dulu dipenuhi tawa kini hening, hanya menyisakan puing dan bayangan masa lalu. Suara sirine dan ledakan menjadi musik sehari-hari. Selebaran diterbangkan dari udara, menyuruh warga menolak Hizbullah, mengabaikan akar mereka sendiri. Setiap langkah, setiap napas, dibayangi pos-pos Israel yang menancapkan kaki di tujuh titik strategis, menahan ribuan orang kembali ke kota mereka. Gencatan senjata? Hanya kata di atas kertas. Realitas berbicara dengan sirine, bom, dan ketakutan yang tak tertahankan.

Pemerintah Lebanon, di bawah tekanan Barat, memutuskan untuk melucuti senjata Hizbullah. Keputusan itu dianggap langkah diplomatis, tapi di lapangan, itu seperti menurunkan pagar pembatas di depan harimau yang lapar. Ketua Parlemen Nabih Berri menegaskan bahwa senjata Hizbullah bukan sekadar alat perang, melainkan simbol kebanggaan dan kehormatan. Simbol perlindungan terhadap agresi yang terus berlangsung, simbol kedaulatan yang telah lama dipertanyakan. Ketika tentara Lebanon diperintahkan menyerang, mereka dihadapkan pada dilema moral: haruskah mereka menumpahkan darah sesama rakyat sendiri? Kepala tentara Rudolph Haikal bahkan mengancam mundur, karena memerangi rakyat sendiri berarti menghancurkan negara dari dalam. Bukankah ini ironis, sekaligus tragis?

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Amerika Serikat dan Israel memainkan peran mereka dengan rapi, seakan menyusun papan catur di atas tanah orang lain. “Disarm Hezbollah,” kata mereka, sambil tersenyum diplomatis. Netanyahu menambahkan, “Baru kami mundur sedikit,” dengan bahasa yang manis tapi penuh kepentingan strategis. Sementara itu, pesawat tempur melintas, bom dijatuhkan, selebaran diterbangkan agar warga menolak Hizbullah. Rakyat Lebanon berada di antara ketakutan dan loyalitas, antara mempertahankan martabat dan tunduk pada kekuatan yang jauh lebih besar.

Skenario pertama adalah disarmament melalui dialog damai. Teorinya, pemerintah menambah legitimasi domestik. Tapi kenyataannya? Israel menjadi lebih bebas menekan Lebanon. Serangan udara terus berlanjut, intimidasi militer tetap ada, dan rakyat menjadi korban. Skenario kedua, disarmament paksa. Lebanon pecah. Warga selatan mendukung Hizbullah, tentara terbagi loyalitasnya. Kekacauan internal muncul bahkan sebelum musuh menyerang lebih jauh. Skenario ketiga, Israel meningkatkan tekanan militer. Dilucuti atau tidak, perlawanan Lebanon tetap terjepit. Jika Hizbullah melemah, Israel menggulung seluruh pertahanan Lebanon, meninggalkan negeri ini sangat rentan.

Tekanan ekonomi, skenario keempat, sama menakutkannya. Zona ekonomi khusus ala “Trump” menahan pembangunan, mendikte langkah politik, dan memaksa Lebanon tunduk tanpa peluru. Penjajahan modern: tanpa senjata, tapi tetap menindas. Tidak ada jaminan bahwa langkah ekonomi akan membuat situasi lebih damai atau stabil. Jika Lebanon mengikuti arahan Barat, negara itu tetap terjajah, hanya bentuknya berganti: bukan militer, tetapi finansial dan politik.

Rakyat Lebanon menghadapi pilihan yang kejam: tunduk atau melawan. Tidak ada jalan tengah. Tunduk, mereka tetap hidup, tapi kedaulatan hilang, simbol pertahanan sirna, ekonomi dikontrol pihak asing. Melawan, risiko perang saudara meningkat, tentara terbagi loyalitasnya, rakyat bersiap menghadapi invasi. Di tengah dilema itu, rakyat selatan tidak mudah menyerah. Mereka mempertahankan simbol dan martabat, meski harus menanggung risiko besar.

Diplomasi global kadang membuat tawa getir. Mereka yang menuntut damai justru menabur ancaman. Mereka yang menawarkan dialog justru memperkuat ketidakadilan. Israel bebas bergerak, AS menekan, pemerintah Lebanon terjebak dilema eksistensial. Senjata Hizbullah bukan sekadar logam dan peluru; ia adalah simbol perlawanan terhadap dominasi luar. Disarmament adalah kata manis di meja diplomasi, namun di lapangan berarti Lebanon kehilangan pegangan, rakyat kehilangan pelindung, dan agresor semakin leluasa.

Ketika pesawat melintas di atas desa Nabatieh, ketika selebaran jatuh di depan rumah-rumah yang kosong, rakyat tahu satu hal: pilihan mereka sederhana, tapi berat. Tunduk atau melawan. Tidak ada netralitas. Tidak ada kompromi. Kita menyaksikan dunia mengajar pelajaran melalui ironi: mereka yang menuntut damai justru menimbulkan kekacauan; mereka yang menawarkan dialog justru memperburuk ketidakadilan.

Saya rasa inti persoalan Lebanon bukan hanya perang senjata, tapi kedaulatan dan keberanian mempertahankan diri. Menjaga Hizbullah berarti mempertahankan simbol martabat, sekaligus mempertahankan peluang negara berdiri sendiri. Melepasnya berarti membuka jalan bagi agresor, baik militer maupun ekonomi. Situasi ini menuntut keberanian dan kesadaran bahwa semua jalan membawa risiko, tapi satu-satunya hal yang bisa dijaga adalah integritas dan harga diri.

Lebanon hari ini bukan hanya soal strategi politik atau perhitungan militer; ia adalah cermin realitas yang lebih luas: bangsa yang dipaksa memilih antara tunduk atau melawan, antara martabat dan keselamatan instan, antara kedaulatan dan dominasi asing. Dan bagi warga selatan, bagi tentara yang masih menimbang loyalitas, bagi politisi seperti Berri, ini adalah pertaruhan hidup: menahan diri untuk tidak menyerah pada tekanan yang tidak adil.

Kita menyaksikan tragedi dan ketegangan Lebanon yang sesungguhnya. Dunia menonton, diplomasi berbicara manis, pesawat terbang di atas kepala, bom jatuh di depan rumah, dan rakyat bertahan dengan keberanian yang mungkin tidak pernah diakui. Lebanon berada di persimpangan kritis: tunduk atau melawan, hidup atau kehilangan martabat, pasrah atau mempertahankan diri. Tidak ada jalan aman. Tidak ada skenario damai yang menjamin kedaulatan.

Dan ini bukan soal teori atau abstraksi. Setiap ledakan di Nabatieh, setiap selebaran yang diterima warga, setiap keputusan pemerintah di Beirut, adalah bukti bahwa Lebanon dipaksa menghadapi kenyataan yang keras: tunduk atau melawan. Tidak ada kompromi. Tidak ada zona aman. Tidak ada solusi damai yang benar-benar menjamin kedaulatan. Dunia bisa menonton, bisa memberi nasihat, tapi pada akhirnya rakyat Lebanon sendiri yang harus menanggung pilihan itu, dengan nyawa, tanah, dan masa depan mereka sebagai taruhannya.

Negeri ini, sekali lagi, mengingatkan kita bahwa kedaulatan bukan hadiah yang bisa dinegosiasikan. Ia dipertahankan, dipertaruhkan, dan seringkali diuji oleh kekuatan luar yang menganggapnya lemah. Lebanon dipaksa menghadapi pertanyaan yang kejam: akankah mereka tunduk pada tekanan, atau akankah mereka menanggung risiko mempertahankan martabat dan kedaulatan mereka? Pilihan itu tidak mudah, dan dunia sebaiknya menahan diri dari kata-kata manis; realitas Lebanon keras, getir, dan penuh ironi.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer