Opini
Latakia: Gaza Baru di Suriah

Di Latakia, seperti di Gaza, pos keamanan bukan hanya penghalang fisik tetapi simbol penindasan. Warga diperiksa dengan kecurigaan bawaan, ditanyai asal-usulnya, dan dijadikan target pelecehan tanpa alasan. Ini bukan sekadar pengamanan, tapi cara membentuk ketakutan kolektif. Gaza telah lama merasakannya di setiap perlintasan, setiap gang sempit yang diawasi drone. Latakia kini mengalami hal serupa, dengan wajah-wajah yang berbeda, tetapi dengan metode yang sama.
Namun, persamaannya tidak berhenti di situ. Di balik pos-pos keamanan yang menyesakkan, ada genosida sistematis yang merayap dalam gelap, seperti di Gaza. Video-video eksekusi di Latakia menegaskan bahwa ini bukan sekadar kekerasan sporadis, tetapi upaya terencana untuk melenyapkan kelompok tertentu. Para pemuda yang dipaksa mencium sepatu aparat sebelum dieksekusi, para lansia yang disiksa sebelum dibunuh, semua ini adalah potret kebiadaban yang tak berbeda dengan apa yang dialami warga Gaza. Genosida ini ditutupi dengan dalih perang atau tindakan represif terhadap lawan politik, tetapi kenyataannya, ini adalah penghancuran komunitas secara terstruktur.
Di Gaza, pemusnahan dilakukan dengan bom yang menghujani rumah-rumah, dengan blokade yang mencekik kehidupan. Di Latakia, pemusnahan berjalan dengan eksekusi lapangan, penyiksaan sistematis, dan penghilangan paksa. Satu menggunakan teknologi canggih, satunya lagi memakai metode kasar, tetapi tujuannya sama: menghapus eksistensi yang dianggap mengganggu kekuasaan.
Pelakunya pun memiliki pola yang tak jauh berbeda. Jika di Gaza kita melihat militer zionis menjalankan kebijakan apartheid, di Latakia, kelompok penguasa baru, Hay’at Tahrir al-Sham (HTS) menjalankan pola pembantaian terhadap kelompok minoitas seperti Alawite. Keduanya bersandar pada legitimasi yang rapuh, berdiri di atas propaganda yang menghapus jejak kejahatan mereka. Media internasional berbicara tentang perang, tetapi jarang menyebutnya sebagai genosida. Dunia bungkam, seolah-olah darah yang mengalir di Latakia dan Gaza hanya catatan kecil dalam sejarah yang bisa dihapus dengan satu resolusi diplomatik.
Keduanya juga menunjukkan bagaimana sistem internasional bekerja. Resolusi demi resolusi digulirkan untuk Gaza, tetapi tak ada yang mengubah keadaan. Begitu juga di Latakia, investigasi dilakukan, tetapi keadilan tetap menjadi bayangan yang tak terjangkau. Para pelaku berjalan bebas, memegang senjata yang mereka gunakan untuk menembak warga sipil tanpa konsekuensi. Begitu pula di Gaza, di mana setiap kematian hanya dihitung sebagai angka statistik tanpa ada upaya serius untuk menghentikan pembantaian.
Kehancuran Latakia adalah refleksi Gaza dalam cermin yang berbeda. Begitu juga dengan pelakunya, yang hanya berganti wajah tetapi membawa kebiadaban yang sama. Dunia melihatnya, mencatatnya, tetapi tidak berbuat apa-apa. Seperti biasa, darah yang mengalir bukanlah darah yang dianggap berharga oleh mereka yang mengklaim membela hak asasi manusia.
Di Latakia, rumah-rumah yang hancur bukan hanya akibat perang, tetapi strategi pembersihan etnis yang sistematis. Seperti di Gaza, di mana serangan udara menghapus jejak kehidupan, di Latakia, pembunuhan dilakukan dengan metode yang lebih langsung—eksekusi massal, pemerkosaan sebagai alat perang, dan pengusiran paksa. Jika di Gaza penghancuran dilakukan dengan rudal, di Latakia dilakukan dengan senjata laras panjang, dengan belati yang ditancapkan ke tubuh para korban sebelum mereka dikubur dalam kuburan massal.
Para perempuan di Latakia mengalami nasib yang sama dengan saudari-saudari mereka di Gaza. Pemerkosaan menjadi senjata psikologis, alat penghancuran moral dan sosial. Anak-anak di Latakia, seperti di Gaza, tumbuh dengan trauma yang diwariskan dari generasi ke generasi. Mereka bukan sekadar yatim piatu akibat perang, mereka adalah korban dari proyek besar yang bertujuan menghapus identitas mereka.
Dan seperti di Gaza, mereka yang bertahan di Latakia dipaksa hidup dalam bayang-bayang kematian, dengan rasa takut yang tidak pernah benar-benar hilang. Tidak ada tempat aman, tidak ada jaminan hidup. Setiap lorong, setiap rumah, setiap wajah adalah target yang sah bagi mereka yang memiliki senjata dan kekuasaan. Mereka yang berusaha melawan akan hilang dalam malam tanpa jejak, seperti banyak yang sudah terjadi sebelumnya.
Narasi yang disebarkan di media internasional pun sama. Di Gaza, mereka yang melawan disebut teroris. Di Latakia, mereka yang menolak tunduk disebut pemberontak. Label yang berbeda, tetapi dengan tujuan yang sama: membenarkan genosida. Dan seperti yang sudah berulang kali terjadi, dunia hanya menonton, menggelengkan kepala, dan melanjutkan bisnis mereka seperti biasa.
Latakia bukan hanya Gaza dalam versi lain. Ini adalah eksperimen baru bagi para algojo dunia. Jika di Gaza kebrutalan dilakukan dengan presisi teknologi tinggi, di Latakia dilakukan dengan cara primitif—dengan pisau yang merobek daging, dengan pentungan yang menghancurkan tulang. Ini adalah variasi dari metode yang sama, dengan hasil akhir yang identik: pemusnahan total terhadap mereka yang dianggap tak layak hidup.
Para penguasa Suriah baru memahami satu hal yang juga dipahami oleh para penjagal Gaza: ketakutan adalah alat paling efektif untuk mengontrol populasi. Bukan hanya dengan senjata dan pembunuhan, tetapi dengan menghapus harapan. Gaza dikepung hingga harapan mati perlahan. Latakia dikendalikan dengan eksekusi mendadak yang membuat orang hidup dalam paranoia abadi. Satu bentuk terorisme negara yang memiliki wajah berbeda tetapi hati yang sama: dingin dan haus darah.
Satu-satunya perbedaan antara Latakia dan Gaza mungkin hanya satu: siapa yang menjadi pelakunya. Tetapi metode, korban, dan tujuannya tetap sama. Latakia adalah Gaza yang lain, dan dunia tetap membisu.
Dalam satu dekade ke depan, apakah kita akan melihat monumen peringatan untuk Latakia seperti yang kita lihat untuk Gaza? Atau apakah dunia akan terus berpura-pura bahwa yang terjadi di sana hanyalah efek samping dari konflik yang lebih besar? Sejarah telah mengajarkan bahwa kejahatan yang dibiarkan akan terus berulang. Latakia adalah Gaza hari ini, dan jika dunia tetap diam, akan ada Gaza-Gaza baru di masa depan. Kejahatan yang dibiarkan hanya akan melahirkan kejahatan yang lebih besar.