Connect with us

Opini

Langkah Sesat Netanyahu: Gaza dan Israel Menderita

Published

on

Di sebuah ruangan gelap di Gaza, Baron Barslavsky, seorang sandera Israel, menatap kamera dengan wajah pucat dan suara gemetar. “My blood is on your hands,” katanya, menuding langsung ke arah Benjamin Netanyahu. Lebih dari 550 hari perang, Gaza porak-poranda, namun 59 sandera masih terperangkap. Di Israel, 100.000 warga menandatangani petisi menentang perang, sementara prajurit dan dokter reservis dipecat karena berani bersuara. Inilah jalan sesat Netanyahu—kebijakan yang menyakiti Gaza dan rakyatnya sendiri.

Barslavsky bukan sekadar nama; ia adalah simbol kegagalan. Dalam video yang dirilis Al-Quds Brigades pada April 2025, ia menggambarkan penderitaannya: kelaparan, penyakit kulit yang tak terdiagnosis, dan ketakutan akan bom Israel yang jatuh setiap hari. “You drop bombs every day. No doubt the next one will fall on my head,” katanya. Ia menyerukan Netanyahu untuk mengakhiri “perang bodoh” ini, menegaskan bahwa tekanan militer tidak akan membebaskannya. Laporan dari Al Mayadeen mencatat bahwa Barslavsky bahkan mempertanyakan prioritas pemerintah, yang tampaknya lebih fokus pada negosiasi untuk satu sandera Amerika, Idan Alexander, ketimbang dirinya. Ini bukan hanya kisah penderitaan pribadi, tetapi cerminan dari strategi yang salah arah.

Sementara itu, di Israel, gelombang protes membelah masyarakat. Lebih dari 1.600 mantan prajurit, termasuk paratrooper dan infanteri, menandatangani surat terbuka, menyerukan gencatan senjata untuk menyelamatkan sandera. “We do not leave wounded behind on the battlefield,” tulis mereka, seperti dilaporkan Al Mayadeen. Nilai ini, yang menjadi inti etos militer Israel, kini dipertanyakan. Namun, Netanyahu memilih jalan lain: tekanan militer tanpa henti. Laporan yang sama mengungkap bahwa Benny Gantz, pemimpin Partai Persatuan Nasional, menyebut kebijakan ini sebagai “keberhasilan militer besar” tetapi “kegagalan politik yang memalukan.” Gantz menuduh Netanyahu sengaja menghambat pembentukan alternatif sipil di Gaza, mempertahankan kekuatan Hamas untuk kepentingan politiknya sendiri.

Kegagalan ini bukan sekadar retorika. Avi Ashkenazi, koresponden militer Maariv, menulis bahwa setelah 550 hari perang, Israel belum mencapai tujuan utamanya: melemahkan Hamas dan membebaskan sandera. Al Mayadeen melaporkan bahwa serangan militer yang dilanjutkan pada Maret 2025, melanggar gencatan senjata dua bulan, hanya memperparah situasi. Kehancuran Gaza memang masif, tetapi tanpa hasil strategis. Lebih tragis lagi, 40 sandera tewas selama invasi darat, menurut petisi dokter reservis. Angka-angka ini bukan sekadar statistik; mereka adalah nyawa yang hilang karena kebijakan yang terpaku pada kekerasan tanpa visi.

Di dalam negeri, Netanyahu menghadapi pemberontakan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Al Mayadeen melaporkan bahwa 150 perwira angkatan laut dan 500 lulusan kursus cadangan menandatangani petisi menuntut penghentian perang. Bahkan 950 pilot tempur, tulang punggang angkatan udara, menolak dinas militer, menyebut perang ini “bermuatan politik” ketimbang strategis. Mereka, bersama 100.000 warga lainnya, menilai perang ini hanya melayani “kepentingan pribadi dan politik sempit,” seperti dilaporkan Haaretz. Namun, alih-alih mendengar, Netanyahu memilih represi. Dokter reservis yang menyerukan gencatan senjata dipecat, dan 1.000 personel angkatan udara menghadapi tindakan disiplin, menurut Yedioth Ahronoth. Tindakan ini bukan hanya menekan dissent; mereka merobek jalinan sosial Israel.

Kebijakan domestik Netanyahu memperburuk krisis. Laporan menyebutkan bahwa reformasi yudisial dan pemecatan kepala Shin Bet Ronen Bar memicu kemarahan tambahan. Petisi pilot dan reservis mengkritik langkah-langkah ini sebagai bukti bahwa Netanyahu lebih peduli pada kekuasaan ketimbang keamanan nasional. Al Mayadeen mencatat bahwa Mayor Jenderal Tomer Bar, komandan angkatan udara, memutuskan untuk memecat permanen setiap prajurit yang menandatangani surat protes. Ironisnya, tindakan ini justru memperdalam perpecahan. Seorang perwira yang dihubungi atasannya untuk mencabut tanda tangan petisi, seperti dilaporkan Maariv, menolak, menunjukkan bahwa semangat perlawanan tetap hidup di kalangan militer.

Penderitaan warga Gaza adalah sisi lain dari jalan sesat ini. Serangan Israel, yang dilanjutkan meski melanggar gencatan senjata, telah menghancurkan infrastruktur sipil dan memicu tuduhan genosida, seperti disebutkan dalam laporan. Barslavsky sendiri memohon agar makanan dikirim ke Gaza, berharap sebagian sampai ke sandera. Namun, kebijakan Netanyahu tidak menawarkan solusi kemanusiaan. Dengan menghambat alternatif sipil, seperti yang dituduhkan Gantz, ia memperpanjang penderitaan rakyat Gaza dan sandera. Ini adalah lingkaran setan: kekerasan melahirkan kekerasan, tanpa akhir yang jelas.

Netanyahu mungkin berpikir bahwa kekuatan militer adalah jawaban. Namun, Barslavsky menegaskan sebaliknya: “Even if the entire world turns upside down, you won’t get me back this way.” Kata-katanya mencerminkan kebenaran yang pahit: tekanan militer tidak hanya gagal, tetapi juga membahayakan nyawa sandera. Petisi dari dokter reservis menambahkan bahwa prolonging perang membahayakan prajurit dan sandera, dengan 40 kematian sandera sebagai bukti tragis. Angka ini, dikombinasikan dengan 550 hari tanpa kemajuan, menunjukkan bahwa kebijakan Netanyahu adalah jalan buntu.

Jalan sesat ini juga merusak moral Israel. Prinsip “tidak meninggalkan yang terluka” kini terasa hampa ketika sandera dibiarkan menderita dan prajurit dihukum karena bersuara. Protes dari 1.600 mantan prajurit, seperti dilaporkan Ynet, adalah seruan untuk kembali ke nilai-nilai itu. Namun, Netanyahu memilih untuk menutup telinga, memecat mereka yang berani mengkritik, dan mendorong reformasi yudisial yang memecah belah. Haaretz mencatat bahwa petisi 100.000 warga adalah tanda bahwa masyarakat Israel menolak kepemimpinan yang mengorbankan rakyat demi ambisi politik.

Lalu, apa jalan keluar dari kekacauan ini? Petisi prajurit menawarkan jawaban: gencatan senjata untuk membebaskan sandera. Barslavsky memohon hal yang sama, menyerukan Netanyahu untuk “mengakhiri mimpi buruk ini.” Bahkan Gantz, meski berseberangan dengan Netanyahu, menekankan perlunya strategi politik, bukan hanya militer. Namun, laporan menunjukkan bahwa Netanyahu tetap bergeming, memilih eskalasi ketimbang diplomasi. Ini adalah pilihan yang tidak hanya menyakiti Gaza, tetapi juga merobek jalinan sosial Israel.

Netanyahu berdiri di persimpangan kritis. Di satu sisi, ia bisa terus menempuh jalan sesat ini, mengorbankan lebih banyak nyawa demi menjaga kekuasaan. Di sisi lain, ia bisa mendengar rakyatnya—dari sandera yang putus asa hingga prajurit yang memberontak—dan memilih negosiasi. Laporan Al Mayadeen dan Haaretz menunjukkan bahwa suara rakyat Israel jelas: mereka menginginkan solusi kemanusiaan. Dengan 100.000 petisi dan ribuan prajurit yang bersuara, tekanan untuk berubah tidak bisa diabaikan.

Jalan sesat Netanyahu telah membawa Israel ke tepi jurang. Gaza hancur, sandera menderita, dan rakyat Israel terpecah. Jika seorang pemimpin merugikan rakyatnya sendiri, apakah itu bukan pengkhianatan? Saat Barslavsky memohon dari kegelapan, dan prajurit menulis surat dari hati nurani, Netanyahu harus memilih: terus berjalan di jalan yang salah, atau mengambil langkah berani menuju perdamaian. Waktu hampir habis.

 

Sumber Data:

  1. Al Mayadeen (Gantz, Barslavsky, petisi prajurit),
  2. Maariv (Avi Ashkenazi, tindakan disiplin),
  3. Ynet (surat 1.600 prajurit),
  4. Haaretz (100.000 petisi),
  5. Yedioth Ahronoth (tindakan terhadap reservis).

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *